OPINI  

Intelijen Israel Mengintai Indonesia?

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

Hubungan Indonesia dan Israel adalah hubungan yang tidak pernah normal sejak berdirinya kedua negara. Indonesia menegaskan diri sebagai pendukung fanatik Palestina, sementara Israel selalu melihat Palestina sebagai ancaman yang harus ditundukkan. Dua posisi ini berseberangan secara diametral. Karena itu, meskipun Indonesia dan Israel tidak berperang secara langsung, wajar jika muncul dugaan bahwa Israel tidak mungkin tinggal diam menghadapi sikap Indonesia. Negeri Yahudi itu hampir pasti memiliki strategi tertentu, dan bisa jadi salah satunya adalah operasi intelijen.

Sejak awal, politik luar negeri Indonesia jelas berpihak kepada Palestina. Presiden pertama, Soekarno, menolak mengakui Israel dan konsisten menyuarakan kemerdekaan Palestina. Hingga kini, setiap Presiden Indonesia selalu mengulang narasi yang sama. Bahkan, di forum-forum internasional, Indonesia hampir selalu berada di garis depan membela Palestina. Dunia pun tahu bahwa Indonesia adalah pendukung fanatik Palestina, bukan sekadar simpatisan. Posisi ini tentu tidak bisa dipandang ringan oleh Israel. Bagi mereka, Indonesia bisa menjadi batu sandungan diplomatik yang cukup mengganggu, sekalipun tidak menimbulkan ancaman langsung.

Israel dikenal sebagai negara yang jarang sekali menempuh jalur konfrontasi terbuka kecuali ketika benar-benar terdesak. Melawan Indonesia dengan perang jelas mustahil, baik secara geografis maupun politis. Karena itu, jika ada skenario Israel terhadap Indonesia, maka jalur terselubung lebih masuk akal. Sepanjang sejarah, Israel memang terbukti piawai dalam operasi bayangan. Mossad, badan intelijen Israel, sudah lama memiliki reputasi sebagai salah satu yang paling efektif dan ditakuti di dunia. Rekam jejaknya panjang: menculik Adolf Eichmann di Argentina, membunuh ilmuwan nuklir Iran, hingga melancarkan serangan siber ke fasilitas musuh. Dengan catatan seperti ini, dugaan bahwa Mossad juga menaruh perhatian pada Indonesia bukanlah hal berlebihan.

Dalam konteks Indonesia, operasi intelijen bisa saja berbentuk pemetaan elite politik: siapa yang keras menolak Israel, siapa yang pragmatis, dan siapa yang bisa dilobi. Informasi semacam ini penting untuk kepentingan jangka panjang. Normalisasi hubungan dengan Indonesia merupakan target strategis Israel, dan mereka tentu harus tahu jalur mana yang bisa ditembus. Selain itu, intelijen juga bisa diarahkan untuk memengaruhi opini publik. Media sosial bisa menjadi medan yang subur untuk menyusupkan narasi, misalnya bahwa membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah langkah modern, pragmatis, dan menguntungkan bagi Indonesia. Semua itu bisa saja dilakukan tanpa jejak resmi, sebagaimana gaya operasi intelijen.

Jika kita bandingkan dengan cara Israel memperlakukan negara lain, pola ini semakin masuk akal. Iran, misalnya, diperlakukan sebagai musuh eksistensial sehingga Israel menempuh operasi yang keras: pembunuhan ilmuwan, serangan udara, hingga sabotase nuklir. Namun terhadap negara seperti Turki, Qatar, atau Mesir, Israel memilih jalur lain: diplomasi, komunikasi terselubung, atau kerja sama di bidang tertentu. Indonesia lebih mungkin diposisikan seperti kategori kedua. Tidak dianggap ancaman eksistensial, tapi tetap harus “dikendalikan”.

Salah satu jalur yang mungkin digunakan adalah lewat sekutu. Amerika Serikat menjadi pintu utama. Tekanan agar Indonesia mau membuka hubungan dengan Israel sempat terdengar dalam isu keanggotaan Indonesia di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Meski tidak diumumkan secara resmi, laporan-laporan semacam ini memberi indikasi bahwa Israel bisa saja menekan Indonesia lewat jaringan internasional dan sekutu strategisnya. Singapura dan Australia pun berpotensi menjadi perpanjangan tangan, mengingat kedekatan hubungan mereka dengan Israel sekaligus kepentingan mereka dengan Indonesia.

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan Israel memanfaatkan isu-isu internal Indonesia. Papua, intoleransi, radikalisme, hingga pelanggaran HAM adalah titik rawan yang bisa dipakai sebagai senjata diplomasi. Israel tidak harus terlibat langsung, cukup mendorong jaringan global untuk mengangkat isu-isu tersebut. Efeknya, citra Indonesia di dunia bisa tertekan. Jika Indonesia sibuk membela diri dari kritik soal urusan domestik, maka suaranya tentang Palestina bisa dianggap kurang kredibel.

Tetapi sekali lagi, semua ini masih dalam kerangka prediksi dan dugaan. Tidak ada bukti terbuka bahwa Israel benar-benar menjalankan operasi intelijen di Indonesia. Tidak ada pernyataan resmi dari Israel yang menyinggung rencana agresif terhadap Indonesia. Namun, jika kita melihat gaya Israel menghadapi negara-negara yang dianggap lawan, sulit membayangkan bahwa mereka sama sekali tidak punya agenda terhadap Indonesia.

Dengan demikian, sikap Israel terhadap Indonesia kemungkinan besar penuh kalkulasi. Mereka akan terus memantau lewat intelijen, menekan lewat sekutu, memanfaatkan isu internal, dan menunggu momentum untuk mendorong normalisasi. Apakah ini berarti Israel sudah mengintai Indonesia sekarang? Mungkin iya, mungkin juga belum sampai pada tahap itu. Tetapi, jika melihat pola sejarah, dugaan tersebut sangat masuk akal.