![]()
Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
DI HUTAN Papua, burung dengan bulu keemasan dan ekor yang menari di udara itu disebut “Burung Surga.” Dalam bahasa Latin dikenal sebagai Paradisaea, namun bagi masyarakat Papua ia adalah “Cenderawasih” — makhluk yang memancarkan keindahan surgawi di tengah pepohonan tropis yang rimbun. Dalam tradisi adat, burung ini bukan sekadar fauna. Ia adalah simbol kehormatan, kemuliaan, dan harga diri. Mahkota berbulu Cenderawasih dikenakan oleh para kepala suku dalam upacara adat sebagai lambang kewibawaan dan penghormatan kepada leluhur.
Namun kini, sang Burung Surga itu terancam punah akibat perburuan liar dan perdagangan ilegal. Bulu-bulunya diburu bukan lagi untuk keperluan adat, melainkan untuk dijual sebagai hiasan atau suvenir bagi kepentingan komersial. Ada juga yang diselundupkan ke luar Papua, baik dalam kondisi hidup maupun mati. Fenomena ini tidak hanya mengancam populasi satwa langka yang dilindungi, tetapi juga mencoreng makna sakral Cenderawasih bagi orang Papua.
Cenderawasih, Lambang Kehormatan dan Kebanggaan Papua
Burung Cenderawasih merupakan spesies endemik Papua yang keindahannya dikenal di seluruh dunia. Indonesia memiliki sedikitnya 24 jenis Cenderawasih, sebagian besar tersebar di hutan-hutan Papua dan Maluku. Dalam banyak kebudayaan di Papua, burung ini dianggap sebagai “burung suci”, simbol kehidupan, dan titisan keindahan alam.
Ketika kepala suku mengenakan mahkota Cenderawasih, itu bukan sekadar penampilan seremonial. Di baliknya ada nilai-nilai mendalam tentang kepemimpinan, keberanian, dan kehormatan. Burung ini seakan menjadi penghubung antara manusia dan alam semesta, antara bumi dan surga. Dalam konteks inilah, Cenderawasih tidak dapat dipisahkan dari identitas orang Papua.
Namun sayangnya, nilai-nilai luhur ini perlahan tergantikan oleh nilai ekonomi. Bulu Cenderawasih kini dianggap barang bernilai tinggi yang laku di pasar gelap. Bahkan, beberapa laporan dari lembaga konservasi menyebutkan adanya jaringan penyelundupan burung dan bulu Cenderawasih dari Papua ke luar daerah hingga ke luar negeri.
Perburuan Liar dan Perdagangan Gelap yang Mengancam
Dalam beberapa tahun terakhir, perburuan liar terhadap Cenderawasih meningkat. Modusnya bervariasi: ada yang menembak langsung di hutan, ada yang menggunakan perangkap untuk menangkap hidup-hidup, kemudian dijual kepada pengepul. Burung hidup biasanya dijual sebagai koleksi langka, sementara yang mati diambil bulunya untuk dijadikan hiasan atau mahkota palsu.
Laporan dari organisasi lingkungan menunjukkan bahwa penyelundupan ini sering dilakukan melalui jalur darat dan udara menuju kota besar seperti Jayapura, Manokwari, bahkan keluar dari Papua ke Jakarta dan Surabaya. Ada pula kasus yang berhasil digagalkan di pelabuhan dan bandara, namun jumlah yang lolos diyakini jauh lebih besar.
Selain perburuan, ancaman lain datang dari kerusakan habitat akibat pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Hutan-hutan yang menjadi tempat tinggal Cenderawasih semakin menyempit. Jika tidak ada tindakan tegas, burung kebanggaan Papua ini hanya akan tinggal cerita dalam buku-buku sejarah alam.
Hukum dan Kelemahan Penegakan
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menetapkan Burung Cenderawasih sebagai satwa dilindungi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang setiap orang untuk menangkap, memelihara, memperjualbelikan, atau memperdagangkan satwa yang dilindungi. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai hukuman penjara dan denda besar.
Namun di lapangan, hukum sering kali tidak berjalan efektif. Banyak pelaku yang tertangkap hanya dijatuhi sanksi ringan atau bahkan dilepaskan karena alasan “ketidaktahuan”. Kurangnya pengawasan di wilayah pedalaman Papua juga membuat perburuan sulit dikendalikan. Sementara itu, permintaan dari pasar luar terus meningkat, menciptakan rantai perdagangan yang sulit diputus.
Oleh karena itu, perlu tindakan nyata yang melibatkan masyarakat adat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan organisasi lingkungan. Konservasi tidak bisa hanya dilakukan di atas kertas. Ia membutuhkan kesadaran bersama bahwa setiap burung yang diburu adalah hilangnya satu bagian dari kebanggaan Papua.
Pengecualian untuk Keperluan Adat
Di tengah upaya pelestarian, penting untuk memahami bahwa tidak semua penggunaan Cenderawasih dianggap perburuan liar. Dalam banyak komunitas adat Papua, penggunaan bulu atau mahkota Cenderawasih untuk upacara adat masih berlangsung — namun dalam skala terbatas, tidak untuk diperdagangkan, dan dilakukan dengan penuh penghormatan.
Mahkota Cenderawasih dalam konteks adat memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam. Ia dikenakan hanya oleh para kepala suku, tetua adat, atau tokoh masyarakat dalam upacara penting seperti pengangkatan pemimpin, perdamaian, atau pesta budaya. Penggunaan ini bukan tindakan komersial, melainkan bagian dari tradisi turun-temurun yang memperlihatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Karena itu, perlu ada pembedaan yang jelas antara perburuan liar untuk tujuan bisnis dan pemanfaatan adat yang terbatas. Pemerintah daerah sebaiknya menetapkan aturan khusus yang memberi ruang bagi masyarakat adat untuk mempertahankan tradisinya tanpa merusak kelestarian satwa. Salah satunya bisa melalui sistem izin adat atau pemantauan bersama antara pemerintah dan dewan adat. Dengan cara ini, pelestarian dan budaya bisa berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.
Mahkota Imitasi sebagai Alternatif
Untuk keperluan di luar adat, seperti acara resmi, pertunjukan, atau produksi suvenir, sudah saatnya digunakan “mahkota imitasi” yang tidak berasal dari burung asli. Teknologi saat ini memungkinkan pembuatan replika bulu yang sangat mirip, baik dari bahan sintetis maupun dari serat alami lokal seperti daun sagu kering atau serat pohon anggrek hutan.
Beberapa pengrajin Papua bahkan mulai berinovasi dengan membuat mahkota tiruan yang tetap indah dan bernilai seni tinggi. Langkah ini bukan hanya membantu melindungi populasi Cenderawasih, tetapi juga membuka peluang ekonomi kreatif baru bagi masyarakat. Mahkota imitasi bisa menjadi simbol modern dari kebanggaan yang ramah lingkungan—sebuah bentuk penghormatan baru terhadap alam tanpa harus merusaknya.
Dengan cara ini, generasi muda Papua dapat tetap bangga dengan simbol-simbol adatnya, sambil berperan aktif menjaga burung yang menjadi identitas mereka. Ini adalah cara terbaik untuk memadukan budaya dan konservasi dalam satu semangat: melestarikan kehidupan.
Penutup
Burung Cenderawasih bukan sekadar ikon keindahan Papua. Ia adalah napas kebudayaan, lambang kehormatan, dan bagian dari jiwa masyarakat adat. Ketika perburuan liar dibiarkan, yang hilang bukan hanya seekor burung, tetapi juga makna dari sebuah kebanggaan.
Sudah saatnya kita berhenti memburu dan memperdagangkan burung ini. Mari biarkan ia tetap menari di hutan-hutan Papua, sebagaimana leluhur dahulu melihatnya sebagai lambang cinta alam dan anugerah Tuhan. Jika diperlukan mahkota, gunakanlah bahan imitasi atau alternatif ramah lingkungan. Dan bagi masyarakat adat, jagalah penggunaan Cenderawasih dalam konteks yang suci dan terbatas, sebagai warisan budaya yang harus terus dihormati.
Melindungi Cenderawasih berarti menjaga martabat alam dan manusia Papua itu sendiri. Karena ketika burung surga ini punah, sebagian dari keindahan dan kebanggaan Papua ikut mati bersamanya.










