Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pengantar
Papua, tanah yang kaya dengan sumber daya alam, telah lama menjadi bagian dari perebutan geopolitik dunia. Secara administratif, ia ditempatkan sebagai provinsi paling timur Indonesia. Namun secara strategis, Papua adalah pintu gerbang menuju Pasifik, jembatan antara Asia Tenggara dan Oceania, serta penghubung antara Samudra Hindia dan Pasifik. Posisi ini menjadikannya wilayah yang terus diperebutkan, baik secara halus melalui diplomasi dan ekonomi, maupun secara keras melalui operasi militer dan politik.
Di tengah realitas itu, kepentingan besar dari Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, bahkan Australia, terus membayang. Masing-masing memiliki alasan sendiri untuk menaruh perhatian pada Papua: dari akses jalur laut, sumber daya alam, hingga agenda politik global. Bagi Indonesia, Papua adalah harga mati: tanah yang harus dipertahankan dengan segala cara. Namun bagi rakyat Papua, persoalan utamanya tetap sama: apakah kekayaan ini akan membawa kebahagiaan dan keadilan, atau justru penderitaan yang berkepanjangan?
Geografi dan Sumber Daya sebagai Daya Tarik Utama
Secara geografis, Papua menempati posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Ia berhadapan langsung dengan Laut Arafura, Laut Bismarck, dan Laut Solomon, yang merupakan jalur penting perdagangan serta lintasan militer. Selat Torres yang memisahkan Papua dengan Australia utara adalah salah satu koridor laut yang paling dijaga ketat di dunia. Dalam kacamata geopolitik, siapa pun yang menguasai ruang laut Papua akan memiliki keunggulan dalam mengatur lalu lintas antara Asia Timur dan Australia, bahkan ke Pasifik Selatan.
Selain posisi strategis, kekayaan sumber daya alam menjadikan Papua incaran berbagai kekuatan. Tambang Grasberg di Mimika, yang dikelola oleh Freeport Indonesia (anak perusahaan Freeport-McMoRan dari AS), adalah salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia. Cadangan ini tidak hanya penting bagi industri perhiasan atau elektronik, tetapi juga untuk teknologi mutakhir seperti kendaraan listrik, energi terbarukan, dan infrastruktur digital. Dengan cadangan miliaran ton, Papua memegang kunci dalam transisi energi global.
Di sektor energi, Teluk Bintuni menjadi lokasi proyek LNG Tangguh yang dikelola BP. Proyek ini menyumbang pasokan gas dalam jumlah besar ke pasar Asia, terutama Tiongkok dan Jepang. Dengan tambahan fasilitas baru, kapasitas produksinya semakin meningkat, menjadikannya salah satu aset energi paling strategis di kawasan. Keberhasilan menjaga operasi ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal geopolitik: siapa pun yang mengamankan Papua akan memiliki kendali atas rantai pasok energi regional.
Tidak kalah penting, Papua juga kaya akan hutan tropis, keanekaragaman hayati, serta potensi perikanan yang luar biasa. Dari sisi geopolitik, sumber daya ini menjadi aset ekologis yang memengaruhi posisi tawar dalam isu global seperti perubahan iklim. Namun, di sisi lain, eksploitasi besar-besaran juga melahirkan kerusakan lingkungan, konflik tanah adat, dan ketidakadilan dalam distribusi manfaat.
Dengan kombinasi antara posisi strategis dan sumber daya raksasa ini, Papua tidak pernah bisa dilepaskan dari radar geopolitik dunia.
Kepentingan Amerika Serikat
Amerika Serikat menempatkan Papua dalam peta strateginya di Indo-Pasifik. Bagi Washington, Papua adalah bagian dari garis pertahanan yang membentang dari Jepang, Guam, hingga Australia. Kehadiran AS di kawasan ini bukan semata-mata karena isu demokrasi atau HAM, melainkan kepentingan menjaga jalur laut tetap terbuka dan mencegah dominasi Tiongkok.
Dalam konteks ekonomi, tambang Grasberg adalah simbol keterikatan AS dengan Papua. Meski Indonesia kini memegang mayoritas saham Freeport Indonesia, perusahaan AS tetap memiliki kendali manajerial. Produksi tembaga dari Grasberg sangat vital bagi industri teknologi dan militer AS. Tanpa pasokan ini, rantai produksi semikonduktor, baterai, dan infrastruktur energi bersih di Amerika bisa terganggu. Karenanya, Washington akan memastikan akses ke sumber daya ini tetap aman, meski harus berkompromi dengan Jakarta.
Selain itu, AS memperkuat kemitraan keamanan di sekitar Papua. Perjanjian pertahanan dengan Papua Nugini pada 2023 membuka akses bagi militer AS ke pelabuhan dan pangkalan udara penting. Hal ini memungkinkan Washington mengawasi pergerakan di sekitar Papua dan Selat Torres, sekaligus mengimbangi pengaruh Tiongkok di Pasifik. Latihan militer gabungan dengan Indonesia, seperti Super Garuda Shield, juga menjadi bagian dari strategi mempertahankan pengaruh di kawasan.
Meski demikian, AS cenderung berhati-hati dalam menyikapi isu politik Papua. Washington jarang secara resmi mendukung aspirasi kemerdekaan Papua karena tidak ingin merusak hubungan dengan Indonesia, mitra strategisnya di Asia Tenggara. Namun, isu HAM tetap menjadi kartu diplomasi yang sewaktu-waktu bisa dimainkan, baik untuk menekan Jakarta maupun untuk memperkuat posisi tawar AS dalam negosiasi ekonomi.
Kepentingan Tiongkok
Tiongkok melihat Papua melalui dua kacamata: ekonomi dan geopolitik. Dari sisi ekonomi, Papua adalah bagian dari rantai pasok energi dan mineral yang krusial. Gas dari proyek Tangguh LNG mengalir ke pasar Tiongkok, sementara mineral lain dari Indonesia, terutama nikel, sudah menjadi fondasi bagi industri baterai dan kendaraan listrik mereka. Walau tidak dominan langsung di Papua, Tiongkok menyadari bahwa stabilitas wilayah ini sangat penting bagi kepentingan energinya.
Di sisi geopolitik, Beijing berupaya memperluas pengaruhnya di Pasifik. Perjanjian keamanan dengan Kepulauan Solomon pada 2022 menjadi langkah nyata yang mengkhawatirkan Australia dan AS. Papua, yang berdekatan dengan PNG dan Solomon, otomatis masuk dalam kalkulasi strategis Tiongkok. Jika pengaruhnya di kawasan Melanesia menguat, Beijing bisa mengimbangi posisi AS dan sekutunya di Pasifik. Oleh karena itu, Papua bukan sekadar provinsi jauh di timur Indonesia, tetapi bagian dari puzzle besar dalam strategi Indo-Pasifik Tiongkok.
Tiongkok juga bermain di ranah diplomasi dan pembangunan. Lewat bantuan infrastruktur dan investasi di negara-negara Pasifik, Beijing mencoba meraih simpati. Beberapa negara kecil di Melanesia yang condong mendukung isu Papua juga menjadi sasaran pendekatan. Dengan begitu, Tiongkok bisa memiliki leverage diplomatik yang dapat dipakai kapan saja, baik untuk melawan tekanan AS maupun untuk menekan Indonesia jika diperlukan.
Namun, sama seperti AS, Tiongkok juga tidak secara terbuka mendukung kemerdekaan Papua. Stabilitas jauh lebih penting. Hubungan ekonomi dengan Indonesia yang sangat erat—terutama dalam sektor nikel, batubara, dan investasi infrastruktur—membuat Beijing enggan mengambil risiko. Papua bagi Tiongkok adalah aset strategis, bukan isu yang harus diubah status politiknya.
Kepentingan Rusia
Bagi Rusia, Papua mungkin bukan prioritas utama, tetapi tetap memiliki nilai simbolis dan strategis. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul isu bahwa Moskow tertarik untuk mendapatkan akses ke basis militer atau fasilitas strategis di Papua. Walau isu ini dibantah, kenyataannya Rusia memang berusaha memperluas jejaknya di Indo-Pasifik, termasuk lewat kerja sama pertahanan dengan Indonesia.
Rusia memandang Papua sebagai bagian dari strategi global untuk melawan dominasi AS. Dengan memperkuat hubungan dengan Indonesia, Rusia bisa menunjukkan bahwa mereka masih relevan dalam dinamika Asia. Isu Papua bisa digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam diplomasi internasional, meski kecil kemungkinan Moskow benar-benar mendorong perubahan status politik wilayah ini.
Di sisi lain, Rusia juga tertarik pada potensi kerja sama energi dan teknologi. Dengan Papua sebagai salah satu penghasil gas terbesar, peluang kerja sama selalu terbuka. Namun, keterbatasan ekonomi Rusia akibat sanksi internasional membuat pengaruhnya di Papua masih jauh di bawah AS dan Tiongkok.
Indonesia dan Status Quo
Bagi Indonesia, Papua adalah bagian yang tidak bisa dinegosiasikan. Sejak integrasi pada 1969 yang disahkan PBB lewat Resolusi 2504, pemerintah pusat menegaskan bahwa Papua adalah bagian sah dari NKRI. Pemekaran provinsi pada 2022 menjadi bukti bahwa Jakarta ingin memperkuat kontrol administratif, memperluas jaringan birokrasi, sekaligus mempertebal kehadiran negara di wilayah yang rawan konflik.
Ekonomi Papua juga menjadi alasan utama. Pendapatan dari tambang dan gas memberi kontribusi signifikan bagi kas negara. Meski sebagian keuntungan dinikmati pemerintah pusat, narasi yang dibangun adalah bahwa Papua juga mendapat manfaat lewat dana otonomi khusus. Namun, di lapangan, rakyat Papua masih sering merasa terpinggirkan, dengan angka kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan yang jauh tertinggal dibanding wilayah lain.
Di mata Jakarta, menjaga Papua berarti menjaga integritas Indonesia. Oleh karena itu, operasi keamanan, pemekaran daerah, dan proyek pembangunan selalu dikaitkan dengan isu “persatuan nasional.” Namun, pendekatan ini sering dipandang rakyat Papua sebagai bentuk kontrol politik dan ekonomi yang menindas.
Masa Depan Papua: Antara Stabilitas dan Aspirasi Merdeka
Masa depan Papua bergantung pada tiga faktor utama: kekuatan besar dunia, sikap Indonesia, dan ketahanan rakyat Papua sendiri. Di tingkat internasional, dukungan terhadap kemerdekaan Papua masih minim. Negara-negara besar lebih mementingkan stabilitas dan hubungan dengan Indonesia ketimbang risiko geopolitik jika Papua merdeka. Bahkan negara-negara Pasifik pun terpecah: sebagian mendukung Papua, sebagian lainnya memilih netral karena tergantung pada bantuan dari Australia, AS, atau Tiongkok.
Bagi Indonesia, masa depan Papua berarti memperkuat integrasi. Pemerintah mungkin akan terus mendorong pembangunan infrastruktur, hilirisasi sumber daya, serta pemekaran administratif. Namun, tanpa keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, langkah ini tidak akan meredam aspirasi kemerdekaan. Justru bisa memperkuat perlawanan jika rakyat merasa tidak didengarkan.
Sementara itu, bagi rakyat Papua, perjuangan untuk keadilan tidak selalu berarti kemerdekaan formal. Ada yang menuntut referendum, ada pula yang menuntut otonomi sejati yang memberikan ruang lebih besar untuk mengatur tanah mereka. Perjuangan ini bisa berlanjut dalam berbagai bentuk: diplomasi internasional, aksi massa, hingga advokasi HAM.
Penutup
Papua adalah sebuah paradoks. Ia adalah tanah yang kaya tetapi rakyatnya miskin. Ia adalah wilayah yang strategis tetapi sering kali terpinggirkan. Ia adalah bagian dari Indonesia, tetapi aspirasinya sering tidak sejalan dengan narasi negara. Dalam pusaran geopolitik dunia, Papua akan terus menjadi rebutan. Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Indonesia sama-sama berkepentingan, tetapi tidak ada yang benar-benar berpihak pada rakyat Papua.
Selama kekuatan besar hanya melihat Papua sebagai pion dalam permainan global, nasib rakyat Papua akan tetap terkatung-katung. Namun, sejarah menunjukkan bahwa suara rakyat tidak pernah padam. Aspirasi kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan akan terus hidup, sekalipun terhimpit di antara kepentingan besar dunia.