Angka HIV/AIDS di Papua 50.011 Kasus, DPD RI: Tolong Proteksi OAP dengan Dana Otsus Kesehatan Demi Menghindari Ancaman Kematian! - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Angka HIV/AIDS di Papua 50.011 Kasus, DPD RI: Tolong Proteksi OAP dengan Dana Otsus Kesehatan Demi Menghindari Ancaman Kematian!

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Papua Barat sekaligus Wakil Ketua Komite 1 DPD RI Dr Filep Wamafma, SH. M.Hum, CLA. Foto: Istimewa

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Republik Indonesia merespon data Dinas Kesehatan Provinsi Papua terkait meroketnya penyebaran HIV/AIDS di Papua.

Data Unit Pelaksana Teknis AIDS Tuberkulosis Malaria Dinas Kesehatan Papua menyebutkan, pada tri wulan III 30 September 2022, penyebaran HIV/AIDS di bumi Cendrawasih menyentuh angka 50.011 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, terdapat 92 warga negara asing (WNA). Jumlah kasus HIV/AIDS yang melangit tersebut dapat diturunkan melalui sejumlah kebijakan di bidang kesehatan.

“Berkali-kali saya tekankan bahwa afirmasi otonomi khusus itu salah satunya ada pada bidang kesehatan. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 hasil revisi menyebutkan, penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25 persen dari plafon dana alokasi umum nasional ditujukan untuk paling sedikit 20 persen belanja kesehatan,” ujar Wakil Ketua Komite 1 DPD RI Dr Filep Wamafma, SH. M.Hum, CLA kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Minggu (3/12).

Filep yang juga senator putra asli Papua Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Barat menambahkan, pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (hasil revisi) juga ditegaskan, penerimaan terkait dana perimbangan dari bagi hasil (DBH) sumber daya alam (SDA) minyak bumi dan gas alam sebesar 70 persen dialokasikan sebesar 25 persen untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi.

“Apabila pengalolaan dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas ini benar-benar dimanfaatkan, maka angka 50.011 tersebut tidak akan ada. Ini kan penyebaran HIV/AIDS sudah sangat masif. Jadi situasi ini sudah mendesak diintervensi dengan kebijakan yang tepat dan segera direalisasikan,” kata Filep lebih lanjut.

Sebelumnya, odiyaiwuu.com (1/12) juga melansir data Unit Pelaksana Teknis AIDS Tuberkulosis Malaria Dinas Kesehatan Papua yang menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS menunjukkan pada usia di bawah 2 tahun berjumlah 104 kasus, usia 1-14 sebanyak 1.144 kasus, usia 15-19 sebanyak 5.774 kasus, usia 20-24 sebanyak 11.882 kasus, usia 25-49 sebanyak 28.812 kasus, usia di atas 50 tahun sebanyak 562 kasus, dan usia tidak diketahui sebanyak 526 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 23.350 kasus, perempuan sebanyak 26.572 kasus.

Selain itu, jumlah penyebaran penyakit HIV/AIDS menurut jenis kelamin menunjukkan, laki-laki sebanyak 23.350 kasus, perempuan sebesar 26.572 kasus, dan tak diketahui identitasnya sebesar 90 kasus.  Kemudian dari aspek kebangsaan terlihat, penyebaran HIV/AIDS di kalangan WNI sebanyak 49.899 kasus, WNA sebesar 92 kasus, dan tak diketahui identitas sebesar 20 kasus.

Berdasarkan wilayah menunjukkan, lima besar kabupaten dan kota dengan jumlah tertinggi yaitu pertama Kabupaten Nabire sebesar 9.1189 kasus, kedua, Kota Jayapura, 7.761, ketiga, Jayawijaya, 6.867, keempat, Mimika, 6.824, dan kelima, Kabupaten Jayapura, 4.347, dan kabupaten-kabupaten lainnya dengan jumlah kasus bervariasi.

Kepala Dinas Kesehatan Papua Robby Kayame meminta para pasien orang dengan HIV/AIDS (odha) tidak putus meminum obat antiretroviral (ARV) yang disiapkan pemerintah secara gratis serta beristirahat yang cukup. Dengan demikian, harapan hidup bertambah mereka produktif bekerja.

“Dari jumlah odha itu, yang minum ARV sesuai data kami hanya sekitar 8 ribu. Sedangkan yang lain putus berobat. Padahal obat yang kami datangkan dari Kementerian Kesehatan lalu bagi ke kabupaten/kota ini gratis,” ujar Kayame saat dihubungi kontributor Odiyaiwuu.com di Jayapura, Kamis (1/12).

Pihaknya berharap agar dinas kesehatan di kabupaten maupun kota menyiapkan tim HIV/AIDS mengatur, mengendalikan dan mengobati pasien odha. Selama ini terkendala biaya operasional di Puskesmas sehingga ia berharap kabupaten atau kota bisa menyiapkannya ke depan.

Kayame menambahkan, akhir-akhir ini stigma terhadap pasien odha di Papua mulai berkurang. Mereka diterima secara baik oleh anggota keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia meminta pasien odha tidak perlu malu atau minder untuk datang mengambil obat ARV di fasilitas kesehatan terdekat.

Aktivis perempuan dari Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) Papua Ance Boma mengemukakan, jumlah penyebaran penyakit HIV/AIDS di Papua, terutama di wilayah Meepago seperti Kabupaten Nabire, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai tergolong dengan kasus sangat tinggi. Sumber penyebaran virus HIV/AIDS lebih banyak bersumber kebiasaan gonta ganti pasangan dalam hubungan seksual.

“Penyebaran HIV/AIDS dengan jumlah kasus tertinggi terdapat di wilayah Meepago. Tentu data lebih akurat itu dimiliki Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Namun, tingginya jumlah kasus HIV/AIDS nampak dari banyaknya pasien odha dari wilayah ini yang di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire,” kata Ance kepada Odiyaiwuu.com dari Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Rabu (1/12).

Senator Filep merasa prihatin, kasus HIV/AIDS yang meroket itu Papua banyak sekali dialami generasi muda di Papua. Ada kekhawatiran, jangan sampai persentase penderita dari orang asli Papua paling banyak. Kata Filep, seharusnya orang asli Papua diproteksi mengingat anggaran otsus diperuntukkan mengafirmasi kesehatan orang asli.

Karena itu, lanjut Filep, semua stakeholder mulai dari pencegahan hingga pengobatan harus benar-benar serius terhadap masalah ini. Banyak penderita HIV/AIDS sudah menderita karena stigma atau cenderung dijauhi. Jangan sampai mereka semakin menderita lantaran tidak diperhatikan.

“Para penderita ini kan mengalami revictimisasi. Jadi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota harus benar-benar memperhatikan hal ini. Secara obat, semua sudah gratis, tapi pendataan sampai ke pelosok, menurut saya belum bisa dilakukan sepenuhnya. Apalagi untuk membangun kesadaran melaporkan diri ataupun mencegah dari hulunya,” kata Filep menambahkan.

Filep menerangkan, dari sisi kewenangan, Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan khusus dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 dalam lampirannya juga menegaskan kewenangan Pemprov dan Pemda yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan lintas kabupaten/kota, paling sedikit berupa penanggulangan HIV/AIDS, Infeksi menular seksual (IMS), tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.

“Ini kan bisa dimanfaatkan, misalnya dengan membangun rumah sakit khusus penyakit tertentu, termasuk HIV/AIDS. Jadi tolong proteksi orang asli Papua dengan dana otsus kesehatan. Kalau tidak begitu, masa depan OAP terancam,” kata Filep, alumnus Universitas Hasanuddin, Makassar.

Menurutnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018-2019 menyebut baru ada 41 rumah sakit umum di Papua, dan tidak ada rumah sakit khusus. Padahal kalau mau dihitung, dana otsus dari dana alokasi khusus dan dana bagi hasil kan sangat besar. Di sisi lain, jumlah dokter juga masih sangat minim. Data persebaran dokter di Papua dan Papua Barat sangat kecil. Ini juga perlu dipikirkan,” ujarnya.

Filep mengajak semua pihak, terutama pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten maupun kota agar serius memperhatikan permasalahan ini. Ia menyebut, di kota-kota lain, meskipun tanpa otsus sudah terdapat rumah sakit khusus untuk penyakit tertentu dan ketersediaan dokter sangat mencukupi. Pihaknya berharap agar segera ada langkah konkrit untuk mengatasi persoalan tingginya juga kasus HIV/AIDS di pulau paling timur Indonesia itu. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :