OPINI  

Papua dan Dana Transfer ke Daerah

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, Doktor lulusan Universitas Cenderawasih Jayapura, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yosua Noak Douw
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih Jayapura, Papua

PEMERINTAH Pusat berencana memangkas dana transfer ke daerah (TKD) tahun 2026. Rencana ini tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) Tahun 2026, di mana alokasi belanja tersebut menjadi Rp 650 triliun dari Rp 919,9 triliun atau turun 29,34 persen dalam APBN Tahun 2025.

Langkah ini serta merta akan menyandera daerah dengan topangan Anggaran Pendapatan dan Daerah (APBD) minim, terutama APBD di seluruh wilayah tanah Papua (selanjutnya, Papua). Kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah di Papua merupakan ancaman nyata dan serius bagi pembangunan bumi Cenderawasih di tengah topografi wilayah yang membelenggu.

Papua sudah menjadi rahasia umum di mana pulau besar paling timur Indonesia masih menyimpan aneka persoalan membelit di hampir semua sektor pembangunan meski bergelimang sumber daya alam (SDA) yang melimpah atau kaya raya. Realitas ini tentu akan berseberangan dengan latar belakang di balik kebijakan pemerintah pusat ihwal dana transfer ke daerah.

Kita tahu, kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) diatur melalui Kerangka Pendanaan Jangka Menengah (KPJM) Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2025-2027. Kebijakan ini mesti dibaca dan dipahami pemangku kepentingan pusat, khususnya kementerian dan lembaga dalam perspektif keadilan fiskal untuk Papua.

Mengapa? Kebijakan tersebut berpotensi menabrak semangat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU Otsus Papua lahir guna memberikan perlindungan khusus dan afirmatif bagi pembangunan di tanah Papua.

Ketergantungan Fiskal

Data menunjukkan, Papua memiliki ketergantungan fiskal pada transfer pusat mencapai 85 persen dari total APBD. Sementara kontribusinya terhadap penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas) dan pertambangan mencapai 15 persen.

Paradoks inilah yang membuat kebijakan pemangkasan dana transfer menjadi sangat berisiko bagi stabilitas pembangunan dan keamanan sosial di Papua. Kebijakan tersebut juga akan berdampak langsung bagi Papua. Dampak tersebut dapat dilihat dalam dua aspek penting.

Pertama, dampak layanan dasar. Pemangkasan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp 291 miliar pada 2025 akan menyentuh pada aspek kualitas layanan dasar. Padahal, merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2023 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih berada di level 65,09, jauh di bawah rata-rasa nasional 75,05. Pengurangan anggaran pendidikan dan kesehatan akan memperburuk indeks ini dan memperlebar kesenjangan dengan daerah lain.

Kedua, pembatasan akses infrastruktur. Saat ini hanya 45 persen jalan di Papua dalam kondisi baik, sementara akses transportasi darat masih sangat terbatas. Pemangkasan DAK fisik akan semakin mempersulit pembangunan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan untuk menghubungkan wilayah-wilayah terpencil.

Oleh karena itu, ada beberapa tawaran jalan keluar atau solusi konkret sekaligus rekomendasi strategis. Pertama, kebijakan fiskal afirmatif. Pemerintah pusat harus menerapkan kebijakan diferensiasi fiskal yang memberikan perlakuan khusus bagi Papua berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019. Papua seharusnya mendapatkan pengecualian dari kebijakan pemangkasan mengingat kondisi khususnya.

Kedua, optimalisasi dana otonomi khusus. Optimalisasi ini dilakukan dengan meningkatkan alokasi dan efektivitas dana otsus dengan fokus pada program prioritas yang berdampak langsung pada peningkatan IPM. Berikut, mekanisme pengawasan ketat dengan melibatkan masyarakat adat dan lembaga independen serta prioritas pada pembiayaan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur kritikal.

Ketiga, skema pendanaan inovatif. Dana transisi (transition fund) khusus untuk Papua selama masa implementasi kebijakan. Skema kemitraan publik-swasta yang dijamin pusat untuk proyek infrastruktur strategis. Kemudian, pemanfaatan dana lingkungan global untuk pembangunan berkelanjutan di Papua

Keempat, penguatan tata kelola keuangan daerah. Langkah ini dapat ditempuh melalui capacity building intensif untuk aparatur daerah dalam pengelolaan keuangan. Selain itu, digitalisasi sistem pengadaan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi serta optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemanfaatan SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable).

Kelima, pendekatan pembangunan berbasis budaya dan lingkungan. Di sini perlu ada skema pembiayaan khusus untuk pembangunan yang kearifan lokal dan kelestarian lingkungan. Kemudian, pemberdayaan ekonomi masyarakat adat melalui skema pendanaan mikro yang tepat sasaran. Lalu, terakhir, pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya Papua yang memiliki nilai tambah tinggi.

Catatan Kritis

Hemat penulis, ada sejumlah catatan kritis untuk pemerintah pusat terkait pemangkasan dana transfer ke daerah, terutama dalam konteks Papua. Pertama, sedapat mungkin pemerintah pusat menghindari pendekatan satu ukuran untuk semua.

Kebijakan fiskal idealnya harus mempertimbangkan keberagaman kapasitas dan kondisi daerah. Papua membutuhkan pendekatan khusus yang mempertimbangkan karakteristik geografis yang melilit, sosial, dan budaya yang unik.

Kedua, perkuat koordinasi dan dialog. Saat ini sangat mendesak yaitu diperlukan forum konsultasi permanen antara pemerintah pusat dan daerah di Papua —dan tentu juga di daerah-daerah lain di Indonesia dengan topangan APBD minim— guna memastikan kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan riil dan kapasitas daerah.

Ketiga, belajar dari masa lalu (learning from the past). Pemerintah pusat harus belajar dari pengalaman implementasi kebijakan serupa yang justru memperlebar kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, serta barat dan timur Indonesia.

Kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah merupakan ujian besar bagi komitmen pemerintah terhadap prinsip keadilan fiskal dan pembangunan inklusif. Dalam konteks Papua, sekali lagi, kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah berisiko memundurkan pencapaian pembangunan yang sudah susah payah dibangun.

Paling kurang ada beberapa rekomendasi yang harus menjadi atensi pemerintah pusat. Pertama, penundaan implementasi kebijakan pemangkasan untuk Papua sampai tersedia skema pengganti yang memadai.

Kedua, penguatan skema afirmatif melalui perluasan cakupan dan peningkatan alokasi dana otonomi khusus. Ketiga, pendampingan teknis intensif dari pemerintah pusat untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah.

Keempat, pengembangan skema pendanaan alternatif yang inovatif dan sesuai dengan karakteristik Papua. Kelima, monitoring dan evaluasi secara komprehensif yang melibatkan para pemangku kepentingan lokal (stakeholders).

Pembangunan Papua bukan hanya tentang angka-angka statistik, tetapi tentang keadilan, perdamaian, dan keberlanjutan. Kebijakan fiskal harus menjadi alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur bernegara di level daerah.

Bukan sebaliknya, menghambat melalui kebijakan yang terkesan jauh dari pertumbuhan, penciptaan lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan, dan lingkungan (pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment).