OPINI  

Otsus Papua Ibarat Mobil Menyusuri Jalan Terjal

Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev, Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Uncen Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Imanuel Gurik

Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua

OTONOMI Khusus (Otsus) Papua merupakan kebijakan afirmatif negara melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU Otsus tersebut lahir sebagai upaya menjawab kesenjangan pembangunan, memperkuat penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua (OAP) serta mengintegrasikan Papua dalam pembangunan nasional dengan pendekatan keadilan dan keberpihakan.

Selama dua dekade berjalan, efektivitas Otsus Papua masih menjadi perdebatan. Analogi yang tepat untuk menggambarkannya adalah sebuah mobil. ‘Mobil otsus’ memiliki mesin kuat berupa dasar regulasi dan alokasi dana besar. Namun, ‘mobil’ tersebut sering tersendat karena “bahan bakarnya” yaitu tata kelola, sumber daya manusia (SDM), dan partisipasi masyarakat masih terbatas. Jalan yang harus ditempuh pun tidak rata, melainkan penuh jurang, gunung, dan rawa khas geografis Papua.

Terekstrim di Indonesia

Papua adalah wilayah dengan topografi paling ekstrim di Indonesia. Pegunungan Jayawijaya menjulang tinggi, lembah Baliem membentang luas, dan rawa-rawa membatasi pesisir selatan. Infrastruktur menjadi tantangan mendasar. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2021 Tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua, pembangunan infrastruktur dasar adalah kewenangan prioritas otsus. 

Namun, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (2022) menunjukkan masih melewati jalan terjal berliku. Kondisi ini dapat dilihat nyata. Misalnya, Jalan Trans Papua sepanjang 3.462 kilometer belum sepenuhnya tersambung. Banyak distrik (kecamatan) hanya bisa dijangkau dengan pesawat kecil atau berjalan kaki berhari-hari. Berikut biaya logistik bisa 4–6 kali lipat dari daerah lain. Keterbatasan infrastruktur ini membuat ‘mobil otsus’ berjalan lambat. 

Dana besar terkuras untuk biaya distribusi, bukan peningkatan kualitas layanan. Di sini, mesin otsus berupa regulasi dan tata kelola masih menjadi aspek penting. Otsus memberikan kerangka kelembagaan yang cukup kokoh, yaitu adanya Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga kultural berdasarkan Pasal 19–25 UU Otsus, alokasi dana otsus 2,25 persen dana alokasi umum (DAU) nasional berdasarkan Pasal 34 UU Otus hasil revisi serta perlindungan afirmatif bagi orang asli Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan politik.

Namun, kerap mesin otsus ini sering “ngadat” karena beberapa aspek. Pertama, akuntabilitas lemah. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menemukan banyak laporan penggunaan dana otsus tidak sesuai standar akuntansi. Kedua, faktor korupsi. Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat Papua menunjukkan lemahnya integritas. Ketiga, birokrasi terbatas. Banyak kabupaten daerah otonom baru (DOB) kesulitan mengelola program sesuai regulasi. Tanpa tata kelola yang kuat, mesin otsus hanya menghasilkan asap, bukan tenaga pendorong.

Adat dan Budaya

Pasal 43–47 UU Otsus Papua menegaskan penghormatan terhadap hukum adat, tradisi, dan budaya Papua. Sayangnya, aspek ini sering terpinggirkan dalam praktik pembangunan. Masyarakat adat Papua memiliki sistem hukum tersendiri seperti penyelesaian sengketa melalui ‘honai adat’, mekanisme perdamaian berbasis kompensasi (belis) serta sanksi sosial. Namun, birokrasi formal sering mengabaikan mekanisme ini.

Sedangkan tradisi budaya seperti bakar batu, pesta adat, dan struktur kepala suku bukan sekadar tradisi melainkan sarana merekatkan kohesi sosial. Program pembangunan yang tidak selaras dengan tradisi sering ditolak masyarakat. Begitu pula dalam kearifan lokal. Konsep tanah sebagai ‘ibu’ (tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi identitas dan kehidupan) sering berbenturan dengan pendekatan pembangunan yang murni kapitalistik.

Pembangunan yang mengabaikan hukum adat dan budaya ibarat memaksa mobil melaju tanpa memperhatikan rambu jalan lokal. Akibatnya, timbul resistensi, konflik bahkan kegagalan program. Otsus juga diharapkan menjadi jawaban atas problem kemanusiaan di Papua. Namun, indikator ketertinggalan masih bisa dideteksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan, kemiskinan di Papua masih tinggi, sekitar 26,9 persen dan Papua Barat berada di angka 21,3 persen

Sedangkan di bidang kesehatan berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2023, angka kematian bayi 48/1000 kelahiran, tertinggi di Indonesia. Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah 6,6 tahun, di bawah target nasional 9 tahun. Kemudian, mencermati konflik sosial, terlihat masih ada gesekan antara aparat dan masyarakat sipil yang menimbulkan korban. Dimensi kemanusiaan menunjukkan bahwa ‘mobil’ otsus membawa penumpang dalam jumlah banyak yang masih sakit dan lapar. Tanpa pemenuhan hak dasar (hak hidup, hak kesehatan, hak pendidikan), perjalanan menuju sejahtera tentu akan tersendat-sendat.

SDM sebagai Bahan Bakar

Sumber daya manusia (SDM) Papua ibarat ‘bahan bakar; utama. Namun masih terjadi kesenjangan yang memerlukan intervensi para pihak (stakeholders). Sektor pendidikan masih rendah, di mana banyak anak di pedalaman terpaksa putus sekolah di sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) karena akses terbatas.

Gizi buruk dan malaria masih menjadi masalah utama urusan kesehatan masyarakat sehingga menghambat kualitas generasi muda. Kapasitas para birokrat masih menjadi pergumulan. Banyak aparatur sipil negara (ASN) belum memiliki keterampilan teknis memadai untuk mengelola dana dan program otsus.

Anak-anak Papua yang dikirim sekolah ke luar negeri kerap sulit beradaptasi karena minim program pendampingan. Jika SDM tidak diperkuat, maka mesin otsus kekurangan bahan bakar. Mobil mungkin bagus, tetapi hanya bisa berhenti di tengah jalan.

Efisiensi menjadi tantangan utama. Efisiensi dalam bahasa Dunn (2003) berarti perbandingan optimal antara input (dana, tenaga) dengan output (hasil pembangunan). Otsus Papua belum efisien karena biaya tinggi akibat kondisi geografis, Tata kelola lemah sehingga dana bocor, duplikasi program antara provinsi, kabupaten, dan pusat. Minim partisipasi masyarakat sehingga program tidak sesuai kebutuhan. Mobil otsus akhirnya boros bensin tetapi tidak melaju jauh.

Agar ‘mobil’ otsus benar-benar sampai ke tujuan ada beberapa langkah strategis perlu ditempuh. Pertama, penguatan regulasi. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 di atas dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2021 yang mengatur tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam rangka pelaksanaan Otsus Papua harus konsisten, terutama kewenangan khusus dan pemanfaatan Dana Otsus.

Kedua, infrastruktur dasar. Jalan, jembatan, internet, listrik, dan rumah sakit harus menjadi prioritas belanja otsus. Ketiga, integrasi hukum adat. Pemerintah daerah wajib melibatkan mekanisme adat dalam perencanaan, misalnya musyawarah adat sebagai dasar RPJMD kampung. Keempat, pelestarian budaya. Pendidikan harus memasukkan muatan lokal Papua agar generasi muda tidak tercerabut dari akarnya.

Kelima, penguatan SDM. Beasiswa afirmatif, sekolah kejuruan berbasis lokal (pertanian, perikanan, kesehatan), dan program 1000 HPK wajib diperluas. Keenam, kemanusiaan di atas segalanya. Pembangunan harus berorientasi pada human security: kesehatan, pangan, pendidikan, dan rasa aman. Ketujuh, transparansi digital. E-planning dan e-budgeting wajib diterapkan untuk mengurangi kebocoran.

Tidak Boleh Berhenti

Otsus Papua ibarat mobil di jalan pegunungan yang terjal. Mesin cukup kuat karena regulasi ada, namun bahan bakarnya kurang karena SDM dan tata kelola lemah. Jalan yang dilalui penuh rintangan geografis. Penumpangnya banyak yang sakit karena masalah sosial dan kemanusiaan belum teratasi. Sopirnya pun kadang tidak seirama, antara pusat, daerah, dan masyarakat adat.

Namun perjalanan ini tidak boleh berhenti. Dengan menghormati hukum adat, memperkuat tradisi budaya, membangun SDM sebagai bahan bakar utama, serta menata infrastruktur dan tata kelola, ‘mobil’ otsus Papua bisa tetap melaju. Tidak akan secepat mobil di jalan tol, tetapi akan sampai ke tujuan, yaitu Papua yang sejahtera, bermartabat, sehat, cerdas, dan produktif dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (*)