JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) setempat menyebut, sejak 2019 sedikitnya ada 528 mahasiswa penerima beasiswa Papua yang mengalami pemutusan hubungan studi atau drop out.
Pemerhati masalah sosial Papua menuding, dana otonomi khusus (otsus) Papua bidang pendidikan lebih banyak untuk membiayai anak-anak pejabat Papua kuliah di luar negeri.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Papua Aryoko AF Rumaropen, SP, M.Eng menjelaskan, sejak 2019 dari 528 mahasiswa yang dinyatakan drop out, 271 orang di antaranya adalah mahasiswa Papua yang berkuliah di luar negeri. Sedangkan 257 orang yang dinyatakan drop out tengah menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi di dalam negeri.
“Pemutusan hubungan studi atau drop out itu disebabkan sejumlah hal. Misalnya, nilai akademik rendah, masa studi melampaui batas waktu hingga pelanggaran aturan perguruan tinggi. Bahkan ada yang sampai pelanggaran hukum. Ada juga yang dikeluarkan karena pelanggaran etik di kampus dan persoalan hukum,” ujar Rumaropen kepada Tempo.co Senin (19/12) dan dikutip Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (21/12).
Menurut Rumaropen, para mahasiswa penerima beasiswa Papua yang drop out tersebut merupakan akumulasi sejak program beasiswa Papua dijalankan sejak 2009. Ia mencontohkan, ada mahasiswa penerima beasiswa drop out yang diduga menembak polisi.
“Itu pelanggaran hukum. Di luar negeri, ada syarat, harus disiplin. Kalau ada pelanggaran hukum, itu tidak ditolerir negara yang tertib hukum. tidak bisa ditoleransi lagi,” ujar Rumaropen lebih jauh.
Selain itu, pemutusan hubungan beasiswa juga batas waktu studi yang kerap dilanggar mahasiswa. Para mahasiswa penerima beasiswa menempuh studi di luar negeri itu, harus menyeselesaikan kuliah dalam waktu enam tahun. Sedangkan, mahasiswa dalam negeri harus menyelesaikan kuliah dalam lima tahun. Batas waktu masa studi ini, ujarnya, kerap dilanggar.
Dana otsus membiayai pendidikan mahasiswa putra asli Papua dinilai lebih banyak digunakan untuk anak-anak pejabat Papua kuliah di luar negeri. Naasnya, banyak sekolah di kampung-kampung di pedalaman Papua kekurangan bahkan ketiadaan guru.
“Bahkan ada anak yang sudah duduk di bangku SMP tetapi baru mulai belajar baca tulis. Jangankan bicara anak-anak, orang asli Papua baru belajar baca tulis setelah jadi pejabat negara,” ujar pemerhati masalah sosial Papua Steve Dumbon kepada Odiyaiwuu.com saat dihubungi di Jayapura, Papua, Kamis (3/8).
Mantan wartawan RCTI Biro Papua ini mencontohkan seperti yang dialami segelintir pejabat saat duduk sebagai anggota DPRD, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua bahkan bupati. Para pejabat itu, lanjut Steve, baru mulai belajar membaca dan tulis karena proses belajar-mengajar di daerah asalnya tidak berjalan karena berbagai alasan.
Potret buram pendidikan di sejumlah wilayah di kampung-kampung di Papua juga masih dalam kondisi memilukan meski Papua memiliki alokasi dana besar melalui Otsus. Misalnya, kata Steve, ada sekolah tetapi tidak ada guru. Ada guru tetapi bangunan sekolah tidak ada. Gaji guru tidak lancar.
“Ada berbagai persoalan serius pendidikan di tingkat dasar tetapi orang lebih suka kirim mahasiswa yang notabene anak-anak pejabat yang hidup di kota, keluar negeri untuk belajar atau kuliah,” lanjut Steve.
Pihaknya juga mengkritisi para wakil rakyat yang dinilai tidak tegas memainkan tugas dan fungsi formalnya mengawasi eksekutif dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran pendidikan yang digelontorkan melalui otsus.
“Wakil rakyat harus tegas dan keras terhadap evaluasi penggunaan dana otsus, terutama untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Pemanfaatan atau petuntukannya harus jelas. Di mana fungsi pengawasan, kontrol para wakil rakyat terhadap eksekutif? Gunakan hak itu untuk mengontrol pemerintah,” kata Steve tegas.
Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya memberikan perhatian kepada para mahasiswa penerima beasiswa otsus yang sempat tertunggak biaya kuliah di lima benua menyusul belum dicairkan dana otsus. Sebanyak 355 mahasiswa Papua yang tengah kuliah di lima benua itu digelontorkan dana senilai Rp 300 miliar.
“Gubernur telah menginstruksikan pencairan dana sebesar Rp 300 miliar untuk biaya studi dan biaya hidup 355 mahasiswa. Penggunaan dana sebesar Rp 300 miliar ini bersumber dari pos dana cadangan Pemprov Papua,” kata Rumaropen melalui keterangan tertulis di Jayapura, (27/4).
Tak hanya kisah pilu yang membelit para mahasiswa penerima beasiswa otsus. Kisah menggembirakan juga datang dari negara bagian Oregon, Amerika Serikat. Sebanyak 10 mahasiswa Indonesia asal Papua dinyatakan lulus dari Universitas Corban, Oregon di tengah deraan Covid-19 yang mengglobal.
Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Indonesia di San Francisco Prasetyo Hadi mengatakan, para mahasiswa Papua ini merupakan bagian dari sekitar 240 penerima beasiswa yang lulus dan diwisuda pada semester pertama tahun ini.
“Kami semua merasa bahagia dan bangga karena sejumlah putra putri terbaik bangsa telah lulus. Hal itu menunjukkan ketekunan dan kedisiplinan dalam belajar akan membuahkan hasil yang diharapkan. Mereka berhasil lulus dan beradaptasi selama kuliah di luar negeri serta meraih prestasi yang membanggakan,” ujar Prasetyo yang hadir dalam upacara wisuda, Senin (9/5).
Pemerintah pusat menggelontorkan anggaran untuk Papua sebesar Rp 57,41 triliun tahun 2022. Sedangkan, Papua Barat sebesar Rp 27,24. Total dua provinsi itu sebesar Rp 84,7 triliun.
“Nilai ini naik dari 2020 yang sebesar Rp 79,7 triliun, tapi memang turun sedikit dari tahun lalu yang Rp 85,8 triliun karena ada belanja pusat yang disebut dana Pemulihan Ekonomi Nasional di 2021,” kata Direktur Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Adriyanto mengutip Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (4/8).
Adriyanto merincikan, anggaran untuk Papua dan Papua Barat di 2022 tersebut terdiri dari Rp 12,9 triliun dana otonomi khusus (otsus), dana tambahan infrastruktur (DTI), dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 50,2 triliun, dan belanja kementerian atau lembaga sebesar Rp 21,6 triliun.
Ia menambahkan, pemerintah sedang menyusun Rencana Induk Percepatan Pembangunan (RIPP) Papua 2022-2041 yang berdasar pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
“Kalau kita lihat di situ ada belanja kementerian atau lembaga yang sudah cukup besar di 2021, secara total ada Rp 21,6 triliun. Tentunya ini adalah menjadi tugas kita bersama yang akan dituangkan di Rancangan Induk Percepatan Pembangunan Papua bagaimana memastikan belanja kementerian dan lembaga benar-benar bisa disinergikan dengan belanja yang dilakukan pemerintah daerah,” katanya.
Adriyanto meminta agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua tidak menjalankan dua program yang sama sehingga anggaran pemerintah dapat digunakan dengan efisien.
“Tentu kalau penjumlahan dana belanja besar itu baik, tapi kalau melakukan hal yang sama, terjadi kelebihan kegiatan, ini perlu kita jaga. Jadi jangan sampai ada kegiatan yang berlebihan sehingga menimbulkan inefisiensi dalam pelaksanaan proyek dan penggunaan anggaran,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)