SAYA berdiri di tepi Lapangan Karel Gobai, di samping tenda penjual pisang goreng. Persis di sebelahnya sepasang suami isteri menjual nasi kuning bungkus. Bungkusan disusun sekenanya dalam kotak kayu polos sederhana berplastik kusam. Pembeli boleh mengambil sendiri. Warna tali karet menandai lauk di dalamnya. Pilihannya ikan, telur ayam, dan daging ayam. Harga per bungkus 12 ribu.
Saya membeli pisang goreng yang baru saja ditiris minyaknya. Ada tiga laki-laki duduk di kursi plastik menikmati nasi bungkus. Bapak penjual nasi mengisap rokoknya dan mengangkat gelas kopinya. Sangkaku mereka berasal dari daerah atau memiliki bahasa yang sama. Mereka becakap-cakap dengan selingan tawa.
Saya tidak tahu apa isinya. Saya tidak bisa ikut tertawa. Meski berdiri sebagai orang ‘asing’, saya bertahan di sana untuk suatu alasan yang lain.
Dua hari sebelumnya saya masih di Nabire. Tanpa sengaja, saya bertemu teman lama dari Paniai. Setelah bertukar cerita, ia mengajak saya ke Enarotali. Terakhir kali saya ke Enarotali sebelumnya adalah Januari 2009. Sementara saya di Nabire, beragam cerita seputar tragedi Paniai Berdarah sudah saya dengar.
“Cerita tadi saya dapatkan dari Pak ini. Hari kejadian dia ada di sana. Rumahnya tidak jauh dari bandara. Tapi, pasti nanti ada versi yang berbeda. Selalu seperti itu kan di Papua? Selanjutnya orang dibuat bingung atau ragu-ragu mana yang betul-betul terjadi mana yang rekayasa,” kata temanku yang bermukim lama di Waghete, kota Kabupaten Deiyai.
Di dalam toyota fortuner menuju ke Enarotali, saya bertanya kepada teman yang sudah lama kenal. “Om, kita mau dengar yang mana. Orang-orang itu bingung. Banyak yang kita dengar di luar sana itu tidak sama dengan yang terjadi. Yang tidak tahu sama sekali juga bisa karang-karang cerita lalu hambur ke sana ke sini. Su tahu to… ada yang sengaja bikin air kabur,” tanggapannya.
“Bikin air kabur” berarti menghilangkan jejak; membuat suatu hal menjadi tidak jelas atau kurang bisa diidentifikasi. Siapa yang salah dan siapa yang benar menjadi serba tidak jelas. Kekacauan membawa petaka bagi yang lain, membawa kemujuran bagi sebagiannya.
Kekaburan ini boleh jadi memberikan keuntungan. Misalnya, bobot kesalahan menjadi berkurang sehingga berkonsekuensi pada jenis dan durasi hukuman. Kekaburan itu bisa saja mutlak menguntungkan karena betul-betul melenyapkan jejak kesalahan. Dalam hal ini cumi-cumi atau sotong adalah contoh yang baik; ia membuat air di sekitarnya kabur untuk melarikan diri dari pemangsanya. Intinya, tabiat “bikin air kabur” ini adalah modus untuk mencari selamat.
Namun, anak kecil pun tahu bahwa “bikin air kabur” itu sama dengan mencuri kebenaran. Sengaja membuat “air kabur” adalah tindakan pengecut. Dia (dan kawan-kawannya) selamat, dengan mengorbankan orang lain. Selalu ada yang menjadi tumbal ketika hoax atau kabar bohong diproduksi dan direproduksi, apalagi dikekalkan untuk bertahun-tahun. Karena fitnah, seseorang bisa kehilangan pekerjaannya. Bahkan, jika kita lihat sejarah di negara ini, korban fitnah bisa kehilangan hak-haknya, termasuk hak hidupnya, anggota keluarga, dan keturunannya.
Tidak sampai satu bulan sejak kejadian, tragedi Paniai berdarah itu sudah dikaburkan. Tidak jelas. Memaksa orang untuk ragu-ragu. Suara-suara kesaksian orang-orang dipatahkan dengan rumor-rumor atau cerita-cerita tandingan. Banyak orang, termasuk saya, menjadi tidak yakin mana cerita yang betul. Untuk para pelaku, “air kabur” menguntungkan. Untuk para korban, jelas situasinya sebaliknya.
“Om, cerita-cerita saksi mata di Lapangan Karel Gobai itu bisa tenggelam. Dong pu cerita kalah jauh dengan cerita-cerita kabualan yang bisa sampai ke mana-mana, naik di koran-koran atau di media-media. Belum lagi dorang kan lebih senang dengar yang dong memang mau dengar,” katanya.
Pergi mencari pisang goreng itu adalah alibi belaka. Semula, saya ingin mengunjungi makam tragedi Paniai Berdarah 8 Desember 2014. Saya mengungkapkan keinginan saya itu kepada teman. “Lihat saja besok, Om. Mudah-mudahan bisa,” katanya. Tapi, melihat makam tidak ada seorang pun di sekitar makam itu membuat saya menghentikan langkah. Sepertinya, meski tidak dipasang pita pembatas, area makam itu terasa tidak boleh dimasuki. Saya tidak berani mendekat. Maka, saya memandangnya dari kejauhan.
Pada 27 Desember 2014, sembilan belas hari setelah tragedi, Presiden Joko Widodo pada kesempatan ibadah Natal bersama di Stadion Mandala Jayapura, menginginkan kasus di Paniai diselesaikan secepat-cepatnya. Di depan masyarakat Papua, Presiden mengucapkan, “Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin, sekali lagi, tanah Papua sebagai tanah yang damai.” (Bbc.com, 28/12 2014).
Tujuh tahun kemudian, keinginan itu belum terpenuhi sepenuhnya. Sidang Paripurna Komnas HAM sudah memutuskan tragedi Paniai Berdarah sebagai pelanggaran HAM berat.
Meski demikian, Kepala Kantor Sekretariat Presiden Moeldoko menyanggah. Tragedi Paniai bukan pelanggaran HAM berat. “Apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba, karena dia diserang masyarakat. Tidak ada upaya sistematis,” kata Moeldoko di Jakarta (Tirto.id, Senin, 17/2 2020).
Dalam sambutan di acara International Conference on Islam dan Human Rights yang merupakan rangkaian peringatan Hari HAM Sedunia, (10 Desember 2021), Presiden mengulangi lagi komitmennya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
“Yang sudah disampaikan bapak ketua Komnas HAM, adalah kasus Paniai di Papua tahun 2014. Berangkat dari berkas Komnas HAM, kejaksaan tetap melakukan penyidikan umum untuk menjamin terwujudnya prinsip-prinsip keadilan dan penegakan hukum,” kata Presiden Joko Widodo (Suara.com, 10/12 2021).
Jaksa Agung membentuk tim penyidik untuk kasus tragedi Paniai Berdarah. Langkah ini dinilai sebagai kemajuan oleh ketua Komnas HAM. Kemudian tim penyidik telah memeriksa 61 saksi terkait tragedi itu (Kompas.com, 25/3 2022).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana buka suara. “Berdasarkan hasil ekspose yang telah dilakukan pada minggu ini, Kejaksaan Agung akan segera menentukan tersangka pada awal April 2022.”
Perkembangan penanganan kasus tragedi Paniai Berdarah menyalakan harapan. Mudah-mudahan episode “air kabur” itu lekas berganti. Namun, kita selalu mengerti bahwa ada individu-individu yang sudah terlanjut “nyaman palsu” dalam air kabur itu.
Percakapan konyol terjadi dalam perjalanan balik ke Nabire. “Om, seandainya saja yang punya senjata dan peluru yang kena di adik-adik dorang itu mengakui perbuatannya macam bilang terus terang bahwa ‘Iyo. Barang ini saya yang bikin. Saya yang tembak. Sa pelakunya. Sa minta maaf dan siap dihukum,’ masalah selesai,” kata saya.
Temanku tertawa sejenak. “Om, ini Indonesia. Lebih khusus ini Papua. Ini sepertinya Om mimpi terlalu tinggi. Itu belum akan terjadi. Mengaku bersalah telah membunuh orang Papua secara terus terang dan bersedia dihukum mungkin bisa terjadi nanti setelah Tuhan Yesus datang, kah,” balasnya.
“Tapi, saya ada pikiran lain. Ini sekadar gagasan yang mungkin tidak tepat. Kalau pelaku pembunuhan adik-adik itu mengaku secara terbuka, mungkin malah dipandang sebagai pengkhianat. Tapi kalau terus diam-diam saja begini, mungkin ada yang menganggap pahlawan.”
Barangkali, di negeri ini kepahlawanan masih dilihat dari tangan yang berdarah-darah dan tekad baja untuk membunuh. (Editor)