Oleh Imanuel Gurik
Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua
ORANG asli Papua adalah terminologi politik, sosial, dan kultural yang belakangan mencuat dalam kebijakan negara, wacana pembangunan, hingga obrolan warga di honai di pelosok tanah Papua. Namun jauh sebelum jadi populer pasca kelahiran kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua tahun 2001, orang Papua sudah lebih dahulu hadir sebagai sebuah entitas dalam durasi waktu panjang, khususnya terkait sejarah, identitas, dan sistem sosial budaya masyarakat.
Uraian dalam tulisan ini bertolak dari keyakinan bahwa sejarah orang asli Papua bukan sekadar kisah dan sejarah tempo doeloe, melainkan fondasi bagi arah sekaligus masa depan. Dengan memahami sejarah, orang asli Papua, termasuk elemen-elemen lainnya dapat menilai apa yang hilang, yang bertahan, dan yang perlu dan wajib diperjuangkan demi martabat sekaligus kemandirian Papua saat ini.
Sejarah orang asli Papua adalah sejarah tua yang membentang ribuan tahun. Dalam konteks antropologi Papua merupakan bagian dari wilayah Melanesia yang terbentang dari Nugini hingga Kepulauan Fiji. Berbagai studi genetika dan arkeologi menunjukkan, nenek moyang orang asli Papua sudah mendiami wilayah paling timur Indonesia ini sejak lebih 40.000 tahun silam.
Di tanah Papua, orang asli ras Melanesia ini hidup dalam berbagai komunitas kecil, mengembangkan sistem sosial, hukum adat, dan kearifan lokal. Berbagai suku besar seperti Dani, Mee, Asmat, Biak, Sentani, Marind, dan banyak lagi, lahir dengan bahasa, seni, dan sistem kepercayaan beragam. Papua menjadi salah satu daerah dengan keragaman bahasa terbanyak di dunia. Tercatat, lebih dari 250 bahasa daerah yang tersebar di berbagai wilayah adat merupakan bukti nyata salah satu identitas dan kekayaan orang asli Papua.
Sejarah awal ini kerap minim didokumentasikan dalam catatan tertulis, namun hadir dalam komunikasi verbal masyarakat atau tradisi lisan, mitologi, ukiran, tarian, nyanyian adat, dan lain-lain. Bagi orang asli Papua, sejarah bukan sekadar tentang tanggal dan peristiwa. Ia adalah runutan kisah kosmologi yang menghubungkan manusia dengan alam dan Tuhan, sang Pencipta langit dan bumi. Pepatah adat Papua juga mengajarkan: ‘tanah Papua bukan warisan nenek moyang kami, tetapi titipan anak cucu kami.’
Persinggungan dengan Dunia Luar
Memasuki Abad ke-16, dunia luar mulai mengenal Papua. Para pelaut Portugis dan Spanyol singgah di pantai utara. Pada Abad ke-17, Belanda mulai mencatat wilayah ini dalam peta koloninya. Namun, penetrasi kaum kolonial ke pedalaman Papua berlangsung sangat lambat akibat kondisi topografi yang sulit diterobos dari berbagai sisi.
Pertemuan ini membawa dua arus besar: agama dan kolonialisme. Injil masuk ke tanah Papua melalui Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855 dibawa dua misionaris Jerman, Ottow dan Geissler. Sejak saat itu, pelan-pelan masyarakat Papua beralih dari sistem kepercayaan animisme ke agama Kristen. Injil membawa transformasi sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan tata hidup baru. Dalam bahasa Pendeta IS Kijne, Injil datang membawa terang dan mengangkat martabat orang Papua.
Namun bersamaan dengan itu, kolonialisme Belanda menanamkan struktur politik baru. Tanah Papua masuk ke dalam kerangka Hindia Belanda, meski dengan keterlibatan yang minimal dibandingkan daerah lain di nusantara. Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, Papua masih di bawah Belanda. Belanda berusaha mempertahankan Papua sebagai koloni terakhirnya. Pada awal 1960-an, lahirlah embrio nasionalisme Papua. Dewan Nugini dibentuk, bendera Bintang Kejora dikibarkan, dan lagu Hai Tanahku Papua diciptakan.
Namun realitas geopolitik membawa Papua ke dalam orbit Indonesia. Melalui Perjanjian New York 1962, Belanda menyerahkan Papua kepada Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Temporary Executive Authority/Untea, lalu pada 1963 kepada Indonesia. Tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan Papua resmi masuk dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meski Pepera hingga kini masih diperdebatkan legitimasinya, secara politik internasional Papua diakui sebagai bagian dari Indonesia. Tokoh agama Papua, Pendeta Dr Benny Giay menyebut, orang Papua adalah bagian dari bangsa Melanesia, tetapi juga bagian dari Indonesia. Pergulatan identitas inilah yang harus kita hadapi dengan arif.
Orang Asli Papua dalam Pusaran Pembangunan
Sejak Papua resmi masuk Indonesia, negara menjalankan berbagai program pembangunan: infrastruktur, pendidikan, transmigrasi, eksploitasi sumber daya alam, dan integrasi sosial budaya. Namun di balik itu, masih banyak orang asli Papua merasa tersisih. Transmigrasi membawa arus besar penduduk non-Papua, terutama dari Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Hal ini menimbulkan ketimpangan demografi dan ekonomi. Banyak sektor formal —perdagangan, birokrasi, bisnis, pendidikan— didominasi oleh pendatang. Orang asli Papua sering hanya menjadi penonton di atas tanah leluhurnya sendiri. Eksploitasi sumber daya alam (SDA), terutama tambang emas dan tembaga di Mimika oleh PT Freeport Indonesia, juga memunculkan luka sejarah. Di satu sisi, tambang ini memberi devisa besar bagi negara. Namun di sisi lain, masyarakat adat Papua yang wilayahnya dieksploitasi sering merasa tidak mendapatkan manfaat sepadan.
Kebijakan otonomi khusus Papua sejak 2001 memberi ruang bagi pengakuan identitas orang asli Papua. Istilah ‘orang asli Papua’ bahkan dimasukkan dalam Undang-Undang Otsus Papua sebagai subjek utama penerima manfaat. Dana otsus digelontorkan dari pusat untuk mempercepat pembangunan, namun efektivitasnya masih menjadi perdebatan. Tokoh Papua mendiang Theys Hiyo Eluay mengatakan, otonomi khusus adalah harapan terakhir negara untuk mengangkat martabat orang Papua.
Tantangan Identitas
Di era modern, orang asli Papua menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan identitas. Ada beberapa isu krusial yang masih menganga lebar. Namun, paling kurang dapat disebutkan beberapa. Pertama, marginalisasi ekonomi. Saat ini masih banyak orang asli Papua yang bekerja di sektor informal dan subsisten, sementara sektor formal dikuasai kaum migran.
Kedua, krisis pendidikan dan kesehatan. Indeks pembangunan manusia (IPM) Papua masih terendah di Indonesia. Banyak anak orang asli Papua tertinggal dalam akses pendidikan dan kesehatan. Ketiga, kehilangan tanah adat. Investasi besar sering merampas tanah adat. Tanah bagi orang asli Papua bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan kehidupan.
Keempat, stigma dan diskriminasi. Orang asli Papua sering dipandang sebelah mata di kota-kota besar Indonesia, kerap pula mengalami rasisme, dan stereotip negatif. Kelima, radikalisasi politik. Sebagian orang asli Papua memilih jalur politik berbeda: memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri. Hal ini memperlihatkan masih adanya jarak antara Jakarta dan Papua. Antropolog dan pentolan grup musik Mambesak, Arnold Ap menulisnya dalam frasa nelangsa: “kami bukan minta dikasihani, kami hanya ingin dihargai sebagai manusia.”
Meski menghadapi berbagai tekanan, orang asli Papua tetap memiliki kekuatan budaya yang luar biasa. Seni ukir Asmat, pesta bakar batu, tari-tarian perang, noken yang diakui Unesco sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 4 Desember 2012 hingga musik khas Papua menjadi simbol identitas. Bahasa daerah juga merupakan warisan penting. Meski banyak tergerus oleh dominasi bahasa Indonesia, ratusan bahasa lokal Papua masih hidup. Ia adalah kunci untuk memahami kosmologi dan kearifan lokal orang asli Papua.
Dalam hal religi, mayoritas orang asli Papua saat ini beragama Protestan dan Katolik dengan minoritas Islam, dan agama-agama lain. Namun nilai-nilai adat dan kosmologi asli tetap menyatu dalam praktik keagamaan. Tokoh muda tanah Papua Markus Haluk mengingatkan, ‘identitas Papua hidup dalam bahasa, seni, dan tanah. Jika itu hilang, maka hilanglah kita sebagai orang Papua.’
Orang Asli Papua di Era Otonomi Khusus
Otonomi khusus Papua lahir sebagai jawaban atas ketidakpuasan orang asli Papua terhadap pembangunan. Undang-Undang Otsus Papua (2001) dan revisinya (2021) memberi hak istimewa: dana otsus, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua serta afirmasi politik dan ekonomi. Namun implementasi otsus penuh tantangan. Korupsi, birokrasi lemah, konflik politik, dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) membuat tujuan otsus belum sepenuhnya tercapai.
Pemekaran Papua hingga kini mengoleksi enam daerah otonom baru (DOB) yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya adalah babak baru. Pemerintah berharap pemekaran mendekatkan pelayanan. Namun di sisi lain ada kekhawatiran orang asli Papua makin terpecah secara politik. Akademisi dan ahli komunikasi Dr Don Bosco Doho mengingatkan, pemekaran jangan hanya membagi wilayah, tetapi harus membagi keadilan bagi orang asli Papua.
Sejarah orang asli Papua adalah sejarah pergulatan identitas. Kini saatnya meneguhkan posisi orang asli Papua sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Ada beberapa langkah penting. Pertama, penguatan pendidikan orang asli Papua. Pendidikan harus menjadi prioritas mutlak. Kuota khusus, beasiswa dan sekolah berbasis budaya lokal harus diperluas agar orang asli Papua siap bersaing.
Kedua, reformasi ekonomi afirmasi. orang asli Papua harus diberi ruang dalam bisnis, kontraktor lokal, koperasi, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tanpa afirmasi, mereka akan terus kalah dari modal besar. Ketiga, perlindungan tanah adat. Pemerintah harus menjamin hak ulayat orang asli Papua, bukan sekadar sertifikasi formal tetapi perlindungan nyata dari investasi yang tamat.
Keempat, revitalisasi budaya dan bahasa. Bahasa daerah perlu diajarkan di sekolah, seni budaya harus difasilitasi. Identitas Papua hanya akan kuat bila akarnya tidak tercerabut. Kelima, dialog politik dan rekonsiliasi. Sejarah luka Papua tidak bisa dihapus sekadar dalam pembangunan fisik. Namun, diperlukan dialog jujur antara orang asli Papua dan negara untuk merajut kembali kepercayaan. Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu menegaskan, ‘orang Papua harus bangkit, bukan untuk melawan, tapi untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain.’
Sejarah orang asli Papua adalah sejarah panjang tentang keberanian bertahan, menghadapi kolonialisme, dan modernisasi hingga integrasi dengan Indonesia. Sejarah ini juga sarat luka yang terbalut dalam marginalisasi dan diskriminasi. Namun di sisi lain, ejarah juga bertabur harapan: tentang kekayaan budaya, iman yang kokoh, dan generasi muda yang mau bangkit.
Masa depan Papua hanya bisa dibangun bila orang asli Papua ditempatkan di pusat kebijakan. Bukan sekadar slogan tetapi melangkah ke tindakan keberpihakan yang konkrit. Karena sejatinya, orang asli Papua adalah tuan di tanahnya sendiri. Tanpa mereka, Papua hanya akan menjadi nama tanpa jiwa yang kosong. Papua adalah rumah kita. Kita harus menjadi tuan di rumah sendiri, bukan tamu yang terusir dari tanah di mana tali pusar dikubur.