OPINI  

Kekerasan di Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Jayapura: Akar Masalah Papua Diabaikan

Yakobus Dumupa, Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022). Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)

TIGA peristiwa besar kembali mengguncang Papua dalam satu minggu terakhir. Sabtu, 11 Oktober 2025, kontak tembak terjadi di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, menewaskan satu prajurit TNI. Rabu, 15 Oktober 2025, operasi militer di Intan Jaya menimbulkan klaim saling bertentangan soal jumlah korban. Di hari yang sama, demonstrasi mahasiswa di Abepura, Jayapura, berakhir ricuh. Tiga peristiwa ini bukan insiden terpisah, melainkan potret dari pola kekerasan Papua yang terus berulang karena akar persoalan politik dan kemanusiaan tak pernah diselesaikan.

Di Pegunungan Bintang, TNI menyatakan gugurnya satu prajurit dalam kontak tembak. Aparat mengklaim kelompok bersenjata dipukul mundur, namun tidak menyebut adanya korban di pihak TPNPB. Di sisi lain, TPNPB membantah kehilangan personel dalam peristiwa tersebut. Tidak ada lembaga independen yang hadir di lokasi, dan tidak ada laporan terbuka mengenai dampaknya terhadap warga sipil. Seperti banyak peristiwa sebelumnya, tembakan terdengar, korban jatuh, dan operasi keamanan diperluas—sementara publik tidak pernah memperoleh gambaran utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Peristiwa di Intan Jaya menunjukkan lebih terang jurang perbedaan narasi. TNI menyebut 14 anggota TPNPB/OPM tewas dalam operasi militer di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo. TPNPB membantah dan menyatakan hanya tiga kombatan mereka yang gugur, sedangkan 12 korban lainnya adalah warga sipil. Tidak ada lembaga netral di lapangan yang dapat memverifikasi klaim tersebut. Dalam ruang kosong kebenaran, negara mendominasi narasi, sedangkan suara masyarakat sipil tenggelam. Yang pasti, kekerasan kembali terjadi, dan rakyat Papua sekali lagi menyaksikan tanahnya menjadi medan pertempuran.

Sementara itu, di Abepura, Jayapura, demonstrasi mahasiswa yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi bentrokan setelah aparat menghadang long march. Aparat menyebut massa anarkis, merusak dua mobil dinas polisi, membakar satu mobil PDAM, serta melukai dua anggota polisi dan satu warga sipil. Pihak demonstran menuduh aparat melakukan tindakan represif lebih dulu, termasuk menembakkan gas air mata. Tidak ada laporan resmi tentang korban di pihak mahasiswa, namun kesaksian lapangan memperlihatkan kekacauan dan kekerasan yang meluas. Lagi-lagi, dua versi narasi berdiri saling berhadapan, dan tidak ada mekanisme independen yang memastikan kebenaran.

Ketiga peristiwa ini memperlihatkan pola lama yang tak pernah berubah: negara mengklaim keberhasilan operasi keamanan, sementara pihak perlawanan dan masyarakat sipil mengklaim adanya korban dari kelompok nonkombatan. Tidak ada lembaga yang dipercaya semua pihak untuk memverifikasi fakta. Tidak ada mekanisme transparansi dan akuntabilitas. Tidak ada upaya serius membangun ruang kebenaran. Dalam kabut inilah kekerasan di Papua hidup, berulang, dan meluas.

Di balik semua itu, akar masalah Papua terus diabaikan. Selama puluhan tahun, negara memilih pendekatan keamanan—pasukan, operasi militer, dan pengawasan—ketimbang menghadapi akar persoalan politik dan kemanusiaan. Pendekatan ini mungkin memberikan kesan “situasi terkendali” dalam laporan resmi, tetapi tidak menyelesaikan apa pun. Kekerasan hanya bergeser lokasi, dari satu distrik ke distrik lainnya. Setiap peluru yang dilepaskan, setiap demonstrasi yang dibubarkan, hanyalah babak baru dari kisah lama.

Akar persoalan Papua bukan rahasia. Pelanggaran HAM berat sejak masa integrasi tak pernah dituntaskan. Ketimpangan ekonomi dan marginalisasi politik menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat terhadap negara. Eksploitasi sumber daya alam memperdalam ketimpangan, sementara pengingkaran sejarah melukai harga diri kolektif orang Papua. Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah tidak menyentuh luka-luka ini. Jalan dan jembatan dibangun, tetapi tidak ada rekonsiliasi, tidak ada kejujuran sejarah, dan tidak ada keadilan yang nyata.

Negara kerap menyebut Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Namun dalam praktiknya, Papua sering diperlakukan seperti wilayah operasi, bukan tanah air manusia. Ketika kontak senjata terjadi, tidak ada investigasi independen. Ketika demonstrasi dibubarkan, tidak ada audit kemanusiaan. Ketika korban berjatuhan, tidak ada transparansi. Papua diperlakukan sebagai wilayah yang harus diamankan, bukan rumah yang harus dirawat.

Masalah ini bukan sekadar soal pendekatan yang keliru, melainkan soal kemauan politik. Negara tidak menunjukkan tanda-tanda serius untuk membuka dialog politik sejati. Tidak ada rekonsiliasi nasional. Tidak ada keberanian untuk mengungkap kebenaran pelanggaran HAM masa lalu. Yang ada hanyalah proyek pembangunan yang menutupi luka, bukan menyembuhkannya. Negara tampak lebih nyaman membiarkan konflik berlarut ketimbang menghadapi akar persoalan yang sebenarnya.

Pertanyaan penting saat ini bukan lagi “mengapa kekerasan terus terjadi di Papua.” Jawabannya terlalu jelas: akar masalah Papua diabaikan. Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah negara sungguh memiliki kemauan politik untuk menyelesaikannya, atau justru ketidakselesaian ini dipelihara. Ketika kekuasaan lebih penting daripada keadilan, maka kekerasan akan terus menjadi bahasa negara terhadap rakyatnya sendiri di tanah Papua.

Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Jayapura hanyalah tiga titik dari peta panjang luka Papua. Besok, mungkin ada titik baru: Nduga, Puncak, Wamena, Bintuni, atau dimana saja di seantero Papua. Tanggal akan berganti, tetapi ceritanya sama: kontak senjata, korban berjatuhan, dua narasi saling meniadakan. Selama negara tak berani menyingkap akar persoalan, kekerasan akan terus menjadi rutinitas.

Papua tidak membutuhkan lebih banyak pasukan, gas air mata, atau proyek infrastruktur yang menutupi luka. Papua membutuhkan kejujuran negara untuk menghadapi sejarahnya, membuka ruang dialog sejati, mengakui kesalahan, dan menegakkan keadilan. Tanpa itu semua, kekerasan akan terus berulang dan masa depan rakyat Papua akan terus dikorbankan.

Sejarah kelak tidak hanya mencatat siapa yang menarik pelatuk, tetapi siapa yang memilih untuk tidak mendengar. Negara akan diingat bukan karena kekuatannya, melainkan karena pengabaiannya terhadap kebenaran. Papua bukan medan operasi. Papua adalah tanah manusia yang membutuhkan pengakuan, keadilan, dan perdamaian sejati.