KOMUNISME kerap dianggap sinonim dengan ateisme, seolah-olah keduanya adalah konsep yang tidak terpisahkan. Stigma ini sudah lama mengakar, terutama di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama, termasuk Indonesia. Namun, benarkah komunisme dengan sendirinya menolak agama dan keyakinan spiritual? Atau ini sekadar kesalahpahaman yang diperkuat oleh sejarah politik?
Komunisme, sebagaimana dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Manifesto Komunis, adalah ideologi yang bertujuan menghapuskan kelas sosial dan memusatkan kepemilikan alat produksi di tangan kolektif. Marx memang dikenal dengan pandangannya yang terkenal bahwa “agama adalah candu bagi rakyat.” Pernyataan ini sering disalahartikan sebagai sikap permusuhan terhadap agama. Padahal, konteksnya lebih pada kritik terhadap peran institusi agama yang dianggap mendukung status quo ketidakadilan sosial. Marx melihat agama sebagai pelipur lara bagi mereka yang tertindas, yang menawarkan harapan di tengah penderitaan duniawi, namun secara tidak langsung menghalangi perubahan sosial.
Dalam praktik politik, beberapa negara yang mengklaim diri sebagai komunis memang memberlakukan kebijakan antireligius. Uni Soviet di bawah Lenin dan Stalin, misalnya, melakukan sekularisasi secara agresif, termasuk pelarangan kegiatan keagamaan dan penutupan tempat ibadah. Hal ini menambah persepsi bahwa komunisme adalah musuh agama. Namun, tindakan represif tersebut lebih mencerminkan otoritarianisme negara daripada esensi ideologi komunisme itu sendiri. Banyak akademisi berpendapat bahwa komunisme tidak harus berlawanan dengan kepercayaan spiritual, asalkan agama tidak digunakan untuk memperkuat ketimpangan sosial.
Menariknya, tidak semua negara yang menerapkan ideologi komunisme bersikap sama terhadap agama. Republik Rakyat Tiongkok, misalnya, meskipun dikenal sebagai negara komunis, masih mengakui lima agama resmi: Buddha, Taoisme, Islam, Katolik, dan Protestan. Negara tersebut mengatur praktik keagamaan melalui kebijakan negara, namun tidak menghapuskan keberadaan agama dalam kehidupan warganya.
Di sisi lain, ateisme sendiri adalah pandangan yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan atau kekuatan supernatural. Ateisme tidak selalu terkait dengan komunisme dan bisa dianut oleh individu di luar kerangka ideologi politik. Ada ateis yang mendukung kapitalisme, demokrasi liberal, atau sistem sosial lainnya. Ini menunjukkan bahwa ateisme adalah posisi filosofis, bukan politik, sementara komunisme adalah doktrin politik dan ekonomi yang bisa berdampingan dengan berbagai pandangan spiritual.
Lalu, bagaimana dengan konteks Indonesia? Di negara ini, komunisme dan ateisme memiliki konotasi negatif yang diperkuat oleh peristiwa sejarah, khususnya tragedi 1965. Narasi bahwa komunisme adalah ateisme sering digunakan sebagai alat politik untuk menstigmatisasi kelompok tertentu. Padahal, banyak rakyat kecil yang di masa lalu terlibat dalam organisasi berhaluan kiri justru tetap menjalankan kehidupan beragama mereka. Narasi hitam-putih ini telah melahirkan ketakutan yang berkepanjangan terhadap ideologi komunis, bahkan hingga masa kini.
Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, memahami kompleksitas hubungan antara ideologi dan kepercayaan adalah langkah penting menuju kedewasaan berpikir. Mitos-mitos yang berkembang selama puluhan tahun perlu ditinjau kembali agar kita bisa membangun dialog yang lebih berimbang dan terbuka. Hanya dengan cara ini, prasangka yang mengakar dapat dikikis, memberikan ruang bagi perbedaan pandangan untuk hidup berdampingan secara damai. (Yakobus Dumupa/Editor)