OPINI  

Menjaga Papua, Merawat Jati Diri Bangsa

Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev, Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Uncen Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Imanuel Gurik 

Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua 

PAPUA, wilayah di ujung timur Indonesia, tidak sekadar diteropong dari perspektif geografis. Ia adalah simbol budaya, sejarah, dan peradaban manusia Indonesia. Papua dihuni oleh masyarakat asli yang memiliki karakter unik, nilai luhur, dan identitas yang tak ternilai. 

Jati diri bangsa Papua tercermin dalam setiap lapisan kehidupan: adat, bahasa, tradisi, agama, dan sosial budaya. Keberadaan regulasi pemerintah yang menghormati agama dan budaya menjadi pilar penting untuk menjaga identitas ini agar tetap hidup, relevan, dan terlindungi di tengah modernisasi dan globalisasi.

Setiap komunitas suku di Papua, baik yang tinggal di pesisir maupun pegunungan, menyimpan kekayaan budaya yang menjadi fondasi identitas masyarakatnya. Budaya bukan sekadar hiburan atau produk seni budaya, tetapi manifestasi filosofi hidup, pengetahuan lingkungan, dan kebijaksanaan sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Misalnya, ritual maskawin di tujuh wilayah adat Papua bukan hanya soal materi atau simbol pernikahan, tetapi pengakuan sosial, penghargaan terhadap perempuan, dan penguatan hubungan antar-marga. Setiap manik, guci, atau kain maskawin memiliki makna kehormatan, tanggung jawab, dan solidaritas. Budaya ini menegaskan bahwa hidup bersama, menghormati sesama, dan menjaga hubungan sosial adalah harta yang tak ternilai.

Bahasa daerah juga menjadi simbol identitas. Dengan ratusan bahasa, Papua menegaskan bahwa pengetahuan dan jati diri tidak diukur dari modernitas, tetapi dari kemampuan mempertahankan akar budaya. Bahasa Lani atau Dani misalnya, tidak hanya sarana komunikasi, tetapi juga media pendidikan moral dan pengetahuan leluhur.

Solidaritas Orang Papua

Salah satu karakter menonjol orang Papua adalah kasih yang tulus. Memberi tanpa diminta, menolong tanpa diminta, dan menghargai sesama meski hidup sederhana. Di Lembah Toli, Papua Pegunungan, misalnya, masyarakat hidup berdampingan dengan alam dan satu sama lain, membentuk jaringan solidaritas yang kokoh. Ketulusan ini mencerminkan jati diri yang tak ternilai sekaligus menunjukkan bahwa kemanusiaan sejati lahir dari hati yang tulus.

Karakter ini juga terlihat dalam penyelesaian konflik. Papua menekankan dialog, musyawarah adat, dan rekonsiliasi daripada kekerasan. Kepemimpinan di Papua lahir dari kebijaksanaan, rasa hormat, dan integritas, bukan hanya posisi formal. Kepemimpinan yang mengakar pada nilai moral, takut akan Tuhan, dan tanggung jawab sosial menjadi teladan bagi bangsa.

Pemerintah Indonesia melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua telah menetapkan regulasi untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, melestarikan bahasa, dan mendukung praktik budaya. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasus) mengatur perlindungan tanah adat, hak masyarakat adat, dan pendidikan berbasis budaya. Regulasi ini menunjukkan bahwa pembangunan modern dapat berjalan selaras dengan pelestarian nilai tradisional.

Di bidang agama, regulasi juga mendukung harmonisasi praktik keagamaan dan adat. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan kebijakan pemerintah daerah memastikan toleransi antarumat beragama tetap terjaga, sementara adat tetap dihormati. Ini menunjukkan bahwa Papua dapat maju secara modern tanpa kehilangan akar budaya dan identitas religiusnya.

Selain itu, pemerintah mendukung pelestarian situs sejarah masuknya Injil, pembangunan sekolah berbasis agama, dan program literasi budaya. Semua ini menegaskan bahwa regulasi bukan sekadar aturan, tetapi instrumen untuk menjaga jati diri yang tak ternilai.

Papua dan Peradaban Modern

Masuknya Injil ke Papua pada awal abad ke-20, melalui tokoh seperti Pendeta Pendeta Izaac Samuel (IS) Kijne membawa perubahan besar: sekolah, kesehatan, dan pendidikan modern hadir bukan untuk menggantikan budaya, tetapi untuk melengkapinya. 

Regulasi pemerintah yang melindungi praktik keagamaan dan adat memastikan Papua tidak kehilangan jati diri saat memasuki dunia modern. Kijne mewariskan sebuah frasa inspiratif: “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua.” Batu, simbol Kristus, menjadi fondasi moral dan spiritual bagi pembangunan peradaban.

Modernitas, pendidikan, dan teknologi dapat berjalan selaras dengan adat dan budaya Papua. Sekolah dan perguruan tinggi yang menekankan pendidikan karakter dan literasi budaya menjadi tempat generasi muda belajar menghormati tradisi sekaligus bersaing di dunia global.

Globalisasi menghadirkan tantangan besar. Anak muda sering dihadapkan pada pilihan antara mengikuti trend modern atau mempertahankan tradisi leluhur. Arus informasi dan tekanan ekonomi dapat mengikis nilai-nilai lokal. Regulasi pemerintah, pendidikan karakter, dan literasi budaya menjadi penting untuk menumbuhkan kebanggaan identitas Papua.

Namun, tantangan ini juga membuka peluang. Papua memiliki kekayaan alam, budaya, dan spiritual yang tak tertandingi. Wisata rohani, kerajinan tradisional, pertanian lokal, dan seni budaya dapat menjadi basis pembangunan ekonomi yang menghormati adat. Semua ini menunjukkan sinergi antara regulasi, budaya, agama, dan peran pemerintah.

Peran Stakeholders

Pembangunan Papua tidak bisa berjalan hanya oleh pemerintah. Peran masyarakat adat, tokoh agama, pemuda, dan lembaga swadaya masyarakat (stakeholders) sangat penting. Pemerintah bertugas memberikan regulasi yang melindungi budaya, mendukung pendidikan berbasis lokal, dan memfasilitasi pembangunan infrastruktur sesuai karakter masyarakat.

Misalnya, pembangunan dermaga, jalan, dan fasilitas publik yang mempertimbangkan kearifan lokal menunjukkan bahwa kemajuan material bisa selaras dengan identitas budaya. Pemerintah daerah juga mendorong festival seni budaya, pelatihan kerajinan tradisional, dan program literasi adat untuk generasi muda. Sinergi ini memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak mengorbankan jati diri Papua.

Pemimpin Papua sejati memahami akar budaya, menghargai tradisi, dan mengambil keputusan berdasarkan integritas dan kasih. Banyak tokoh masyarakat, tokoh adat, dan pemimpin gereja menunjukkan bahwa pembangunan bukan hanya soal gedung atau uang, tetapi membangun karakter, kepercayaan, dan solidaritas.

Pelayanan adalah wujud nyata jati diri orang asli Papua. Memberi kepada sesama, menjaga alam, dan menghormati tradisi bukan kewajiban semata, tetapi panggilan moral. Setiap individu menjadi bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar, menegaskan bahwa Papua adalah komunitas manusia yang kaya nilai dan berharga.

Jati diri Papua tak ternilai. Ia diwariskan dari leluhur, diperkuat oleh pengalaman, dan dilindungi oleh iman, adat, dan regulasi pemerintah. Generasi mendatang harus pelihara budaya, hargai tradisi, dan membangun masa depan tanpa meninggalkan akar sejarah. Pendidikan, teknologi, dan pembangunan ekonomi harus selaras dengan penghargaan terhadap identitas.

Kebanggaan terhadap Papua bukan sekadar simbol, tetapi motivasi untuk bertindak nyata: menjaga alam, membangun masyarakat, dan melayani sesama. Anak-anak Papua harus menyadari bahwa mereka bagian dari peradaban yang kaya nilai, mampu memberi inspirasi bagi dunia, dan memiliki jati diri yang tak ternilai.

Papua adalah simbol keindahan, kekayaan, dan kebijaksanaan manusia yang hidup selaras dengan alam, budaya, agama, dan regulasi pemerintah. Jati diri bangsa Papua —tercermin dari kasih, solidaritas, adat, bahasa, agama, dan dukungan regulasi pemerintah— adalah harta yang tak ternilai. Di tengah modernitas dan globalisasi, identitas ini harus dijaga, dihargai, dan dipertahankan.

Papua mengajarkan satu aspek penting lainnya: nilai manusia sejati tidak diukur dari materi atau teknologi, tetapi dari kemampuan untuk hidup bermakna, menjaga tradisi, menghormati sesama, dan membangun peradaban yang berlandaskan kasih, iman, budaya, dan regulasi yang bijaksana. Jati diri bangsa Papua tak ternilai. Itu adalah kekuatan terbesar yang memberi inspirasi bagi bangsa dan dunia.