Oleh Thomas Ch Syufi
Advokat dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights
JUAN Peron kembali menjadi Presiden Argentina tahun 1973 hingga ajal menjemputnya pada 1974. Juan Peron lalu digantikan Isabel Peron, istri ketiganya hingga tahun 1976, sebelum akhirnya disingkirkan lewat kudeta lalu memuluskan Jorge Rafael Videla menuju kursi kepresidenan. Jalan kudeta memberi kesan buruk bagi rakyat Argentina dari perspektif hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
Kesan itu muncul di benak publik mengingat pada Februari 1976, penghujung kekuasaan Isabel, terjadi penghilangan paksa seorang aktivis dengan alasan Isabel diberi wewenang untuk menandatangani keputusan yang memungkinkan angkatan bersenjata Argentina untuk mengambil tindakan terhadap aktivis atau kelompok yang melancarkan aktivitas subversif (wikipedia.org).
Bahkan rezim Videla disebut lebih bengis dan mengenaskan. Rezim ini membawa Argentina terperosok dalam zona darurat kemanusiaan. Kebijakan anti-subversi, termasuk menggusur satu satu per satu gerilyawan sayap kiri, kaum sosialis, dan menindak siapa pun pendukung Peron (kaum Peronis) menganga lebar.
Rezim ini menciptakan banyak peristiwa kejahatan yang menjadi tragedi kemanusiaan, pengalaman traumatik, dan noktah kelam yang terus dipersoalkan hingga saat ini. Di era kediktatoran Videla, Argentina bersimbah darah.
Sekitar 30 ribu warga diculik, dihilangkan, disiksa, dan meregang nyawa di ujung senjata. Banyak warga orang ditangkap lalu dimasukkan sebagai penumpah ‘penerbangan kematian’ sebelum akhirnya dilempar dari atas pesawat ke perairan Samudra Atlantik atau Rio de la Plata (Sungai Plata).
Pengalaman kelam ini juga dialami dua orang imam Jesuit, Orlando Yorio dan Franz Jalics, yang melayani warga miskin di kawasan kumuh. Kedua imam ini dihilangkan nyawanya secara paksa dan salah satunya jasadnya sampai sekarang tidak ketahui di mana rimbanya.
Pengalaman dua imam Katolik itu terjadi saat Jorge Mario Bergoglio (nama asli Pemimpin Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus) masih menjadi Provinsial Ordo Jesus di Argentina. Bergoglio mempertanyakan kematian kedua imamnya itu kepada rezim Videla.
Rezim Videla dituding karena atas nama liberalisme dan pertahanan diri terhadap komunisme (sesuai visi ultra-konservatif, militeristik, dan Katolik), rezim ini bersama pendukungnya menjalankan pemerintahan teror yang bengis dan telanjang di mata rakyat.
Diakui, rezim itu menikmati dukungan kuat dari Gereja Katolik pada zaman itu, meski salah satu kelompok yang paling menentang pemerintahan Videla adalah Serikat Jesus (lihat Fransiskus, Manusia Pendoa karya Mario Escobar tahun 2016. halaman 27).
Putusan pengadilan
Pengadilan Argentina pada November 2012 menetapkan sebagai tersangka sekaligus mengadili 68 orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat. Sebagian besar pelaku pelanggaran HAM adalah pejabat militer dan sipil.
Mereka dituduh terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan terhadap 800 orang kelompok oposisi pada era kediktatoran militer tahun 1976-1983. Akhirnya, rezim junta militer didera krisis yang berujung kehilangan dukungan.
Pelanggaran HAM, korupsi merajalela, dan salah urus ekonomi, inflasi yang menyentuh angka 900 persen serta kegagalan mempertahankan Kepulauan Falkland. Dua wilayah koloni Inggris di Atlantik Selatan itu telah lama diperebutkan melalui perang 74 hari dan berakhir dengan penyerahan diri Argentina pada 14 Juni 1982.
Perang yang merenggut nyawa sedikitnya 650 warga Argentina dan 255 warga Inggris tewas, memicu aksi protes besar-besaran terhadap pemerintahan Videla sebelum akhirnya runtuh.
Tahun 1983, pemerintahan Argentina kembali ke kendali sipil yang menandai berakhirnya rezim junta militer yang telah melakukan genosida selama tujuh tahun kekuasaannya di Argentina, negara paling tenggara di Amerika Selatan, yang beradu muka dengan Chile, Bolivia, Paraguay, Uruguay, dan Samudra Atlantik Selatan.
Setelah digantikan dengan rezim liberal progresif oleh Presiden Raul Alfonsin, isu tentang HAM kembali mencuat. Pengadilan terhadap penjahat HAM didorong, meski proses peradilan Argentina berjalan tersendat-sendat dan penuh tantangan.
Namun, para jaksa secara konsisten mencari dan mengumpulkan fakta kebenaran dan keadilan dari keluarga korban maupun penyintas kejahatan kemanusiaan pada rezim Videla. Pasalnya, ada dalil yang mengatakan, tak ada batasan waktu untuk mencari kebenaran.
Presiden Raul serius memulai menyelidiki dan mengadili para anggota junta militer, termasuk dijatuhi hukuman penjara seumur hidup terhadap mantan diktator Videla dan Laksamana Emilio Massera, yang dianggap sebagai dalang di balik semua proses genosida atau kejahatan kemanusiaan secara terstruktur, masif, dan sistematis di Argentina saat itu serta sembilan anggota militer senior junta dihukum selama kepresidenan Alfonsin (World withoutgenocide.org, 2023).
Kini, Argentina, menyudahi perang kotor junta militer dan cengkraman rezim otoritarianisme. Negeri Tango itu memulai babak baru menjalani masa transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. HAM rakyat Argentina menjadi harta terpenting yang terus dirawat, diproteksi, dibela, dipromosikan, dan dirayakan oleh siapa pun yang menjadi pemimpin Argentina.
Supremasi sipil kembali berdaulat, hukum mulai difungsikan sesuai dengan tujuannya untuk merealisasikan keadilan, membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mengeliminasi praktik homo homini lupus est (manusia yang satu jadi serigala bagi manusia yang lain) sebagaimana terjadi rezim Videla yang terkenal bengis dan brutal selama tujuh tahun. Usus magister est optimus; pengalaman adalah guru terbaik. Lalu bagaimana dengan kasus pelanggaran HAM di Indonesia?
Meniru Argentina
Bisakah Indonesia melakukan imitasi, meniru sejarah Argentina yang berani menyeret penjahat HAM ke pengadilan HAM? Selama 32 tahun 72 hari, Indonesia berada dalam pengawasan rezim otoriter Orde Baru Soeharto.
Rezim itu menampakan wajah militeristik dan represif terhadap rakyat sipil dan oposisi. Selama rezim Soeharto, Indonesia mengalami berbagai pelanggaran HAM yang belum dituntaskan hingga saat ini.
Sebut saja peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, Mapenduma-Timika berdarah tahun 1996, penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998, peristiwa Semanggi pada 13 November 1998, dan Biak Berdarah tahun 1998.
Juga sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca-reformasi dan telah direkomendasikan oleh Komnas HAM seperti tragedi Abepura berdarah (2000), kasus Wasior berdarah (2001), Wamena berdarah (2003), kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib (2004) bahkan Paniai berdarah (2014).
Hampir semua kasus ini telah diputuskan oleh Komnas HAM RI sebagai pelanggaran HAM berat dan telah direkomendasikan kepada pemerintah untuk serius menanganinya, melalui kebijakan politik hukumnya. Kebijakan politik hukum itu mulai dilakukan penyelidikan dan pengadilan terhadap semua pihak yang terlibat dalam berbagai kasus kejahatan kemanusiaan di Indonesia, termasuk Papua, untuk dihukum sesuai dengan perbuatannya, culpae poenae par esto.
Karena roda waktu terus bergulir dan rezim berganti rezim, kasus pelanggaran HAM di Indonesia tidak pernah terselesaikan. Malah sebaliknya, para penjahat HAM memperoleh privilege, promosi, kenaikan pangkat, jabatan, dan berlindung di balik ketiak struktur kekuasaan.
Lalu di saat bersamaan sengaja bersikap amnesia dan tuli terhadap suara-suara penyintas atau keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu. Inilah menjadi pembeda antara reformasi politik di Argentina (1984) dan Indonesia (1998).
Argentina melakukan reformasi mencakup semua aspek sekaligus, baik pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan, Pemilu yang demokratis, dan proteksi terhadap HAM yang diawali dengan menghukum para penjahat HAM masa lalu.
Dengan demikian, bayang-bayang sejarah kelam masa silam tidak lagi menghambat lanjutnya derap sejarah perubahan dan peradaban di masa depan. Mengapa? Waktu berubah dan kita pun ikut berubah di dalamnya, tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Indonesia tidak mungkin membangun masa depan yang lebih baik tanpa menghapus beban sejarah pelanggaran HAM masa lalu. Meski aneka pembangunan yang digalakkan, para aktivis dan penyintas pelanggaran HAM dirangkul dalam struktur kekuasaan, tidak akan mendistorsi kebenaran akan pelanggaran HAM masa lalu.
Tentu tidak perlu mencari pembenaran untuk sesuatu yang sudah benar karena kebenaran sejati akan menemukan jalannya sendiri. Tak perlu harus sibuk mengklarifikasi dan menjahit kesana-kemari bolong-bolong kejahatan agar pada waktunya, kita semua dengan takzim dan bersorak-sorai menyanyikan lagu, don’t cry for me, Argentina; jangan menangis untukku, Argentina.
Sebuah lagu legendaris yang awalnya dinyanyikan Julie Covington dan liriknya ditulis Andrew Lloyd Webber serta Tim Race, kemudian populer karena menjadi original soundtrack dari film Evita yang dibintangi Madonna Louise Ciccone (penyanyi Amerika keturunan Perancis-Kanada, Italia-Amerika).
Film yang dirilis tahun 1996 itu menggambarkan secara musikal bagaimana kehidupan Evita Peron yang sangat dikagumi dan dihormati oleh masyarakat Argentina atas jasa-jasa baiknya dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, orang miskin, dan juga perempuan. Liberte! (bagian kedua, habis)