DI SAAT negara-negara lain berlomba mengembangkan kecerdasan buatan, menembus ruang angkasa, dan menciptakan teknologi hijau untuk menyelamatkan bumi, sebagian besar ruang publik di Indonesia justru masih dipenuhi perdebatan soal agama: siapa paling hafal kitab suci, siapa masuk surga atau neraka, dan siapa paling layak menyandang label kafir atau beriman.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa agama tidak penting. Agama sangat penting. Ia menjadi fondasi moral, spiritual, dan arah hidup bagi banyak orang. Tetapi yang menjadi soal adalah ketika agama direduksi hanya menjadi simbol dan alat kompetisi, lalu menjelma menjadi sumber keributan yang terus menguras energi bangsa. Lebih ironis lagi, ketika sebagian besar wacana keagamaan justru menjauh dari semangat keilmuan, dan bahkan mencurigai sains sebagai ancaman terhadap iman.
Lihatlah Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, dan bahkan negara kecil seperti Korea Selatan dan Israel. Mereka tidak terlalu ribut soal siapa yang paling saleh, siapa yang paling benar secara teologis. Mereka sibuk dengan riset, teknologi, dan inovasi. Universitas-universitas mereka mencetak peneliti dan insinyur, bukan hanya pendakwah dan politisi. Mereka menguasai teknologi chip, kecerdasan buatan, energi terbarukan, dan bioteknologi. Sementara itu, di Indonesia, lulusan terbaik seringkali tidak tertarik menjadi ilmuwan, tapi justru berlomba-lomba jadi pegawai negeri, politisi, atau selebritas agama di media sosial.
Ketertinggalan Indonesia dalam sains dan teknologi bukan hanya soal anggaran atau fasilitas. Ini adalah soal mentalitas kolektif. Kita terlalu banyak berpolemik soal akhirat, tetapi lupa membangun masa depan dunia yang layak bagi generasi sekarang. Kita sibuk menyalahkan orang yang berbeda keyakinan, tetapi lupa mengajarkan bagaimana mengatasi krisis iklim, memperbaiki kualitas pendidikan, atau menciptakan vaksin dan teknologi pangan.
Saat bangsa-bangsa lain mendesain masa depan, kita masih terpaku pada masa lalu yang didewa-dewakan. Saat mereka menyiapkan generasi robotik dan digital, kita masih sibuk menyortir siapa yang “layak jadi pemimpin” hanya karena ia bisa melafalkan ayat suci dengan lancar, bukan karena visi dan kapabilitasnya dalam menjawab tantangan zaman.
Bangsa ini perlu segera membenahi prioritas. Agama harus tetap menjadi cahaya, bukan kabut. Ia harus menjadi energi moral yang mendorong kemajuan, bukan penghalang nalar. Sudah saatnya kita keluar dari perangkap retorika surga-neraka dan kembali fokus membangun bumi ini dengan sains, teknologi, dan kerja keras. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton yang religius, sementara dunia lewat di depan mata — dan meninggalkan kita di belakang. (Editor)