Ketua LP3K Papua Elpius Hugi Resmi Tutup Pelatihan Paduan Suara Gregorian dan Lagu Etnik

Ketua LP3K Provinsi Papua Elpius Hugi Resmi Tutup Pelatihan Paduan Suara Gregorian dan Lagu Etnik

Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengembangam Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik (LP3K) Provinsi Papua Elpius Hugi (tengah, baju putih) bersama narasumber dan peserta usai menutup secara resmi kegiatan Pelatihan Paduan Suara Gregorian dan Lagu Etnik bagi para pelatih di Hotel Aston, Jayapura, Papua, Rabu (8/1). Foto: Istimewa

Loading

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Ketua Lembaga Pembinaan dan Pengembangam Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik (LP3K) Provinsi Papua Elpius Hugi, Rabu (8/1) menutup secara resmi kegiatan Pelatihan Paduan Suara Gregorian dan Lagu Etnik bagi para pelatih di Hotel Aston Jayapura. 

Pelatihan yang diikuti para peserta dari berbagai kabupaten seperti Kabupaten Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Sarmi, Keerom, Kota Jayapura, dan Kabupaten Jayapura berlangsung mulai Minggu-Rabu (5-8/1).

Dalam sambutannya saat menutup kegiatan pelatihan, Elpius Hugi menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada peserta yang luar biasa antusias, kompak, dan aktif selama pelatihan berlangsung. 

“Kalian adalah utusan dari masing-masing paroki dan akan kembali ke paroki. Melalui pelatihan ini kita semua harapkan bagaimana agar kita semua bisa menyanyi dengan baik dan benar,” ujar Elpius Hugi melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Kamis (9/1).

Menurut Elpius dasar-dasar musik gregorian dan etnik sudah dimiliki oleh para pelatih. Namun, dengan kehadiran tiga pemateri yang diundang panitia dari Keuskupan Manado masing-masing Allesandro Andriano Egbertus Pinangkaan dan Septina Laiyan serta Abdon Binsei, ilmu yang didapat lebih lengkap lagi. 

Para peserta ini juga berhak mendapatkan sertifikat. Salah satu peserta, Abdon Binsei sebelumnya menyampaikan kesannya selama mengikuti pelatihan khusus lagu Gregorian. Abdon Binsei mengaku hadir sebagai narasumber. 

Meski demikian, ia mengaku pelatihan tersebut menjadi kesempatan emas menambah ilmu dari sharing para peserta. Karena itu ia selalu tekun dan setia menggunakan waktu untuk mengikuti seluruh proses dan dinamika yang terjadi selama pelatihan. 

“Saya tidak pernah menyesal bahwa perjumpaan selama pelatihan sangat bermanfaat. Ada kesan mendalam di mana bahasa Latin itu bukan sebuah Bahasa yang digunakan oleh umum. Tetapi bahasa klasik yang jadi rujukan oleh umum,” ujar Abdon Binsei.

Abdon kepada Allesandro mengaku ia bersama mewakili rekan-rekan peserta mengucapkan terima kasih banyak atas sharing kekayaan rohani yang berasal dari satu kedalaman spiritual yang tinggi terhadap lagu-lagu berbahasa Latin.

Kegiatan hari terakhir diisi pelatihan dengan materi hubungan antara budaya dengan musik atau lagu oleh narasumber Septina Laiyan. Septina menjelaskan, budaya dan musik etnik di Papua memiliki hubungan sangat erat. 

“Musik etnik merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dan budaya yang mencerminkan identitas, nilai, dan kehidupan masyarakat Papua. Cerminan dan tradisi musik etnik Papua seringkali digunakan untuk merepresentasikan identitas masyarakat asli,” kata Septina.

Selain itu, lantunan hingga berbagai alat music seperti tifa, nggong atau pikon dari wilayah Pegunungan Papua. Berbagai alat musik di atas juga merupakan salah satu alat musik khas masyarakat di Keerom atau Mamta serta fu di wilayah Saireri atau jenis bambu di wilayah Sentani.

Alat-alat musik ini dalam konsep ritual adalah benda-benda yang digunakan untuk mengungkapkan rasa hormat, komunikasi, dan relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan.

“Semua alat musik ini biasanya dimainkan dalam acara-acara adat, ritual, keagamaan dan parade budaya sebagai ekspresi atau gambaran nilai-nilai luhur dan tradisi yang diwariskan leluhur turun-temurun,” ujar Septina. Lebih lanjut.

Musik budaya Papua terkait erat dengan alam. Alat musik dibuat menggunakan berbagai bahan alam seperti kayu, bambu, dan kulit Binatang. Bahkan suara dan ritme musik sering meniru suara alam seperti gemuruh air, suara burung atau angin yang disebut soundspace.

“Oleh karena itu menjaga musik etnik di masing-masing wilayah adat merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga keseimbangan dengan alam, manusia, dan pengetahuan hidup,” kata Seprina. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :