OPINI  

Guru dalam Perspektif Negara

Eugene Mahendra Duan, Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

DI TENGAH hiruk pikuk wacana pembangunan nasional, satu pernyataan yang belakangan mengemuka telah memantik perdebatan: guru disebut sebagai “beban negara.” 

Pernyataan ini sontak menimbulkan reaksi keras, tidak hanya dari kalangan pendidik, tetapi juga masyarakat luas yang pernah merasakan sentuhan seorang guru. Bagaimana mungkin profesi yang berperan membentuk nalar, etika, bahkan identitas bangsa, direduksi hanya sebagai “beban” dalam neraca fiskal negara?

Jika ditelaah secara jernih, istilah “beban” di sini lahir dari kacamata birokrasi yang terlalu menekankan aspek anggaran. Guru dilihat sebagai pos pengeluaran, bukan investasi jangka panjang. 

Padahal, dalam teori pembangunan manusia yang dikemukakan Amartya Sen maupun konsep human capital ala Theodore Schultz, pendidikan adalah modal utama pembangunan. Tanpa guru, mustahil ada generasi yang mampu mengelola kekayaan alam, teknologi, bahkan politik negara. Menyebut guru sebagai beban berarti mengabaikan logika dasar peradaban.

Guru dan Kesalahpahaman Negara

Negara kerap terjebak pada retorika efisiensi. Gaji guru, tunjangan sertifikasi, hingga program peningkatan kapasitas dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Padahal, jika menengok laporan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), investasi pendidikan justru memberikan imbal balik yang jauh lebih besar dibanding sektor infrastruktur fisik. Jalan raya bisa rusak, jembatan bisa runtuh, tetapi transfer ilmu dan nilai yang ditanamkan guru akan bertahan lintas generasi.

Ironi terjadi ketika guru hanya dipandang sebagai angka dalam tabel anggaran. Seolah-olah profesi guru tidak lebih dari pengeluaran yang harus ditekan, bukan mitra strategis dalam pembangunan bangsa. 

Pandangan inilah yang membuat penghargaan terhadap guru di Indonesia seringkali timpang: di satu sisi dipuja dalam retorika sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” tetapi di sisi lain diperlakukan dengan kebijakan yang minim keberpihakan.

Sejarah mencatat bahwa setiap peradaban besar selalu memiliki guru sebagai penopangnya. Socrates, Confucius, hingga Ki Hajar Dewantara, bukan sekadar pengajar, tetapi pembentuk paradigma masyarakat. 

Di tanah Papua, mama-mama yang mengajarkan membaca di gubuk sederhana adalah saksi bahwa pendidikan tidak mengenal batas fasilitas. Di desa-desa terpencil, guru yang berjalan berjam-jam untuk tiba di sekolah adalah bukti bahwa dedikasi profesi ini tidak sebanding dengan imbalan material yang diterima.

Realitasnya, guru bukanlah beban, melainkan motor transformasi sosial. Bayangkan, setiap dokter, insinyur, pejabat, hingga presiden, lahir dari ruang kelas sederhana bersama seorang guru. Jika guru disebut beban, maka seluruh hasil pendidikan bangsa pun secara logis harus dianggap sebagai produk dari beban. Pandangan ini jelas absurd.

Memang, secara kasat mata, jumlah anggaran untuk gaji dan tunjangan guru terlihat besar. Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa belanja pendidikan mencapai 20 persen APBN setiap tahunnya. Namun, apakah benar itu murni “beban”? Tidak. 

Anggaran tersebut adalah bagian dari mandat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sama seperti negara menanggung biaya pertahanan demi menjaga kedaulatan, negara juga harus menanggung biaya pendidikan demi keberlangsungan peradaban.

Masalahnya bukan pada besarnya anggaran untuk guru, tetapi pada distribusi dan manajemen yang tidak merata. Banyak guru di perkotaan menerima tunjangan memadai, sementara guru honorer di pelosok hanya menerima ratusan ribu rupiah per bulan. 

Maka, kritik seharusnya diarahkan pada tata kelola, bukan pada profesi guru itu sendiri. Menyalahkan guru sama artinya dengan menembak korban dari sistem yang timpang.

Menggugat Retorika “Beban”

Kata “beban” mengandung makna negatif: sesuatu yang memberatkan, menghalangi kemajuan, atau menguras sumber daya tanpa imbal balik. Tetapi apakah benar demikian dengan guru? 

Laporan Bank Dunia (2022) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas guru berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas nasional. Negara-negara yang serius menempatkan guru sebagai profesi bergengsi —seperti Finlandia atau Korea Selatan— mampu membuktikan bahwa investasi pada guru menghasilkan daya saing global yang kuat.

Dengan demikian, menyebut guru sebagai “beban” bukan saja keliru secara moral, tetapi juga lemah secara akademik. Guru justru merupakan instrumen strategis yang menentukan daya saing bangsa di era digital, di tengah arus globalisasi, dan di dalam persaingan ekonomi berbasis pengetahuan.

Masyarakat kita perlu keluar dari jebakan retorika yang merendahkan profesi guru. Negara harus mengubah paradigma: guru bukan sekadar pekerja yang digaji, melainkan aset strategis yang menentukan arah peradaban. 

Kesadaran ini harus diterjemahkan dalam kebijakan: peningkatan kualitas pendidikan guru, penghargaan finansial yang layak, dan sistem rekrutmen yang transparan serta meritokratis.

Selain itu, penting pula bagi masyarakat untuk turut mengembalikan martabat guru. Tidak jarang kita mendengar cerita guru yang diperlakukan kasar oleh orang tua murid atau dilecehkan oleh lingkungan sosialnya. Padahal, guru sedang menjalankan amanat mencerdaskan anak bangsa. Menghormati guru berarti menghormati masa depan kita sendiri.

Pernyataan bahwa guru adalah “beban negara” sesungguhnya lebih mencerminkan miskinnya imajinasi pendidikan di kalangan pengambil kebijakan. Guru bukan beban; mereka adalah jembatan antara masa kini dan masa depan. 

Jika negara terus mengulang retorika keliru ini, maka bangsa hanya akan melahirkan generasi yang pandai berhitung anggaran, tetapi lupa berhitung tentang nilai.

Sejarah membuktikan, peradaban besar runtuh bukan karena kehabisan uang, melainkan karena kehilangan pengetahuan dan moralitas. Dan pengetahuan serta moralitas itu hanya bisa diwariskan melalui tangan seorang guru. Maka, daripada menyebut guru sebagai beban, sudah seharusnya negara mengakui mereka sebagai penopang utama peradaban.