WACANA sebagian elit politik dan sejumlah pemimpin negara untuk membawa Indonesia kembali ke UUD 1945 naskah asli tanpa amandemen adalah sebuah kemunduran besar dalam demokrasi. Ide ini jelas berbahaya, bukan saja karena mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang sedang dibangun, tetapi juga membuka jalan bagi lahirnya kembali otoritarianisme yang pernah menjerat bangsa ini selama puluhan tahun.
Kita tidak boleh lupa, UUD 1945 naskah asli adalah konstitusi darurat yang disusun hanya dalam tempo singkat, di tengah keterbatasan situasi menjelang proklamasi kemerdekaan. UUD itu memang berhasil menjadi landasan awal negara, tetapi para pendiri bangsa pun sejak awal sadar bahwa UUD 1945 hanyalah produk sementara. Itulah mengapa pada 1950 kita beralih ke UUD Sementara, dan mengapa setelah reformasi 1998 kita melakukan amandemen untuk memperkuat prinsip demokrasi, pembatasan kekuasaan, serta perlindungan hak-hak rakyat.
Amandemen UUD 1945 bukanlah sekadar kosmetik politik. Ia lahir dari pengalaman pahit rakyat Indonesia hidup di bawah kekuasaan yang terkonsentrasi di satu tangan. Kita pernah mengalami betapa berbahayanya jika presiden memegang kekuasaan terlalu absolut: legislatif tidak berfungsi, yudikatif lumpuh, rakyat kehilangan hak untuk bersuara, dan korupsi merajalela. Amandemenlah yang kemudian memperkenalkan pembatasan masa jabatan presiden, memperkuat peran DPR dan DPD, membentuk Mahkamah Konstitusi, serta menjamin kebebasan pers dan partisipasi rakyat. Semua ini adalah capaian besar yang tidak boleh dihapus.
Mereka yang mendorong kembali ke UUD 1945 sering beralasan bahwa sistem saat ini terlalu liberal, terlalu banyak partai, terlalu gaduh. Padahal, gaduh adalah tanda kehidupan demokrasi. Perdebatan di parlemen, kritik di media, bahkan gesekan politik adalah bagian dari mekanisme check and balance. Justru jika semua serba senyap, kita patut curiga: bisa jadi demokrasi sudah mati.
Demokrasi Indonesia hari ini memang belum sempurna. Korupsi masih marak, politik uang masih mengakar, dan lembaga-lembaga negara sering kehilangan wibawa. Tetapi solusinya bukan dengan kembali ke UUD 1945 yang membuka peluang bagi konsentrasi kekuasaan tanpa batas. Solusinya adalah memperkuat pelaksanaan konstitusi hasil amandemen, memperbaiki undang-undang turunan, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan mendidik elite politik agar lebih berintegritas.
Jangan kembali ke UUD 1945. Itu bukan jalan keluar, melainkan jalan mundur. Itu bukan solusi, melainkan jebakan. Bangsa ini sudah membayar mahal harga demokrasi dengan darah, keringat, dan air mata reformasi. Kita tidak boleh membuangnya begitu saja hanya karena segelintir elite ingin berkuasa lebih lama atau lebih absolut.
UUD 1945 hasil amandemen memang tidak sempurna, tetapi jauh lebih demokratis daripada naskah aslinya. Jika ada kekurangan, mari perbaiki dengan cara yang benar. Tetapi jangan sekali-kali kembali ke titik awal yang sudah terbukti hanya melahirkan otoritarianisme. Demokrasi memang melelahkan, tetapi itulah harga yang harus kita bayar demi kebebasan.
Kita harus maju ke depan, bukan berjalan mundur ke masa lalu. (Editor)