OPINI  

Mutu Pendidikan Papua Pegunungan Rendah

Ismail Asso, Anggota MRP Papua Pegunungan Pokja Agama Islam. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ismail Asso

Anggota MRP Papua Pegunungan Pokja Agama Islam

ARTIKEL ini lahir sebagai respon untuk mendukung statemen Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Pegunungan Bertus Asso dalam judul berita Gencar Lakukan Pemberantasan Buta Huruf, Direktur YBUPBHI Bertus Asso Minta Pemerintah Daerah Tak Mengirim Siswa Keluar Papua yang dilansir media online di Papua beberapa waktu lalu (tajukpapua.com, Senin, 18 Agustus 2025).

Gagasan perbaikan mutu pendidikan Papua Pegunungan baru pertama dimunculkan Bertus Asso, yang juga seorang seorang penulis. Intinya, layanan mutu pendidikan Papua dan khususnya wilayah Papua Pegunungan selama ini sangat rendah. Persoalan ini menjadi keprihatinan bersama.

Bertus, wakil rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengajak kita semua mengatasi persoalan mendasar ini. Ia mengajak dan memulai menggagas guna memperbaiki sistem pendidikan di Papua Pegunungan.

Gagasan sebagai seorang anggota DPRP Papua Pegunungan perlu dielaborasi, ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan pemerintah kabupaten (Pemkab) di seluruh wilayah Papua Pegunungan.

Awalnya, ketika membaca judul postingan yang di-share di grup WhatsApp penulis penasaran. Setelah membuka linknya dan baca isi gagasan (ide) Bertus Asso dalam tulisan ini ternyata bagus dan saya sangat setuju dengan gagasan Bertus Asso.

Walaupun judul berita paradoks (tak sesuai dengan isi pesan yang dimaksud Bertus, mungkin itu pilihan kata pembuat berita, tapi menurut penulis gagasan ini bagus dari isi tujuan penggagas walau judul paradoks dari tujuan pesan penggagas.

Kenapa? Karena gagasan baik dan tujuan yang dirindukan Bertus dalam frasa “pemberantasan buta huruf”. Ini berarti beliau kurang percaya dengan sistem pendidikan di Papua saat ini secara umum, khusus wilayah Papua Pegunungan. Fakta selama ini banyak melahirkan alumni sarjana yang secara literasi masih rendah alias buta huruf.

Penyelenggaraan pendidikan wilayah Papua Pegunungan mutunya sangat rendah. Mutu alumni pendidikan Papua secara umum sejauh ini rendah. Tujuan utama pendidikan gagal dalam arti tak melahirkan peserta didik menjadi terdidik secara intelektual, berilmu pengetahuan, berpikir kritis, teoritis, logis, dan abstrak tercerahkan (aufklärung, enlightenment).

Berarti secara fundamental sistem penyelenggaraan pendidikan rendah berdampak pada output alumni sarjana, yakni manajemen “sistem pendidikan”, kurang baik akan melahirkan alumni yang lemah dalam intelektualitas peserta didik dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. 

Apa yang Kurang?

Menurut penulis, sistem penyelenggaraan pendidikan di wilayah harus diperbaiki total karena layanan pendidikan selama ini kurang baik karena mutunya sangat rendah. Pembenahan dimulai dari perbaikan kualitas guru-guru, yakni guru yang berkualitas tinggi misalnya dengan memberlakukan aturan sebagai berikut.

Pertama, semua guru wajib memenuhi kualifikasi akademik strata satu (S1) dengan syarat khusus indeks prestasi kumulatif (IPK) dipatok 3,00 ke atas. Kedua, tenaga pengajar kelas 7 ke atas wajib lulusan strata dua (S2) dengan IPK sama dan lulusan perguruan tinggi (PT) dalam dan luar negeri.

Ketiga, dosen perguruan tinggi wajib lulusan S2 dan doktor bersertifikat lulusan universitas negeri terkemuka. Untuk memenuhi standar ini pemerintah provinsi melakukan menandatangani nota kesepahaman kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan perguruan tinggi terkemuka memberikan kesempatan para guru melanjutkan kuliah dengan beasiswa oleh pemerintah provinsi.

Pola pengajaran, sistem pola ajar, tidak lagi sistem lama dengan pendekatan hafalan dalam arti guru atau dosen kantongi jawab soal dan siswa menjawab sesuai jawaban dosen atau guru melainkan siswa diberikan soal menjawab dengan pola mengembangkan jawaban sendiri bukan jawaban dalam kantong kertas dalam saku guru atau dosen.

Pola pendidikan lama menganggap dosen atau guru tahu semua hal dan para siswa diisi ibarat gelas kosong. Pola ini memaksa para siswa harus menghafal rumus yang itu disimpan di buku catatan, bukan di otak peserta didik atau siswa dan siswi. Ketika ujian otomatis harus menyontek.

Pola Pengajaran Baru

Sistem makalah, sistem ini guru dan dosen hanya tutor (memberikan bimbingan) para siswa-siswi mencari tahu sendiri, bolak -balik berbagai judul buku sesuai silabus atau mata pelajaran keluar masuk perpustakaan mencari bahan-bahan judul buku sesuai silabus mata kuliah wajib dan anjuran pembimbing (guru, dosen).

Para siswa dan siswi diberi tugas membuat makalah secara berkelompok. Ketika masuk kelas mereka presentasi di depan teman-temannya di hadapan tutor (dosen, guru). Perdebatan lalu lintas dialektika ilmu pengetahuan akan terbangun dengan sendiri dan daya kritisme dan mencari tahu lebih luas dan dalam pengetahuan akan terwujud dengan semangat membaca buku berbagai literatur perpustakaan membuka wawasan pengetahuan dan meningkatkan mutu dan daya intelektualisme peserta didik.

Siswa dan siswi dibiarkan atau diberikan kebebasan, merdeka menjawab soal dan mengembangkan jawaban sesuai pengetahuannya dari berbagai penguasaan bahan bacaan dan pengalaman lapangan. Bukan jawaban sesuai jawaban yang disediakan oleh guru yang bersifat doktrinal, hafalan. Siswa dibiarkan menjawab sesuai pemahaman dan pengetahuan liar dan lapangan, bukan berdasar jawaban guru dan atau dosen.

Pantauan lapangan sejauh ini, nampak sistem pendidikan di Papua Pegunungan bersifat doktrinal (diatur, siswa didoktrin). Hasilnya (output) banyak sarjana malas berfikir, buta aksara, buta huruf, tidak kritis. Sekalipun sudah sarjana tetapi kenyataannya lemah dalam literasi.

Pola pengajaran terbukti sistem pendidikan di Papua, khususnya di Papua Pegunungan gagal mencerdaskan peserta didik, Ini berbeda dengan beberapa sekolah unggulan di wilayah Papua Tengah yang banyak melahirkan alumni berkelas, mampu menulis artikel, dan lain-lain.

Hal ini terbukti dalam literasi sangat rendah sebagai indikasi bahwa sistem pendidikan, berikut segala proses belajar-mengajar di wilayah Papua Pegunungan gagal total. Sekalipun sudah lulus sarjana masih banyak yang buta huruf.

Respon Gagasan Bertus

Menurut hemat penulis, sangat menarik bukan gagasannya tetapi judul tulisan di atas menggugah kita semua berefleksi. Bahwa pola pendidikan di Papua Pegunungan gagal total karena melahirkan banyak peserta didik yang tidak saja buta huruf melainkan secara keseluruhan mutu dan kualitas sarjana pendidikan berada di bawah standar.

Apa penyebabnya? Kita harus mencari tahu penyebab utama literasi sarjana masih rendah. Di antaranya, sistem pendidikan, mutu tenaga pengajar, alat peraga dalam sistem pendidikan, sarana pendidikan (gedung sekolah), dan fasilitas sekolah yang ada masih kurang.

Menurut penulis, ada aspek mendasar yang perlu dibenahi. Pertama, tenaga pengajar (guru) SD wajib S1 dengan IPK 3,00, bahkan kalau perlu 4,00. Mengapa? Karena mutu dan kualitas guru yang rendah tanpa kualifikasi akan melahirkan peserta didik tak bermutu lebih rendah.

Kedua, harus diubah sistem pengajaran pendidikan di mana tidak dengan pendekatan pembelajaran pengajaran sistem doktrin tetapi merdeka (bebas). Menurut penulis, perlu mengubah sistem ajar dan kurikulum harus diubah. Begitu juga kurikulum. 

Misalnya bobot pelajaran baca tulis ditambah karena ini menyentuh langsung dengan benar-salah sesuai Ejaan yang Disempurnakan (EYD) bersentuhan langsung alumni peserta didik dari TK, SD, SMP, SMA hingga PT apakah masih dianggap buta huruf atau tidak. Tolak ukurnya banyak parameter tetapi yang bersentuhan langsung adalah bobot belajar baca tulis secara benar sesuai EYD ada pada soal ini.

Terakhir, penulis mengusulan agar Pemprov Papua Pegunungan membuat kebijakan wajib belajar dengan membebaskan seluruh biaya hidup pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Kemudian, perlu mendatangkan guru-guru terbaik dan lulusan universitas negeri terkemuka dengan pola kerjasama diangkat langsung menjadi ASN lakukan dengan MoU kampus-kampus di luar Papua dan Uncen, Unipa, dan lain-lain.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan bahwa beasiswa pengiriman mahasiswa Papua keluar negeri sangat dibutuhkan dan harus terus ditingkatkan kuantitasnya agar lulusan terbaik luar dan dalam negeri di luar Papua dapat membawa gagasan baru dan paradigma perubahan pembangunan Papua ke depan lebih maju dan berkarakter.