NABIRE, ODIYAIWUU.com — Gelombang penolakan terhadap rencana investasi penambangan emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua Tengah, terus mengalir. Pasca unjuk rasa penolakan rencana tambang tersebut di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Kamis (17/7) lalu, aksi terus berlanjut.
Alasan unjuk rasa penolakan masyarakat dan berbagai elemen di tanah Papua, terutama di Papua Tengah terkait rencana investasi tambang emas di Blok Wabu bukan sekadar kalkulasi keutungan ekonomi yang menggiurkan.
“Aksi penolakan masyarakat dan berbagai elemen di Papua Tengah dan tanah Papua umumnya bertolak dari kesadaran terkait ancaman fundamental terhadap keberadaan masyarakat adat dan tanah komunitas suku-suku pemilik ulayat serta trauma kolektif masyarakat lokal,” ujar tokoh masyarakat Papua Yakobus Dumupa di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Sabtu (19/7).
Selain itu, gelombang unjuk rasa penolakan masyarakat dan berbagai elemen berlakangan bertolak dari kesadaran kolektif bahwa investasi tambang lebih banyak mudarat dibanding manfaat. Aksi unjuk rasa atau protes menolak rencana penambangan emas di Blok Wabu bukan tanpa dasar.
Yakobus menegaskan, aksi unjuk rasa adalah ekspresi kecemasan, trauma kolektif mengingat masa depan masyarakat serta tanah adat, hutan, kebun, dan tanamannya akan berada dalam intaian bencana kerusakan lingkungan dan potensi kehilangan tanah adat warisan turun-temurun.
“Penolakan mereka terhadap rencana penambangan emas di Blok Wabu bukan sekadar protes tanpa dasar. Ini adalah jeritan hati masyarakat yang melihat masa depan mereka terancam, ditambah lagi dengan ingatan pahit atas apa yang sudah terjadi selama ini di tanah Papua,” ujar Yakobus.
Yakobus, intelektual muda yang mendalami studi sosial dan budaya Papua menjelaskan, kehidupan masyarakat adat di sekitar Blok Wabu sangat bergantung pada alam untuk kelangsungan hidup. Hutan, sungai, dan pegunungan bagi masyarakat bukan sekadar sumber daya yang menafkahi kehidupan mereka setiap hari.
“Alam dan kekayaan yang tersimpan dalam perut bumi Blok Wabu adalah ibu yang melahirkan, nadi kehidupan, identitas budaya, pondasi kepercayaan, dan kearifan lokal yang melekat dan warisan leluhur yang akan dinikmati manusia setempat lintas generasi,” ujar Yakobus, mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua.
Intelektual muda lulusan Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta menegaskan, ketika tambang masuk, yang hilang bukan hanya pohon atau air yang tercemar.
Bahkan kebun, tempat berburu, obat-obatan tradisional serta situs-situs sakral leluhur akan lenyap. Kehadiran investasi tambang juga akan memutus rantai kehidupan, pengetahuan, dan kearifan lokal (local wisdom) serta terjadinya keretakan relasi dan kohesi sosial di tengah masyarakat adat Intan Jaya.
Yakobus menegaskan, publik mesti paham. Penolakan masyarakat dan berbagai elemen berpijak pada trauma masyarakat Intan Jaya dan Papua selama ini. Masyarakat tentu tidak alpa ingat bagaimana eksploitasi tambang skala besar di masa lalu seperti PT Freeport Indonesia.
Anak usaha raksasa tambang dunia yang berbasis di Amerika Serikat ini, kata Yakobus, telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang masif, dugaan pelanggaran hak asasi manusia serta perubahan sosial yang merugikan masyarakat adat.
“Masyarakat Intan Jaya memiliki trauma mendalam dengan pola eksploitasi tambang yang rakus air dan hutan serta lahan. Masyarakat selalu belajar dari pengalaman pahit PT Freeport Indonesia, di mana kekayaan alam mereka dikeruk habis, tetapi yang tersisa bagi mereka adalah kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan dan pelanggaran HAM yang belum tuntas,” tegas Yakobus, mantan anggota Majelis Rakyat Papua.
Di samping itu, kehidupan masyarakat Intan Jaya juga tak pernah lepas dari bayang-bayang konflik bersenjata berkepanjangan. Kekerasan dan penindasan yang timbul akibat perseteruan antara TNI-Polri dan TPNPB OPM telah meninggalkan luka batin mendalam.
“Ditambah lagi, masyarakat Intan Jaya hidup dalam tekanan akibat konflik bersenjata. Mereka trauma dengan segala bentuk penindasan, kekerasan, dan pengungsian yang terjadi akibat bentrokan antara TNI-Polri dan TPNPB OPM. Tambang baru hanya akan menambah kompleksitas masalah keamanan dan memperparah penderitaan rakyat,” ujar Yakobus.
Oleh karena itu, ujarnya, keberadaan tambang di Blok Wabu dikhawatirkan memicu kembali siklus kekerasan dan ketidakstabilan, membuat masyarakat semakin terhimpit di antara kepentingan ekonomi dan keamanan di satu sisi dan kedamaian serta persaudaraan di antara masyarakat di sisi lain.
“Mereka tidak ingin sejarah kelam itu terulang di Blok Wabu. Mereka tidak ingin anak cucu mereka kehilangan tanah, identitasnya, dan terus hidup dalam ketakutan karena investasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Bumi Papua ini adalah ibu mereka, bukan sekadar komoditas tambang,” kata Yakobus, penulis puluhan buku.
Sebagai mantan pemimpin daerah dan anggota legislatif adat, Yakobus menegaskan bahwa pemerintah wajib mendengarkan aspirasi masyarakat Intan Jaya sebagai pemilik sah tanah ulayat Blok Wabu. Baginya, keputusan sebesar ini tidak bisa diambil secara sepihak tanpa partisipasi dan persetujuan mereka.
“Pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat Intan Jaya sebagai pemilik tanah ulayat Blok Wabu. Tanah itu adalah warisan leluhur mereka, bukan milik negara semata yang bisa dengan mudah diserahkan kepada perusahaan,” ujar Yakobus.
Yakobus juga menekankan, jika pun ada niat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan dengan persetujuan penuh dari masyarakat adat. “Kalaupun mau melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang emas, terlebih dahulu wajib dibicarakan secara terbuka dengan masyarakat. Tidak seperti pencuri yang datang diam-diam untuk merampok. Hak atas informasi, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk memberikan atau menolak persetujuan harus dihormati sepenuhnya,” kata Yakobus.
Yakobus menegaskan, pemerintah harus mendengarkan suara rakyat, bukan hanya melihat potensi keuntungan dari perut bumi Papua. Hak untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan lestari adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar.
Ia juga meminta pemerintah pusat mempertimbangkan kembali rencana penambangan di Blok Wabu demi keberlangsungan hidup masyarakat, kelestarian alam, dan penyembuhan trauma kolektif di tanah Papua.
Wilayah tambang emas Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah sangat besar dan diduga menjadi incaran dan rebutan berbagai korporasi tambang (mining) global dan nasional.
Kandungan sumber daya mineral di Gunung Emas (sebutan lain Blok Wabu) lebih besar dibandingkan Grasberg yang dikelola raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Inc melalui anak usahanya, PT Freeport Indonesia (PTFI).
“Masalahnya, wilayah tambang emas Blok Wabu berada di bawah lokasi yang rendah yang memiliki daya rusak sangat tinggi bagi masyarakat lokal dan lingkungan. Tata ruang wilayah itu juga tidak memungkinkan perusahaan mining melakukan eksplorasi sumber daya mineral di wilayah itu,” ujar pengamat tambang nasional Ferdy Hasiman saat dihubungi di Jakarta, Kamis (17/7).
Menurut Ferdy, Blok Wabu merupakan konsesi emas yang dilepas atau diciutkan kepemilikannya oleh PT Freeport Indonesia. Sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, wilayah tambang emas yang telah dilepas asing harus dikembalikan ke negara.
Ferdy mengatakan, oleh karena pengembalian Blok Wabu oleh Freeport sudah dilaksanakan pada 2018, pengelolaannya menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Menurut ketentuan, prioritas tambang pun akan diserahkan kepada BUMN atau BUMD.
“Blok Wabu sudah lama ditunggu prosesnya dan pada 2020, Menteri BUMN Erick Thohir saat itu pernah meminta langsung ke Menteri ESDM bahwa BUMN bersedia dan siap mengelola Blok Wabu,” ujar Ferdy, penulis buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia tahun 2020, Blok Wabu menyimpan potensi sumber daya 117.26 ton bijih emas dengan rata-rata kadar 2,16 gram per ton (Au) dan 1,76 gram per ton perak.
“Nilai potensi tambang emas Blok Wabu setara dengan US$14 miliar atau nyaris Rp 300 triliun dengan asumsi harga emas US$ 1.750 per troy once. Setiap 1 ton material bijih mengandung logam emas sebesar 2,16 gram. Ini jauh lebih besar dari kandungan logam emas material bijih Grasberg milik Freeport Indonesia yang setiap ton materialnya hanya mengandung 0,8 gram Emas,” ujar Ferdy. (*)