OPINI  

Kebebasan Eksistensial Inti Kemerdekaan

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

HARI INI, 17 Agustus 2025, adalah momen yang sangat istimewa bagi bangsa dan negara Indonesia. Mengapa istimewa? Karena hari ini dirayakan sebagai hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak tanggung-tanggung usia kemerdekaan yang dirayakan pada tahun ini sudah menempuh angka yang sesungguhnya melebihi angka dewasa, yakni 80 tahun (1945-2025).

Seperti penulis tekankan dalam artikel berjudul Ëtika Kepedulian Akar Keadilan Sosial yang dimuat di laman ini beberapa hari yang lalu, sesuai dengan pemetaan perkembangan moral Lawrence Kohlberg, usia 80 tahun selayaknya sudah berada pada tingkat pasca konvensional.

Sebagaimana ditegaskan dalam bukunya, The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of Justice (Essays on Moral Development (1991), indikasi paling utama menurut Lawrence Kohlberg adalah bahwa orang tidak lagi menundukkan diri pada identitas kolektifnya.

Apalagi, berorientasi pada kepentingan pribadi semata dan kelompok, melainkan sudah beranjak dari hal-hal yang bersifat egosentris, partikularistik dan kolektif demikian menuju nilai-nilai universal.

Pola berpikir dari usia demikian justru lebih matang, sikap yang ditunjukkan lebih bijaksana, cermat,  dan dinamis dalam berelasi dan bertindak dalam kehidupan bersama. Meminjam pemikiran Aristoteles sebagaimana dinyatakan dalam The Nicomachean Ethics (2020), pribadi di usia demikian hidup dan berperilaku dengan landasan keutamaan rasional dan keutamaan moral.

Inti Kedewasaan

Bagi penulis usia pasca dewasa demikian seyogianya merupakan momen untuk menorehkan sejarah bagi generasi masa yang akan datang dalam dua hal berikut. Pertama, memberi kesaksian pada generasi berikut bahwa Republik ini telah menorehkan hal-hal positif yang menjadi tiruan dan landasan bagi generasi berikut untuk membangun negeri  selanjutnya.

Apa yang diukir dalam delapan dekade ini sepantasnya dan selayaknya menjadi pelajaran kehidupan bagi generasi berikutnya. Orang Latin, tepatnya Cicero menyebutnya dengan semboyan historia magistra vitae, sejarah adalah guru bagi kehidupan.

Kedua, menaburkan nilai-nilai moral kehidupan sebagai pegangan bagi generasi muda dan generasi mendatang sehingga mereka memiliki modal hidup menghadapi berbagai ragam persoalan dunia di kemudian hari.

Singkatnya, orang dewasa, apalagi post dewasa, ditandai dengan kewarasan dalam bertindak dan berperilaku. Ia memiliki pola pikir yang rasional, dan memiliki kepekaan serta keberpihakan kepada orang lain dengan berpijak pada nilai-nilai universal seperti keadilan dan kejujuran.

Dalam pemetaan Lawrence Kohlberg tentang karakter orang dewasa yang disebutkan di atas juga memuat makna tentang kebebasan sebagai penciri dari kedewasaan, lebih-lebih kebebasan eksistensial. 

Yang dimaksudkan dengan kebebasan eksistensial seperti dirumuskan oleh Franz Magnis Suseno SJ dalam Etika Dasar (2020) adalah kemampuan seseorang untuk menentukan diri secara bebas. 

Kebebasan ini ditandai dengan adanya kesempatan yang luas bagi setiap individu untuk menyatakan hal-hal yang mendasar dalam menghayati hidupnya sebagai makhluk personal dan sosial, dan sebagai makhluk religius. 

Makna Kebebasan Eksistensial

Kebebasan eksistensial bersifat positif dan afirmatif karena di dalamnya empat nilai mendasar manusia dihadirkan. Pertama, melibatkan pertimbangan. Persis seperti dikatakan Lawrence Kohlberg bahwa rasionalitas menandai orang dewasa. Dan ini juga menjadi hakikat dari kebebasan eksistensial. 

Artinya, dalam bertindak orang yang bebas secara eksistensial menempatkan fungsi rasionya di atas fungsi emosi dan gerakan naluri instingtualnya. Orang yang bebas secara eksistensial akan mempertimbangkan perbuatannya secara matang. Dan kalau ternyata perbuatannya itu berdampak buruk maka ia tidak akan melakukannya. Sebaliknya mencari alternatif lain untuk itu.

Kedua, mengedepankan nilai kebaikan. Kebebasan eksistensial bersumber dari dalam diri seseorang, yakni keberadaannya sebagai manusia yang berharga dan bernilai. Ini pula diungkapkannya melalui pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Karena itu pula orang yang bebas secara eksistensial mengedepankan kebaikan tidak hanya bagi diri sendiri lebih-lebih bagi orang lain. 

Daniel Goleman dalam Optimal (2024) menggambarkan itu secara jelas. Goleman menyatakan bahwa kebaikan adalah hal yang sangat alamiah dalam diri manusia. SIkap positif ini lebih-lebih mengakar dalam kepribadian orang dewasa, yang sadar bahwa dirinya adalah orang yang bebas. Jadi bagi Goleman, orang yang bebas adalah orang yang berpihak pada kebaikan. 

Hal yang sama ditegaskan oleh Erich Fromm dalam bukunya Escape from Freedom (1985). Menurut Fromm, manusia yang bebas adalah manusia yang mencintai kehidupan, yang disebutnya biofilia. Sebaliknya menghindari hal-hal yang buruk terhadap orang lain, yang diistilahkan Fromm dengan nekrofilia. 

Artinya apa? Ya orang bebas secara eksistensial selalu memperlihatkan perilaku positif bagi orang lain dan dunia sekitar. Perilaku positif demikian justru merupakan ungkapan eksistensi manusia. Dalam buku yang lain, To Have or To Be (1976), Fromm bahkan menandaskan perilaku positif itu merupakan hakikat manusia yang sesungguhnya.

Tidak jauh dari peneguhan Erich Fromm, secara eksplisit dalam konteks sosial N Driyarkara filsuf Indonesia menempatkan kebaikan itu sebagai fondasi kehidupan bersama sesama manusia. Karena itulah dengan penegasan itu Driyarkara melabelkan hakikat esensial manusia dengan adagium homo homini socius, artinya menempatkan sesamanya sebagai sahabat. 

Ungkapan ini adalah antitesis atau lawan dari  ungkapan Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia yang melihat sesamanya serigala yang harus dimangsa) seperti dinyatakannya dalam Leviathan (2020).

Ketiga, menghidupkan otonomi. Kebebasan eksistensial menyata dalam kemampuan seseorang menentukan dirinya. Karena itu kebebasan ini memberi tempat bagi otonomi, lebih-lebih otonomi moral. 

Artinya apa? Sesuai etimologi dari kata, kata otonomi dalam bahasa Yunani, yakni auto, artinya sendiri, dan nomos artinya aturan. Otonomi berarti keputusan untuk bertindak dan mengambil keputusan  menentukan diri sendiri. 

Artinya orang yang bebas secara eksistensial selalu bertindak dengan kesadaran dan kemampuannya sendiri, bukan karena gerakan atau dorongan di luar dirinya seperti ajakan gerombolan lain untuk melakukan perusakan. 

Kesadaran dan kemampuan menentukan diri, lebih-lebih menolak hal-hal yang buruk, termasuk ajakan orang lain untuk itu merupakan hal mendasar dan menjadi penentu kualitas etis seseorang.

Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason (2020, Pinguin) menyatakan bahwa otonomi moral adalah kemampuan yang paling mendasar bagi manusia. Otonomi moral berarti orang secara bebas mengikuti gerakan suara hatinya menuju kebaikan berdasarkan pilihan sendiri, bukan karena ajakan atau himbauan, apalagi paksaan dari orang lain. 

Karena itulah Kant membedakan otonomi moral dengan heteronomi moral, yakni orang melakukan sesuatu bukan karena kesadaran sendiri, tetapi karena paksaan atau iming-iming tertentu dari luar dirinya. 

Keempat, menyertakan tanggung jawab. Orang yang bebas secara eksistensial bukanlah orang munafik, lempar batu sembunyi tangan. Orang yang menyadari hal ini memperlihatkan tanggung jawab atas perbuatannya baik secara retrospektif maupun prospektif. 

Secara retrospektif maksudnya, misalnya ketika melakukan sebuah kesalahan, pelaku berani mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan minimal: pertama, minta maaf kepada orang yang terkena dampak dari kesalahannya. Kedua, berani menanggung risiko dari perbuatannya entah secara finansial entah secara sosial. 

Dikatakan secara prospektif, dalam arti orang yang bebas secara eksistensial mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal demi masa depan yang baik, dengan kesadaran dari dalam diri yang sesungguhnya. 

Misalnya seorang pejabat mewujudkan tanggung jawab prospektif, ketika memikirkan dengan matang kebijakannya untuk kemajuan masyarakatnya ke arah yang lebih baik ke depan. Maeve Mckeon dalam With Powers Comes Responsibility (2025) bahkan sangat mengharapkan hal itu menjadi perhatian pejabat publik, mengingat kepada mereka diberi amanah untuk melayani publik.

Faktisitas Kebangsaan

Apakah fenomena kedewasaan ini sungguh-sungguh hadir di republik ini? Dengan pertanyaan lain, apakah kebebasan eksistensial menjadi kehidupan nyata dalam hidup berbangsa dan bernegara? 

Jawaban pertanyaan ini nampaknya masih sesuai dengan ungkapan “masih jauh panggang dari api”. Artinya, identitas kedewasaan itu masih, lebih-lebih kebebasan eksistensial masih jauh dari faktisitas berbangsa dan bernegara secara umum. Satu contoh yang paling menonjol belakangan ini adalah kebebasan dalam menjalankan ibadah bagi warga masyarakat.

Kebebasan beragama merupakan bagan substansi dari kebebasan eksistensial. Bidang kehidupan ini merupakan upaya setiap pribadi menjalin relasi yang baik dengan Sang Penciptanya dan sesamanya. Dalam kehidupan beragama setiap individu menyatakan diri dengan segala totalitasnya di hadapan Sang Penciptanya. 

Di sana sesungguhnya yang mau dicari adalah semangat untuk terus mengupayakan nilai-nilai kebaikan. Bahkan dapat dikatakan dalam kehidupan beragama, setiap orang beriman ingin mendekatkan diri dengan sumber kebaikan, roh Kekuatan yang menggerakkan dirinya semakin bertanggung jawab dalam menjalani kehidupannya. 

Dalam kehidupan beragama pula orang beriman baik secara personal dan sosial mengungkapkapkan hakikat dirinya sebagai insan yang lemah dan meminta kekuatan dari Sang Sumber Mahadahsyat. 

Relasi intensif dengan Sang Ilahi sebagaimana dinyatakan oleh Mircea Eliade dalam Sakral dan Profan (2002) adalah momen perjumpaan di mana manusia menimba kekuatan dari Yang Sakral dalam menghidupi yang profan (keduniawian). Jadi momen beribadah adalah momen yang sakral, yang seyogianya manusia yang lain tidak boleh mengganggunya.

Namun dalam realitasnya belakangan ini, penghayatan esensi kebebasan eksistensial itu cenderung semakin tersingkir dengan munculnya gerakan-gerakan kelompok intoleran yang semakin berkembang di berbagai daerah seperti di Sukabumi, di Bogor, di Padang, di Arcamanik, Bandung, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan, dan di beberapa daerah akhir-akhir ini.

Sekali lagi meminjam istilah Mircea Eliade, kesakralan itu bahkan diingkari oleh mereka  yang sesungguhnya adalah kaum beragama juga, yang tak pantas melakukan penghancuran demikian. Peningkatan kuantitas gerakan eliminasi esensi kebebasan eksistensial dalam kehidupan beragama itu terkesan seolah-olah terjadi tidak secara spontan.

Dalam memaknai HUT Kemerdekaan ke 80 RI hari ini, sekali lagi penulis mengutip apa yang ditulis oleh Sunaryo dalam Perihal Keadilan Keutamaan dan Dasar Hidup Bersama (2021) bahwa negara ini dibangun tidak menjadikan golongan mayoritas, kelompok bangsawan, atau kelompok masyarakat yang paling kaya sebagai fondasi sosial atau bahkan sebagai pemilik negara ini, tetapi atas dasar kehidupan bagi semua suku, ras, agama yang ada di dalamnya. 

Kebebasan eksistensial sesungguhnya inti dalam sebuah perjuangan kemerdekaan bagi republik ini. Pedagogy of conscientization (pendidikan penyadaran) berkelanjutan baik di masyarakat dan pejabat publik diperlukan demi terwujudnya kebebasan eksistensial itu. Dalam hal ini, kewarasan publik (public reasonableness) sangat diperlukan, didukung dan diperkuat dengan kewarasan politisi dan pengelola negara (politician’s reasonableness) dalam segala lini pemerintahan.

Tanpa kewarasan dua komponen bangsa tersebut kebebasan hanyalah sebuah utopia, seperti diingatkan oleh Sir Thomas More, seorang pengacara, sarjana, dan negarawan Inggris yang hidup pada abad ke-16. 

Artinya, kebebasan hanyalah sebuah impian yang tak pernah nyata dan hadir dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kalau demikian, itu berarti mengingkari hakikat kemanusiaan itu sendiri, karena kebebasan eksistensial itu melekat dalam diri setiap pribadi. Negara harus menjamin itu. 

Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia.