Pembawa “Obor” Demokrasi yang Nyaris Sempurna di Amerika Latin

Aktivis-pro demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Venezuela Maria Corina Machado. Foto: Istimewa

Loading

MATA dunia terbelalak dengan berita aktivis-pro demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Venezuela Maria Corina Machado diumumkan Komite Nobel Perdamaian di Olso, Norwegia sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian pada Jumat 10 Oktober 2025.

Pemberian Nobel tersebut sebagai wujud pengakuan perjuangan Maria sebagai aktivis perempuan yang sukses mengantarkan Venezuela menjadi negara demokratis, yang menjujung tinggi kebebasan, keadilan, perdamaian, penghormatan terhadap supremasi sipil, dan pemerintahan representatif. “Saya mendedikasikan penghargaan ini untuk rakyat Venezuela yang menderita,” kata Machado (Politico, 10 Oktober 2025).

Pengakuan itu memberi pertanda bahwa dunia sangat menghormati dan mengakui peran perempuan di ruang publik, termasuk partisipasi Maria Machado dalam perjuangan menegakkan demokrasi, keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan di negara lahirnya Simon Bolivar, pemimpin revolusioner yang dianggap berjasa membawa awal berakhirnya kekuasaan Spanyol di Dunia Baru atau negara-negara Amerika Latin itu.

Maria Machado merupakan seorang pemimpin oposisi Venezuela yang konsisten dan tak kenala lelah (tireless) memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat Venezuela dalam beberapa dekade terakhir. Puncak kesuksesan perjuangan perempuan berusia 58 tahun itu adalah mampu menyatukan dua kontradiksi politik yang sebelumnya terpecah di negara tersebut, serta membatu mewujudkan transisi yang adil dari kediktatoran menuju negara yang lebih demokratis.

Bentang kegigihan perjuangan dan aktivisme Maria begitu panjang. Pada tahun 1998, Maria dan rekan-rekannya mendirikan Yayasan Atenea, sebuah organisasi sipil yang memperhatikan dan membantu anak miskin di Venezuela. Tidak sampai di situ, gerakan sosial Machado yang semasa kecil di-didik dalam sekolah perempuan Katolik yang berdisiplin tinggi di Caracas—Venezuela dan sekolah asrama di Masschussetts, AS itu terus meluas.

Pada tahun 1998, ia mendirikan yayasan Opportunitas. Tujuan organisasi ini adalah memberi panduan teknis dan finansial, untuk organisasi-organisasi yang bergerak di pemberdayaan sosial anak muda dan anak-anak terlantar. Pada tahun 2002, ia dan rekannya Alejandro Plaz terlibat dalam pendirian Sumate, sebuah organisasi sipil yang berperan besar dalam memantau pemilihan umum di Venezuela. Sumate yang dalam bahasa Spanyol disebut “Bergabung dengan kami” itu merupakan sebuah asosiasi sipil, yang berdedikasi untuk membangun demokrasi dan aktif berkampanye untuk mempromosikan partisipasi publik di pemerintahan.

Maria diakui secara global sebagai seorang pejuang tangguh dan tak gentar untuk menegakkan keluhuran nilai-nilai demokrasi bahkan sukses mengantarkan transisi politik negara Amerika Selatan itu menuju konsolidasi demokrasi, yakni terlaksananya pemilihan umum yang bebas dan pemerintahan yang representatif.

Ia diakui oleh Komite Nobel Perdamaian dari Oslo, Norwegia, sebagai seorang perempuan “yang menjaga api demokrasi tetap menyala di tengah kegelapan yang semakin membesar.” Wanita berjuluk “Iron Lady”-wanita besi, atau La Libertadora —sang pembebas modern Venezuela tanpa kekerasan, yang pernah menjadi calon presiden dari partai oposisi itu merupakan tokoh kunci dalam oposisi yang dulunya terpecah terbelah terhadap pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.

“Tahun lalu, Ibu Machado terpaksa hidup dalam persembunyian. Meskipun ada ancaman serius terhadap nyawanya, ia tetap tinggal di negara ini (Venezuela), sebuah pilihan yang menginspirasi jutaan orang. Ketika kamu otoriter merebut kekuasaan, penting untuk mengakui pembela kebebasaan yang berani, yang bangkit dan melawan, ia sebagai simbol moral di tengah kegelapan otoritarianisme” kata Jorgen Watne Frydnes, Ketua Komite Nobel Norwegia (Venezuelan opposition leader Maria Corina Machado wins the Nobel Peace Prize, 11 Oktober 2025).

Pengakuan Komite Nobel atas kerja keras Machado untuk membawa Venezuela mengakhiri friksi, kontraversi, disrupsi, dan turbulensi politik di Venezuela adalah perlu diapresiasi. Karena, ia aktivis dan eksponen gerakan rakyat yang kokoh menghadapi situasi apa pun selama lebih dari satu dekade menentang dua rezim kekuasaan, mulai dari Presiden Hugo Chavez, arsitek dan pelaksana revolusi sosialis Venezuela dan menggugat legitimasi penggantinya, Nicolas Madura yang mulai memimpin Venezuela tahun 2013, yang makin menampakkan wajah otoritarianisme di negara itu.

”Pemerintahan Maduro bukan sekadar kelanjutan dari otoritarianisme Chavez, tetapi memperburuk krisis kemanusiaan, ekonomi, dan politik nasional,” ujar wanita yang selalu tampil semi-religius mengenakan rosario suci di lehernya sebagai wujud perjuangan moral bagi pembebasan rakyat Venezuela (Reuters, 11 Oktober 2025).

Dalam menjalankan aktivitasnya untuk memulihkan demokrasi di Venezuela, Machado banyak mendapat tantangan luar biasa dari rezim yang berkuasa, mulai dari intimidasi, teror, penggeledahan rumah, tuduhan makar, sabotase, kriminalisasi, pelecehan, hingga pemecatan dari Majelis Nasional pada 2014, dan pemblokiran pencalonannya sebagai Presiden Venezula dari partai oposisi.

Pada pemilihan primer oposisi Oktober 2023, Machado meraih lebih dari 90 persen suara, sebagai pertanda mayoritas pendududk Venezuela memercayai ia sebagai figur oposisi utama penantang calon presiden petahana Nicolas Maduro. Namun, dukungan itu dibatalkan dengan reaksi rezim Maduro, di mana Mahkamah Agung yang dikendalikan oleh pemerintah menangguhkan hasil pemilu primer yang memenangkan Machado dan melarang ia mencalonkan diri dalam pemilu presiden Juli 2024.

Hasil pemilu Venezuela itu dicurangi rezim penguasa, sebagaimana dilaporkan oleh the Carter Center, “Proses pemilu Venezuela tidak memenuhi standar integritas pemilu internasional di setiap tahaapannya dan melanggar berbagai ketentuan hukum nasionalnya sendiri”. Segala bentuk ketidakadilan dan acaman yang dilami Machdo, tidak menciutkan nyalinya dan tidak kendor semangat perjuangannya untuk melawan rezim tiran di negara yang mendeklarasikan kemerdekannya dari Spanyol pada 5 Juli 1811 tersebut.

Machado meyakini bahwa setiap perjuangan untuk mencapai puncak kesukesan tentu banyak tantangan yang harus dilewati, bahkan taruhannya nyawa. Meski menghadapi ancaman serius, sarjana terknik industri lulusan Universitas Katolik Andres Bello Venezuela dan pernah mengikuti program World Fellows di Univeritas Yale Amerika Serikat itu, tidak pernah pergi meninggalkan negaranya. Meski menjadi buronan, ia tidak memilih jalan exile atau mencari suaka politik ke negara lain, karena itu merupakan pilihan yang sulit dan tidak mungkin dalam kamus perjuangan Machado. “Saya tetap di Venezuela, saya selalu di Venezuela,” kata Machado.

Baginya, melarikan diri, escape, dari Venezuela atau mencari kenyaman di negara lain merupakan bentuk tindakan pengecut yang membiarkan rakyat terus menderita dalam ketidakadilan yang diciptkan oleh penguasa diktator. Ia aktif melakukan kampanye gerilya, mencul mendadak dari bak truk di jalanan, lalu menghilang dengan sepeda motor, dan pada 9 Januari 2025, ia sempat ditangkap paksa oleh pihak keamanan setelah terjatuh dari motor yang ditumpangi ditembak usai memimpin protes malam menjelang pelantikan Presiden Nicolas Maduro yang lahir dari hasil pemilu yang kontraversial dan penuh kecurangan.

“Jika sesuatu yang terjadi pada saya, instruksinya tegas: tidak seorang pun boleh menukar kebebasan Venezuela dengan kebebasan saya,” kata Machado yang baru saja, Oktober, bersama rekan senegaranya dan sekutu politik terdekatnya yang kini mengasingkan diri ke Spanyol setelah menerima ancaman dari pemerintahan Maduro pasca-pemilu Juli 2024,  Edmundo Gonzalez Urritia dianugerahi penghargaan hak asasi manusia tertinggi Uni Eropa karena telah menjunjung tinggi tanpa rasa takut nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum (Ipotnews, 10 Oktober 2025).

Pendirian politik dan keberanian Machado itu bebasis pada satu keyakinan yang mendalam bahwa susah atau senang, hidup atau mati, ia tetap tinggal di negeri sendiri: “patria o muorte” tanah air atau mati! Ibarat kata lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. Prinsip Machado ini senapas dengan ungkapan Latin, aude et vincas, berani dan engkau akan menang. Ia telah membuktikan itu.

Machado yang fasih berbahasa Spanyol dan Inggris itu mempu membawa rakyat Venezule menuju kebebasannya. Libertas supra omnia, kebebasan di atas segalanya/kebebasan lebih tingga dari segalanya. Jalan putih demokrasi Venezuela yang dirusak selama lebih dari satu dekade oleh rezim otoriter  mendiang Hugo Chavez dan Nicolas Maduro telah “diaspal” dengan niat baik Maria Corina Machado, yang memenangkan penghargaan paling bergengsi kelas wahid di dunia: hadiah Nobel Perdamaian 2025.

Machado bak dian demokrasi di atas puncak Pico Naiguata yang terus memberikan harapan dan menerangi “kegelapan otoritarianisme” di Caracas, ibu kota Venezuela taat kala sang mantan sopir bus, pemimpin serikat pekerja, mantan anggota Majelis Nasional, dan kini presiden despotis Nicolas Maduro yang makin panik untuk menghitung hari-hari akhir kekuasaan dan kejayaannya karena tuntutan rakyat Venezuela, desakan masyarakat internasional untuk mengundurkan diri dari tahta kepresidenan, dan Jaksa  Penuntut Umum Mahkamah Kriminal Internasional didesak melakukan penyelidikan dan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Maduro dan kroni-kroninya atas kejahatan terhadap hak asasi manusia pada Juli 2024 pasca-protes massa atas pemilu penuh kecurangan yang memenangkan dirinya sebagai presiden tanpa legitimasi rakyat.

Seperti dilaporkan Amnesti International Venezuela 2025, para demonstran ditindas dengan kekerasan, pemerintah menggunakan kekuatan yang berlebihan, dan kemungkinan eksekusi di luar hukum (extra judicial killing).  Ribuan penangkapan sewenang-wenang dilakukan terhadap lawan politik, pembela HAM, dan jurnalis, ratusan anak-anak termasuk di antaranya ditahan, tahanan termasuk perempua dan anak-anak diduga disiksa.

Kondisi penahanan terus memburuk dan impunitas berlaku untuk penjahat HAM, pemeritah membatasi media independen, lembaga swadaya masyarakat (LSM) HAM diancam akan ditutup, pembela HAM tetap berada dalam risiko yang signifikan, dan di akhir tahun 2024, tak kurang dari 7,89 juta warga Venezuela telah meninggalkan negara itu akibat represi penguasa dan krisis ekonomi parah.

Meski rezim Nicolas Maduro belum runtuh, setidaknya pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepada Maria Corina Machado sebagai pemimpin oposisi yang kredibel di negara Amerika Selatan tersebut tidak hanya dilihat sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan semata.

Tetapi sekaligus sebagai dukungan nyata padanya agar terus berjuang melawan rezim Maduro yang otoriter dan brutal, agar terwujudnya iklim demokrasi yang kondusif dan pemerintahan yang inklusif, termasuk kebebasan dalam partisipasi politik pemilihan kepemimpinan nasional yang menjunjung tinggi aspek keadilan, hak asasi manusia, kebebasan, dan supremasi hukum.

“Seorang peraih Nobel, dalam banyak hal, adalah pandanan sekuler dari seorang santo yang masih hidup. Hal ini melengkapi citra publiknya yang semi-religius, kata Lizarralde tentang Machado, seorang Katolik taat yang sebelum bersembunyi setelah pemilihan presiden yang curang tahun lalu,menghadiri rapat umum sambil memegang rosario dan mengenakan salib di lehernya.

Itulah Via Dolorosa: jalan penderitaan, jalan cinta, jalan air mata, sekaligus jalan kemanusiaan yang diemban oleh Machado yang berangkat dari Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang lahir dari Konsili Vatikan II (1962-1965) tentang aggiornamento, semangat pembaruan peran awam dalam gereja, keterlibatan sosial dan politik yang lebih aktif, dialog dengan dunia modern dan agama lain, serta pembaruan liturgi dan struktur gereja.

Meminjam Paus Leo XIV, politik adalah bentuk cinta tertinggi, melalui politik melakukan (memperjuangkan) kebaikan bagi bersama. Politik yang baik adalah untuk melayani perdamaian dan harus didasarkan prinsip kasih dan kebaikan manusia.

Machado memang seorang “warrior” sejati yang sukses di medan juang, bukan karena ia seorang presiden atau jenderal yang dengan dukungan  kekuatan pasukan, senjata, atau peluru. Machado diakui keberanian sipilnya yang sukses menyatukan oposisi, menolak kekerasan, dan merawat akal sehat  serta menghidupkan harapan di negeri yang lebih dari satu dekade dikendalikan oleh rezim sosialis yang gagal.

Venezuela dilanda kemiskinan dan kegelapan karena kehilangan listrik, Machado muncul sebagai jawaban dan penerang, ia ibarat lilin di tengah badai minyak, meminjam kata Rosadi Jamani.

Ia menyadari bahwa perdamaian bukanlah membangun negeri seribu satu malam atau semudah mengedipkan mata, tapi butuh usaha, kerja keras, pengorbanan jiwa dan raga. Ia diakui dunia karena sukses mengonsolidasikan kekuatan rakyat untuk menentang pemerintahan Maduro tanpa melepaskan satu peluru pun.

Ia yakin bahwa jembatan perdamaian hanya dibangun di atas kesadaran rakyat sendiri, bukan di konfrensi tingkat tinggi, platform media sosial, cerita indah di ruang etalase, atau diplomasi kongkow-kongkow. Ketika disabotase dalam pencalonan presiden, ia tidak putus harapan, ia justru bangkit meyakinkan rakyatnya bahwa demokrasi dan kebebasan bukanlah hadiah, tetapi butuh peluh, keringat dan harga yang harus dibayar.

Ia tidak melawan pemerintahan diktator dengan pasukan terlatih dan alat tempur yang canggih, tetapi hanya mengenakan rosario sebagai perisai perjuangannya disertai keberanian dan ketulusan hati serta keyakinan besar membawa rakyat Venezuela melewati hari-hari gelap rezim diktator.

Di saat penguasa diktator sibuk tampil performatif untuk memoleskan citranya di panggung global dan kawasan dengan retorika sosialisme ala Bolivarian dan anti-asing yang kamuflatif dan terkesan menjadi panggung sandiwara, ia justru turun ke masyarakat di kampung-kampung, menyusuri kebun, menyeberangi sungai, dan menaiki tebin, ia menyadarkan mereka tentang pentingnya persatuan sebagai syarat mutlak menuju perubahan, kebebasan, dan perdamaian sejati.

Saat Maduro sibuk memamerkan egonya, Machado memilih diam mengatur rakyatnya tentang pentingnya demokrasi sebagai pintu menuju kesejahteraan dan kebaikan bersama (bonum commune), serta menjadi sarana mengantarkan Venezuela menjadi maju di masa depan. Ia membuktikan bahwa pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepadanya bukan karena pertimbangan politik, tetapi karena totalitas perjuangan yang disertai kelembutan hati yang dilakukan secara konsisten.

Sebab, perdamaian tak butuh logika mayoritas, juga tak butuh pasukan,  tetapi perdamaian butuh perjuangan tanpa kekerasan, juga tanpa alasan. Ia tak menandatangani perjanjian damai di meja marmer, tapi ia menandatangi sejarah di tembok rakyat yang telah haus akan kebebasan. Atas kredibilitas dan konsistensi perjuangnnya ini, Komite Nobel Perdamaian menyebut Machado memenuhi tiga kriteria Alfred Nobel: mempromosikan perdamaian, mengurangi ketegangan antarabangsa, dan memperjuangkan hak asasi manusia.

Semoga, perjuangan Machado di Venezuela, Amerika Latin sekaligu memenangkan hadiah Nobel Perdamaian di bulan suci Rosario, Oktober 2025 ini, menjadi simbol perjuangan yang mengispirasi semua umat manusia, terutama generasi muda, termasuk kaum perempuan untuk bisa ikut serta dalam pawai modernisasi, terus menggagas perubahan dan memperjuangkan demokrasi, keadilan sosial, perdamaian, dan kemanusiaan yang menjadi nilai-nilai luhur kebaikan universal.

Machado telah disejajarkan dengan sejumlah pemenang hadiah Nobel Perdamaian terdahulu, antara lain, Adolfo Perez Esquivel, Argentina (1980), Aung San Suu Kyi, Myanmar (1991), Liu Xiaobo, Tiongkok (2010), Malala Yousafzai, Pakistan (2014), dan Maria Ressa dari Filipina (2021), Dmitry Muratov, Rusia (2021), dan Narges Mohammadi, Iran (2023)! Liberte.

Thomas Ch Syufi

Advokat dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights; tinggal di Kota Jayapura, Papua, Indonesia