TNI lahir dari rahim rakyat dan tumbuh di tengah perjuangan kemerdekaan. Namun dalam perjalanan sejarah, sebagian tubuhnya justru berbalik arah: dari pelindung rakyat menjadi sosok yang menakutkan bagi rakyat. Dari operasi militer di Aceh dan Timor Timur hingga kekerasan yang berulang di Papua, TNI kerap meninggalkan catatan kelam yang menodai kehormatannya sendiri. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, sepanjang Oktober 2024 hingga September 2025 terjadi sedikitnya 85 kasus kekerasan melibatkan anggota TNI, dengan 182 korban — mayoritas warga sipil Papua. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan moral institusi bersenjata yang mengaku berasal dari rakyat.
Masalah terbesar TNI bukan pada kurangnya senjata, melainkan pada berlebihnya kuasa. Mekanisme hukum internal yang tertutup sering kali mengubah keadilan menjadi sandiwara. Pelanggaran prajurit disidangkan di ruang tertutup, hasilnya jarang diketahui publik, dan masyarakat dibiarkan bertanya-tanya: apakah hukum benar ditegakkan, atau sekadar diatur agar citra institusi tak tercoreng? Ketaatan terhadap hukum sipil sering berhenti di retorika, bukan di praktik.
Memanusiakan TNI berarti menempatkannya kembali pada fungsinya yang hakiki: sebagai alat pertahanan negara, bukan kekuasaan paralel yang ikut mengatur kehidupan sipil. Demokrasi tidak memberi ruang bagi militerisme. Keterlibatan TNI dalam proyek sipil, jabatan birokrasi, dan urusan politik harus dihentikan. Setiap langkah di luar mandat pertahanan hanyalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998 yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Lebih dari reformasi struktural, TNI juga butuh reformasi kultural. Pendidikan militer yang menanamkan pola pikir “rakyat sebagai musuh” harus diubah menjadi pendidikan yang menumbuhkan empati, tanggung jawab moral, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Disiplin militer tidak boleh dijadikan tameng bagi kekerasan. Loyalitas tidak boleh membungkam nurani.
HUT ke-80 ini harus menjadi momentum pembenahan diri. TNI yang kuat bukan hanya yang lengkap persenjataannya, tetapi yang tinggi moralitasnya. Kekuatan sejati tentara bukan pada laras senjata, melainkan pada kemampuannya menahan pelatuk ketika berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Bangsa ini tidak membutuhkan tentara yang gagah di parade tetapi bengis di lapangan. Bangsa ini membutuhkan TNI yang berani berbenah, transparan, tunduk pada hukum, dan berpihak pada kemanusiaan. Karena tentara tanpa kemanusiaan hanyalah mesin kekuasaan — bukan pelindung bangsa. (Editor)