SALAH satu masalah pokok yang mendera masyarakat Papua adalah kualitas kesehatan yang rendah. Keadaan ini tercermin pada angka harapan hidup (AHH) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2024, AHH Provinsi Papua Tengah untuk populasi laki-laki adalah 65,05 sedangkan untuk perempuan adalah 68,97.
Di Papua Pegunungan AHH laki-laki adalah 62,83 sedangkan perempuan 66,68. Di Papua Selatan AHH penduduk laki-laki adalah 64,53 sedangkan perempuan 68,42. Sementara di Provinsi Papua AHH penduduk laki-laki adalah 66,76 sedangkan perempuan 70,79. Angka harapan hidup rata-rata untuk laki-laki di Indonesia adalah 70,32 dan 74,21 untuk perempuan. Itu berarti AHH untuk empat provinsi itu berada di bawah rata-rata nasional.
AHH adalah rata-rata perkiraan jumlah tahun yang dapat dijalani seseorang sejak lahir berdasarkan pada kondisi tingkat kematian, pada tahun tertentu. AHH digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kualitas hidup dan kesehatan masyarakat, dan untuk menilai kinerja pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan dan membangun kesejahteraan masyarakat.
Rendahnya AHH mencerminkan kondisi kualitas kesehatan masyarakat yang menuntut perhatian. Kualitas rendah itu boleh jadi merupakan gabungan dari sekian faktor penyebab: kondisi kurang gizi, stunting, akses layanan kesehatan rendah, sebaran penyakit menular yang luas, pola hidup sehat masyarakat belum terbangun, dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Misalnya, air layak konsumsi sulit didapatkan.
Untuk mendapatkan deskripsi lebih jauh tentang kondisi kesehatan masyarakat kita di Papua, kita bisa mengumpulkan data. Pada Agustus 2025, KPA Papua Tengah menyebutkan bahwa infeksi HIV menembus angka 23.891 kasus. Rasio dokter dan penduduk di Provinsi Papua Pegunungan, menurut data Kementerian Kesehatan pada 2024, adalah 0,68 dokter untuk 1.000 penduduk. Atau, 68 dokter untuk 100.000 penduduk.
Angka ini mengatakan bahwa layanan kesehatan untuk penduduk cukup terbatas. Jumlah dokter yang terbatas harus melayani penduduk yang tersebar luas, lebih lagi dengan kondisi infrastruktur jalan yang buruk. Banyak penduduk mengalami kesulitan untuk mengakses layanan medis yang tersedia secara terbatas. Biasanya, di wilayah pegunungan Papua, Puskesmas dan rumah sakit berada di sekitar pusat kota.
Karena wilayah yang lebih jauh biasanya tidak memiliki layanan kesehatan, orang-orang harus pergi ke kota kabupaten. Jika di sana mereka tidak mendapatkan layanan yang tuntas, mereka akan dirujuk ke kota yang lain. Artinya, kualitas pelayanan kesehatan di pusat-pusat layanan yang ada masih harus ditingkatkan.
Dari penelusuran informasi di internet didapatkan bahwa Papua Tengah merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi TBC di Indonesia. Angkanya adalah 1,15 persen. Sampai dengan Juni 2024 yang lalu di provinsi ini ditemukan 9.149 kasus TBC. Kabupaten dengan angka kasus tertinggi adalah Kabupaten Mimika. Lebih lanjut diberitakan bahwa angka penemuan kasus di wilayah ini baru mencapai 40 persen dari target yang ditetapkan kementerian kesehatan. Jika cakupan pemeriksaan meningkat, bukan tidak mungkin angka kasus TBC bertambah.
Satu lagi, kantor berita Antara merilis informasi bahwa cakupan imunisasi polio di Provinsi Papua baru mencapai 31,6 persen. Di samping itu angka kematian bayi di wilayah ini masih cukup tinggi. Beberapa tahun yang lalu angkanya mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
Tentu saja kita perlu mengerti bahwa akses penduduk terhadap air bersih layak konsumsi masih terbatas. Ketersediaan air bersih pun belum terbilang cukup. Instalasi penjernihan air tidak banyak. Meskipun sekarang ini sudah ada perusahaan-perusahaan pengolahan air minum, sebagian penduduk masih mengandalkan pasokan air kemasan dari luar Papua.
Banyak tempat di Papua belum memiliki produksi air bersih dan jaringan perpipaan. Ketersediaan air bersih di sungai-sungai belum berhasil dimanfaatkan sebagai air baku untuk diolah agar dapat dikonsumsi. Sekian keluarga mengandalkan air hujan untuk masak dan cuci. Ada juga yang memanfaatkan sebagai bahan air minum.
Banyak faktor yang menyebabkan angka harapan hidup di Papua belum melonjak. Ada pekerjaan besar yang harus digarap oleh pemerintah jika hendak mendorong perbaikan kualitas hidup warganya.
Pertama, pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan yang lebih banyak dan lebih dapat diakses. Pusat-pusat layanan dibuka secara lebih merata, termasuk dengan klinik bergerak (mobile clinic), rumah sakit apung untuk penduduk di pulau-pulau, penambahan kamar perawatan di RSUD, Posyandu, dan lain-lain.
Penambahan jumlah pusat layanan dibarengi dengan penambahan tenaga medis. Pemerintah perlu merekrut lebih banyak dokter. Jumlah dokter yang mencukupi akan memungkinkan Puskesmas melayani secara lebih paripurna. Beberapa Puskesmas dapat disiapkan menjadi Puskesmas perawatan yang menyediakan layanan 24 jam. Mobile clinic dapat didukung dengan sumber daya yang cukup, alat pemeriksaan yang lebih baik, termasuk untuk edukasi masyarakat di area yang selama ini sulit dijangkau.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan mutu layanan. Untuk meningkatkan mutu layanan, pusat-pusat layanan harus diakreditasi. Layanan menjadi terstandar. Kemudian, kelas-kelas atau tipe rumah sakit juga dinaikkan. Laboratorium pemeriksaan dilengkapi dan tenaga yang dibutuhkan dicukupi.
Dokter-dokter spesialis diadakan. Untuk jangka pendek, barangkali pemerintah bisa mendatangkan dokter kontrak. Akan tetapi untuk kepentingan pelayanan dalam jangka panjang, dokter spesialis disiapkan. Dokter orang asli Papua setiap tahun terus bertambah. Sebagian barangkali dapat disiapkan untuk menempuh Pendidikan dokter spesialis.
Peningkatan mutu layanan di Puskesmas dapat menyelesaikan persoalan kesehatan pada unit kecil. Pasien-pasien dapat ditangani di sana tanpa harus dirujuk ke rumah sakit. Begitu juga obat-obatan di puskesmas dapat tersedia lebih lengkap.
Pemerataan dan peningkatan mutu layanan ini akan membuat layanan kesehatan sungguh terdistribusi di banyak titik sampai ke wilayah-wilayah yang selama ini tidak tersentuh.
Ketiga, edukasi masyarakat harus terus digencarkan. Membangun sumber daya manusia (Papua) yang unggul akan membawa pengaruh besar dalam banyak aspek kehidupan. Dalam bidang kesehatan, pendidikan membantu mereka untuk membentengi diri, menjadi lebih kritis, dan mendorong mereka untuk memiliki hidup yang lebih bermakna.
Peningkatan kesadaran untuk hidup sehat hendaknya terus dilakukan. Program ini dapat diintegrasikan ke lembaga-lembaga pendidikan, komunitas, kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan, dan lain-lain.
Kesadaran untuk hidup sehat dapat memperkecil resiko penularan penyakit. Di samping itu, pengetahuan juga membantu masyarakat untuk mengakses layanan medis lebih cepat. Perilaku yang berubah dapat berdampak pada kualitas hidup keseluruhan.
Keempat, pemerintah harus bekerja keras membangun akses masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi. Kita perlu bersikap kritis terhadap situasi pangan lokal di Papua. Produksi pangan lokal di Papua tampaknya tidak begitu menonjol atau masih harus digenjot lagi.
Sebagian pangan masih dikirim dari luar Papua. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat dapat mengakses pangan yang sehat dan bergizi. Program-program pemerintah untuk memudahkan masyarakat memproduksi pangan mereka sendiri mesti terbuka secara luas. Kemampuan masyarakat untuk mencukupi pangan mereka harus terus dijaga dan diperkuat.
Konsekuensi lebih lanjut lagi, kawasan pesisir dan lautan sebagai sumber pangan tidak boleh rusak. Tidak boleh tercemar. Demikian juga dengan kawasan hutan yang adalah lumbung pangan harus dilindungi. Sungai-sungai dimana menyimpan kekayaan pangan yang tidak terkira harus terus lestari.
Tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat masih begitu besar. Sekali lagi itu adalah tugas pemerintah. Wewenang diberikan, dengan didukung dana publik, untuk mengerjakan semua itu. Pemerintah tidak boleh bekerja dengan dasar suka atau tidak suka. (*)