Konflik bersenjata terus merenggut nyawa dan memaksa ribuan warga sipil mengungsi ke hutan, gereja, atau pos darurat. Anak-anak tidak sekolah, ibu hamil tidak bisa berobat, dan masyarakat kehilangan tempat tinggal. Di banyak wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak, dan Puncak Jaya, kehidupan seakan beku dalam ketakutan. Namun di tengah penderitaan ini, para Gubernur, anggota DPRP, dan MRP seperti tidak hadir. Mereka diam, atau setidaknya tidak menunjukkan sikap dan tindakan yang layak disebut kepemimpinan.
Diam mereka adalah bentuk ketidakpedulian. Padahal, pemimpin sejati diuji bukan saat upacara pelantikan atau pidato resmi, tetapi ketika rakyatnya dalam keadaan terdesak dan membutuhkan perlindungan. Rakyat menunggu mereka turun langsung ke lokasi-lokasi konflik, menemui pengungsi, menyuarakan keadilan, dan mendesak penyelesaian yang manusiawi atas konflik yang terus berulang. Namun, hingga hari ini, nyaris tak terdengar suara mereka membela warganya sendiri.
Kondisi pendidikan dan kesehatan pun memburuk di daerah-daerah terdampak. Sekolah tutup, guru dan tenaga medis mengungsi, dan anak-anak Papua kehilangan masa depan. Sementara itu, DPRP belum menunjukkan keberanian politik untuk mendorong kebijakan darurat. MRP, sebagai lembaga kultural, tidak tampak memperjuangkan pemulihan martabat orang Papua di tengah krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung. Mengapa semua memilih diam?
Ketimpangan ekonomi pun terus mencolok. Pemekaran yang dijanjikan akan membuka peluang justru melanggengkan dominasi pihak luar. OAP tetap tersingkir dari akses usaha, pekerjaan, dan hak atas tanah. Program afirmasi jalan di tempat, tanpa strategi nyata untuk memperkuat ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal. Di sisi lain, tanah-tanah adat terus digerogoti proyek investasi, sementara budaya Papua perlahan digerus oleh nilai-nilai luar. MRP tidak bersuara lantang ketika identitas Papua semakin terpinggirkan. Lagi-lagi, diam.
Rakyat Papua kini menanti jawaban dari para pemimpin yang telah mereka percayakan. Bukan dalam bentuk janji baru atau pidato megah, melainkan dalam langkah nyata yang berpihak pada rakyat kecil. Jika suara mereka terus dibungkam oleh ketakutan, dan gerak mereka terbelenggu oleh kenyamanan kekuasaan, maka mereka sendiri yang akan menjauh dari hati rakyatnya. Papua tidak membutuhkan pejabat yang hanya hadir dalam protokol. Papua membutuhkan pemimpin yang berani berdiri, menyuarakan kebenaran, dan setia pada luka bangsanya sendiri. (Editor)