OPINI  

Otonomi Khusus Papua Gagal

Ismail Asso, Anggota MRP Papua Pegunungan. Sumber foto: papua.tribunnews.com, 2 April 2025

Loading

Oleh Ismail Asso

Anggota MRP Papua Pegunungan

SECARA keseluruhan Otonomi Khusus (Otsus) Papua gagal memenuhi tujuan utamanya yakni mensejahterakan rakyat Papua. Kesenjangan terjadi di mana-mana terbukti eksistensi separatisme pimpinan Egianus Kogoya semakin masif dan meluas khususnya di wilayah Pegunungan Papua. 

Seiring dengan itu Pemerintah Pusat tidak diam, kita saksikan, secara reguler ribuan pengiriman militer ke tanah Papua terus-menerus bertujuan menumpas apa yang dikhawatirkan negara sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM). Banyak korban warga sipil Papua jadi korban.

Berbagai kesatuan militer dari berbagai Kodam seluruh Indonesia secara teratur dan bergilir dikirim ke Papua guna memastikan lancarnya pembangunan Papua era pasca Otsus Papua berjalan baik dan lancar sekaligus mengamankan teritorial wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari unsur separatisme TPNPB OPM. 

Untuk menumpas TPNPB OPM negara disponsori Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia Mahfud MD mendorong agar melalui DPR RI agar segera mengesahkan Undang-Undang (UU) stigma teroris pada TPNPB OPM atau oleh media mainstream menamakan sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Pemerintah Indonesia menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak kelompok kriminal bersenjata di Papua karena tindakannya dinilai memenuhi unsur tindak pidana terorisme. UU ini memberikan dasar hukum bagi aparat keamanan untuk menindak tegas kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror. (Kompas, 11 April 2021).

Meskipun banyak pihak menentang terutama kalangan penggiat HAM dan pengamat Hukum Internasional atas pelabelan teroris pada KKB atau TPNPB OPM. Berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipublikasikan dalam Papua Road Map (2008), setidaknya terdapat empat sumber konflik Papua.

Pertama, sejarah integrasi, status dan integritas politik. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Ketiga, kegagalan pembangunan. Keempat, marginalisasi orang Papua dan inkonsistensi kebijakan otonomi khusus. Mengacu kepada kompleksitas akar permasalahan konflik Papua tersebut, maka diperlukan upaya yang bersifat komprehensif dan menyeluruh dalam penyelesaian konflik Papua. 

Kebijakan yang hanya mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan ekonomi tidak akan menyentuh akar permasalahan dan menyelesaikan konflik, serta justru akan berpotensi membentuk gejolak sosial-politik yang terus berulang di masa depan. (www.elsam.or.id).

Indikasi Otsus Gagal

Indikasi tercapai tidaknya tujuan Otsus Papua tahun 2001 adalah adanya keamanan dan terciptanya kesejahteraan. Jika ada kesejahteraan dan pemerataan pembangunan tercapai maka akan terlihat adanya keamanan, kenyamanan hidup rakyat Papua dan kekerasan tidak akan muncul tapi di kota Wamena Papua Pegunungan. 

Misalnya, angka kriminalitas sangat tinggi, kasus kriminalitas terlihat dan terjadi di mana-mana di Kota Nabire, Wamena menunjukkan kegagalan Otsus Papua dengan wajah kekerasan terjadi dimana-mana setiap saat. Penjambretan, pembacokan, pembunuhan, dan pencurian terus-menerus muncul bahkan semakin meningkat menunjukkan adanya ketimpangan pemerataan pembangunan. 

Pemerataan pembangunan melalui UU Otsus Papua sejauh ini bisa dimaknai gagal, kesejahteraan sama sekali tidak ada hanya segelintir pejabat yang memiliki akses kekuasaan saja yang bisa kecipratan mendapatkan keuntungan sedangkan rakyat secara keseluruhan masih jauh dari harapan dan tujuan Otsus Papua.

Motivasi Negara

Kelihatannya motivasi para pemimpin negara melalui segelintir oknum pejabat negara terkesan bahwa Pemerintah Pusat negara memberlakukan Otsus Papua tujuan utamanya lebih pada proses percepatan pengerukan kekayaan alam Papua. Dugaan ini bukan tanpa bukti sedang terjadi di Pulau Gag Raja Ampat, LNG Bintuni dan PT Freeport Indonesia di Papua Tengah. Terakhir, Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah yang ditentang rakyat. 

Tapi puluhan tahun PT Freeport beroperasi di Timika Papua Tengah menghasilkan triliunan rupiah uang yang kembali ke rakyat Papua tak sebanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat Papua yang sumber daya alam (SDA) dikeruk pihak asing.

Untuk berpihak dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat Papua apalagi hanya sekedar menyuarakan kebenaran dan kepentingan mewujudkan kesejahteraan, kedamaian, keamanan, dan kenyamanan hidup rakyat Papua secara keseluruhan oleh MRP. 

Sejauh ini seluruh MRP setanah Papua seakan diam tak bersuara, belum nampak terlihat. MRP seolah tak sadar tugas fungsi dan tanggungjawab mengontrol seluruh kebijakan negara, pembangunan Papua oleh negara melalui UU Otsus sejak tahun 2001.