Oleh Imanuel Gurik
Doktor lulusan Universitas Cenderawasih,Jayapura, Papua
MANDIRI adalah cita-cita tertinggi sebuah bangsa, suku, atau komunitas dalam menentukan arah hidupnya. Bagi orang asli Papua, kemandirian bukan sekadar kemampuan berdiri di atas kaki sendiri. Ia lebih dari itu: kemampuan menjaga jati diri, mengelola kekayaan alam, membangun tata pemerintahan yang baik, dan menciptakan kesejahteraan tanpa kehilangan nilai budaya serta iman yang menjadi fondasi hidup.
Sejak Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, kemudian direvisi dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pemerintah Indonesia memberikan pengakuan bahwa ada perlakuan khusus, afirmasi, dan perlindungan untuk mempercepat pembangunan dan memberdayakan orang asli Papua.
Otsus diharapkan menjadi jalan emas untuk menjadikan orang asli Papua lebih sejahtera, berdaya saing, dan mandiri. Namun, setelah lebih dari dua dekade pelaksanaan otsus, pertanyaan besar muncul: apakah orang asli Papua sudah mandiri? Apa ukuran kemandirian itu? Bagaimana arah orang asli Papua mandiri di masa depan dalam perspektif otsus?
Arti Kemandirian
Kemandirian orang asli Papua dapat dipahami dalam beberapa dimensi. Pertama, kemandirian politik. orang asli Papua memiliki hak untuk menentukan wakilnya dalam lembaga politik baik di tingkat daerah maupun nasional. Otsus mengatur adanya kursi DPR Provinsi (DPRP) dan DPR Kabupaten (DPRK) yang diisi oleh orang asli Papua serta keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural.
Kemandirian politik berarti orang asli Papua mampu memimpin daerahnya dengan visi besar, tidak sekadar simbol tetapi penggerak perubahan. Intelektual Papua Franz Albert Joku mengatakan, orang Papua harus belajar menjadi tuan di negeri sendiri. Otonomi khusus hanyalah pintu tetapi yang menentukan masuk dan berdiri tegak adalah diri kita sendiri.
Kedua, kemandirian ekonomi. Orang asli Papua mandiri berarti mampu mengelola tanah, hutan, laut, dan tambang dengan bijak untuk kepentingan rakyatnya. Ekonomi orang asli Papua tidak boleh hanya jadi penonton, tetapi menjadi aktor utama dalam pertanian, perikanan, perdagangan hingga industri kreatif dan pariwisata.
Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu menegaskan, kemandirian Papua hanya mungkin bila kita menjaga hutan, tanah, dan air sebagai identitas sekaligus sumber hidup kita. Jangan gadaikan semua hanya karena uang. Ketiga, kemandirian sosial-budaya. Identitas orang asli Papua lahir dari tradisi, bahasa, rumah adat, dan seni budaya. Kemandirian berarti orang asli Papua tidak kehilangan jati dirinya meskipun berhadapan dengan modernisasi.
Keempat, kemandirian religius-spiritual. Sejak Injil masuk ke tanah Papua di Pulau Mansinam tahun 1855 dan di pedalaman Papua tahun 1960-an, iman Kristen menjadi fondasi kuat. Kemandirian orang asli Papua juga berarti bertumbuh dalam kasih, damai, dan takut akan Tuhan sehingga pembangunan tidak sekadar materi tetapi juga rohani. Pendeta IS Kijne mengatakan, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, namun ia tidak akan bisa memimpin bangsa ini kalau tidak memimpin dengan takut akan Tuhan.
Kelima, kemandirian pendidikan dan SDM. Orang asli Papua mandiri harus didukung generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan mampu bersaing. Otsus memberi ruang beasiswa dan pendidikan afirmatif. Tantangannya, bagaimana SDM orang asli Papua mampu mengisi ruang-ruang strategis. Hal ini persis ditegaskan tokoh muda Papua Yance Kayame, Papua butuh manusia-manusia mandiri, bukan hanya gedung-gedung megah. Pendidikan adalah kunci utama agar generasi muda kita tidak lagi menjadi penonton.
Otsus Jalan Menuju Kemandirian
Secara filosofi otsus lahir dari kesadaran bahwa Papua berbeda. Sejarah panjang integrasi, konflik, dan ketidakadilan sosial-ekonomi membuat negara harus memberi pengakuan khusus. Otsus bukan sekadar dana, tetapi sebuah filosofi rekonsiliasi, penghargaan, dan pemberdayaan.
Dalam regulasi otsus, terdapat beberapa instrumen penting. Dana otsus sebesar 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional diarahkan khusus untuk mengurus pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur dasar. MRP sebagai lembaga kultural untuk melindungi hak orang asli dalam aspek adat, budaya, dan perempuan; afirmasi politik yaitu kursi DPRP/DPRK dari orang asli Papua; dan beasiswa otsus untuk mencetak generasi orang asli Papua cerdas.
Selama 20 tahun pelaksanaan otsus banyak kemajuan sudah dicapai tetapi juga masih banyak tantangan di depan. Berbagai capaian dialami seperti meningkatnya akses pendidikan dengan ribuan generasi muda orang asli Papua kuliah di luar negeri, pembangunan jalan trans Papua, rumah sakit rujukan, dan peningkatan representasi politik orang asli Papua.
Sedangkan tantangannya ialah masih tingginya angka kemiskinan di atas 20 persen, indeks pembangunan manusia (IPM) Papua masih rendah serta adanya ketergantungan besar pada dana transfer pusat. Padahal, menurut senator Papua Barat Filep Wamafma, otsus seharusnya mengangkat harkat martabat orang asli Papua, bukan membuat ketergantungan. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan yang jujur, transparan, dan berpihak.
Ihwal Kemandirian
Orang asli Papua sering dicap belum mandiri karena akibat ketergantungan pada dana otsus dan APBN. Banyak kabupaten/kota di Papua belum memiliki pendapatan asli daerah (PAD) signifikan. Kemudian, ekonomi tradisional yang terpinggirkan di mana para petani, nelayan, dan pengrajin orang asli Papua kalah bersaing dengan warga migran.
Lalu, kapasitas SDM di mana meski ada beasiswa banyak yang belum kembali untuk membangun daerah. Begitu pula keterbatasan infrastruktur di mana akses jalan, listrik bahkan internet masih terbatas.
Namun, harapan besar tetap ada. Misalnya, munculnya generasi muda orang asli Papua yang sukses di bidang politik, seni, olahraga, dan akademik. Kemudian, meningkatnya kesadaran masyarakat adat untuk melindungi tanah dan hutan dari eksploitasi berlebihan serta tumbuhnya gerakan ekonomi lokal berbasis kopi, kakao, noken, hingga musik etnik.
Kemandirian orang asli Papua hanya mungkin bila generasi mudanya cerdas. Pendidikan merupakan jalan suci meraih generasi cerdas. Karena itu, dana otsus wajib pula difokuskan pada pendidikan berkualitas sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) hingga perguruan tinggi.
Orang asli Papua harus juga menjadi tuan di negeri sendiri. Caranya, di sektor pertanian harus menghidupkan lumbung pangan lokal. Kemudian, di sektor perikanan menguatkan nelayan orang asli Papua. Berikut BUMDes dan koperasi orang asli Papua diberdayakan lewat dana desa dan otsus.
Salah satu aspek penting yaitu praktik politik yang berintegritas. Tokoh Papua Freddy Numberi mengingatkan, orang Papua harus memimpin dengan kepala dingin dan hati yang besar. Kita tidak bisa maju kalau hanya terjebak pada luka masa lalu, kita harus bangkit untuk masa depan. Kemandirian orang asli Papua ditentukan oleh kualitas pemimpin yang jujur dan takut Tuhan.
Kemandirian berarti tidak kehilangan jati diri. Bahasa daerah, tarian, ukiran, dan noken harus terus dilestarikan. Badan Dunia Unesco telah mengakui noken Papua sebagai warisan dunia dan menjadi bukti bahwa budaya bisa menjadi modal ekonomi.
Ihwal relasi dengan pemerintah pusat terkait otsus, aktivis Papua Markus Haluk mengingatkan bahwa otsus harus dipahami bukan sekadar dana, tetapi pengakuan bahwa orang Papua berhak menentukan masa depannya sendiri. Relasi Papua dengan pusat harus dibangun atas dasar kesetaraan dan penghormatan.
Tantangan Nyata
Ada berbagai tantangan bagi orang asli Papua menuju kemandirian. Salah satunya, mental koruptif dalam pembangunan terkait penggunaan data otsus. Mental ini membuat rakyat tidak merasakan manfaat langsung dana tersebut. Selain itu, masih terjadi kesenjangan antara kota dan desa di mana sebagian besar pembangunan masih di kota besar. Kemudian, migrasi penduduk yang membuat orang asli Papua terpinggirkan dalam aspek ekonomi.
Lalu, konflik sosial dan keamanan di mana masih terjadi aksi kekerasan bersenjata yang berujung menghambat pembangunan. Selain itu, ketergantungan ekonomi di mana orang asli Papua harus keluar dari pola ‘penerima bantuan’ menjadi ‘pencipta nilai tambah’. Teolog Papua Pendeta Dr Benny Giay mengingatkan, orang Papua harus berdiri di atas kasih Kristus. Sebab pembangunan tanpa kasih hanya melahirkan ketidakadilan baru.
Untuk memastikan orang asli Papua benar-benar mandiri ada sejumlah terobosan yang diperlukan. Terobosan dimaksud yaitu desentralisasi dana otsus berbasis kampung, pendidikan kontekstual, ekonomi hijau Papua, kepemimpinan moral serta integrasi program nasional dan lokal. Kemandirian orang asli Papua bukan berarti hidup tanpa orang lain, tetapi mampu berdiri sejajar dengan siapa pun. Orang asli Papua mandiri berarti tidak lagi dilihat sebagai objek belas kasihan, tetapi sebagai subjek pembangunan.
Orang asli Papua mandiri adalah visi besar yang harus diperjuangkan bersama. Otsus sudah memberi ruang, tinggal bagaimana masyarakat Papua, pemerintah daerah, gereja, adat, perempuan, dan pemuda bergandengan tangan. Kemandirian bukanlah akhir melainkan proses panjang. Dengan iman kepada Tuhan, kearifan budaya, dan dukungan negara, orang asli Papua yang mandiri bukan mimpi tetapi kenyataan yang sedang lahir di tanah ini.