IMPIAN “Indonesia Emas 2045” digagas sebagai cita-cita luhur: menjadikan Indonesia negara maju tepat saat usianya genap satu abad. Visi ini menggambarkan kemajuan ekonomi, pendidikan berkualitas, tata kelola pemerintahan yang bersih, dan kesejahteraan rakyat yang merata. Namun, saat rakyat melihat ke sekeliling—yang tampak bukan emas, melainkan kecemasan yang merambat di segala lini kehidupan.
Dalam bidang ekonomi, kesenjangan antara si kaya dan si miskin terus melebar. Di kota-kota besar, apartemen mewah menjulang, sementara di pelosok negeri, rakyat antre minyak goreng dan beras murah. Inflasi harga kebutuhan pokok menghantam daya beli rakyat, sedangkan utang negara menggunung hingga ribuan triliun. Ironisnya, jargon pertumbuhan ekonomi kerap didengungkan, namun tak terasa di meja makan rakyat kecil.
Di sektor pendidikan, kualitas masih timpang. Akses pendidikan tinggi berkualitas masih didominasi kelompok menengah ke atas, sementara di daerah tertinggal, banyak sekolah tanpa guru tetap atau fasilitas layak. Generasi emas seharusnya lahir dari sistem pendidikan yang berkeadilan, bukan dari sistem yang hanya menguntungkan yang mampu.
Bidang hukum dan demokrasi pun tak lepas dari sorotan. Independensi lembaga-lembaga negara dipertanyakan, kritik dibungkam, dan kebebasan sipil menyempit. Korupsi masih menjadi penyakit menahun, bahkan di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum. Bagaimana Indonesia bisa jadi negara maju, bila hukum tak menjadi panglima?
Di sisi lingkungan, deforestasi, polusi, dan bencana ekologi meningkat, tetapi justru sering dibungkus narasi pembangunan. Proyek-proyek raksasa berjalan tanpa partisipasi warga lokal dan sering kali mengorbankan ruang hidup masyarakat adat. Semua atas nama “kemajuan”, padahal rakyatnya yang dikorbankan.
Tak kalah memprihatinkan adalah kesehatan mental rakyat. Banyak anak muda merasa tertekan, kehilangan arah, dan sulit bermimpi di tengah kehidupan yang makin kompetitif namun tak adil. Ini pertanda bahwa pembangunan kita terlalu berorientasi pada angka, bukan pada jiwa manusia.
Mewujudkan Indonesia Emas tak bisa hanya dengan data makro yang indah di atas kertas. Harus ada keadilan yang nyata, keberpihakan yang jelas pada rakyat kecil, dan keberanian untuk membersihkan sistem dari korupsi dan kepalsuan.
Harapan masih ada. Anak-anak muda terus bergerak, komunitas sipil tetap bersuara, dan rakyat masih mau berharap. Namun, pemerintah harus sadar: waktu tak banyak. Indonesia Emas bukan hasil pidato, tapi buah dari kerja jujur, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Jika tidak, emas yang dijanjikan hanya akan jadi ilusi—sementara rakyat terus diliputi kecemasan di tanahnya sendiri. (Editor)