OPINI  

Dari Amok ke Amuk Massa: Jalan Sunyi Menuju Perpecahan Negara

Yakobus Dumupa, orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

BUDAYA amok sudah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah yang dipengaruhi tradisi Melayu. Amok dipahami sebagai luapan emosi yang tiba-tiba, tak terkendali, dan sering berujung pada tindak kekerasan. Jika pada level individu sifat ini sudah berbahaya, maka pada level kolektif, ia bisa berubah menjadi “amuk massa” yang dampaknya jauh lebih menghancurkan. Di negara sebesar Indonesia, dengan populasi ratusan juta jiwa dan keragaman etnis, budaya amok yang meledak dalam skala besar berpotensi mengguncang fondasi negara.

Fenomena ini bukan sekadar kemungkinan imajiner. Sejarah Indonesia telah memberi bukti nyata. Amarah rakyat yang terpendam lama bisa meledak dalam bentuk kerusuhan massal, yang kemudian menjadi titik balik perjalanan bangsa. Kerusuhan Mei 1998, misalnya, memperlihatkan bagaimana amarah yang terakumulasi akibat krisis ekonomi, ketidakadilan, dan represi politik, akhirnya meletup menjadi amuk massa yang meluas di Jakarta dan berbagai kota lain. Dampaknya bukan hanya kerugian harta benda dan korban jiwa, tetapi juga kejatuhan rezim yang sudah berkuasa selama lebih dari tiga dekade.

Amuk massa memiliki karakter unik yang membedakannya dari unjuk rasa biasa. Ia lahir secara tiba-tiba, sering tanpa perencanaan matang, dan menyebar secara spontan. Orang-orang yang tadinya hanya penonton bisa terseret arus amarah kolektif, ikut melakukan penjarahan, pembakaran, atau tindak kekerasan lainnya. Ketika massa sudah bergerak dalam keadaan emosional, kontrol rasional hampir hilang sama sekali. Pada titik inilah amuk massa menjadi momok besar bagi pemerintah manapun, sebab sekali meledak, sulit sekali dihentikan.

Dampak langsung dari amuk massa adalah kerusuhan sosial. Toko-toko dijarah, kendaraan dibakar, rumah-rumah dihancurkan, bahkan nyawa manusia melayang. Namun, dampak lebih jauh yang sering diabaikan adalah terkikisnya rasa percaya rakyat terhadap negara. Rakyat melihat negara tidak mampu mengelola konflik, tidak mampu melindungi warganya, bahkan kadang aparat negara ikut menjadi bagian dari kekerasan. Akibatnya, jurang ketidakpercayaan semakin lebar, dan amuk massa berikutnya hanya tinggal menunggu momentum.

Indonesia adalah negara dengan tingkat keragaman tinggi. Ada ratusan suku bangsa, berbagai agama, dan identitas lokal yang sangat kuat. Dalam kondisi normal, keragaman ini adalah kekayaan yang patut dirayakan. Tetapi dalam situasi amuk massa, keragaman bisa berubah menjadi bahan bakar yang memperbesar api. Amarah ekonomi atau politik mudah berubah menjadi kebencian etnis atau agama. Satu kasus sederhana bisa melebar menjadi konflik antar-kelompok. Inilah yang pernah terlihat dalam konflik Ambon, Poso, atau Sampit, di mana kekerasan massal meluas dengan balutan identitas, sehingga dampaknya jauh lebih sulit dipadamkan.

Yang lebih berbahaya, amuk massa di Indonesia sering kali memunculkan konflik horizontal yang berkepanjangan. Ketika dua kelompok atau lebih sudah saling berhadapan, dendam sosial terbentuk. Dendam ini tidak hilang meski kerusuhan mereda, tetapi tersimpan dalam ingatan kolektif, siap meledak lagi di masa depan. Dengan demikian, amuk massa tidak hanya menciptakan kerusakan sesaat, tetapi juga menanam benih perpecahan jangka panjang.

Selain itu, amuk massa juga bisa mengguncang stabilitas politik nasional. Dalam sistem demokrasi, stabilitas sangat penting untuk menjaga jalannya pemerintahan. Jika amuk massa terjadi berulang kali, kepercayaan terhadap sistem politik bisa runtuh. Rakyat tidak lagi percaya pada pemilu, pada partai politik, atau pada pemerintah yang berkuasa. Krisis legitimasi ini bisa menjadi awal dari keruntuhan negara. Bukan tidak mungkin, rakyat di berbagai daerah merasa lebih baik berdiri sendiri daripada terus menerus dikhianati oleh pemerintah pusat yang tidak mampu menjaga keadilan.

Bahaya terbesar dari amuk massa adalah potensi disintegrasi bangsa. Indonesia berdiri di atas fondasi persatuan dalam keberagaman. Namun, fondasi ini tidak sepenuhnya kokoh. Pulau-pulau besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua memiliki identitas lokal yang kuat, bahkan dalam sejarahnya pernah memiliki pengalaman berbeda dengan pusat kekuasaan di Jawa. Jika amuk massa besar terjadi dan pemerintah pusat dianggap gagal mengendalikan keadaan, bukan mustahil muncul desakan untuk melepaskan diri. Disintegrasi bisa menjadi kenyataan.

Sejarah dunia sudah menunjukkan hal ini. Uni Soviet pecah menjadi belasan negara setelah rakyat di berbagai republiknya tidak lagi percaya pada Moskow. Yugoslavia hancur berkeping-keping setelah konflik etnis dan politik menyulut perang saudara. Sudan terbelah menjadi Sudan dan Sudan Selatan setelah konflik yang tak kunjung usai. Semua kasus ini menunjukkan bahwa ketika amuk massa dan konflik sosial tidak terkendali, harga yang harus dibayar adalah hilangnya keutuhan negara.

Indonesia dengan luas wilayah dan keragaman yang dimiliki memiliki kerentanan serupa. Jika amuk massa meluas dan tidak ada kepercayaan terhadap pemerintah, bayangan perpecahan bukanlah hal mustahil. Setiap daerah bisa mencari jalannya sendiri, terutama jika mereka merasa lebih mampu bertahan tanpa campur tangan pusat. Dengan demikian, amuk massa bukan hanya ancaman terhadap ketertiban umum, tetapi juga ancaman eksistensial terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih jauh, amuk massa juga dapat melemahkan posisi Indonesia di dunia internasional. Sebagai negara besar, Indonesia dipandang sebagai salah satu pemain penting di kawasan Asia Tenggara. Namun, jika negara ini diguncang oleh kerusuhan massal yang berulang, kepercayaan internasional akan luntur. Investor asing kabur, hubungan diplomatik terganggu, dan Indonesia kehilangan pengaruhnya di kancah global. Kondisi ini akan mempercepat kemunduran ekonomi, yang pada gilirannya kembali memicu kekecewaan rakyat, menciptakan lingkaran setan kekerasan dan kehancuran.

Amuk massa, dengan demikian, adalah ancaman berlapis. Ia merusak tatanan sosial, memperdalam konflik horizontal, melemahkan legitimasi politik, membuka pintu disintegrasi, dan menghancurkan posisi Indonesia di mata dunia. Semua ini berakar dari budaya amok yang sudah melekat dalam masyarakat, yang menjadikan rakyat Indonesia cenderung meluapkan amarahnya secara kolektif dan destruktif ketika merasa kecewa.

Jika suatu hari amuk massa besar terjadi lagi, akibat paling fatal yang bisa dibayangkan adalah terpecahnya Indonesia menjadi beberapa negara. Pulau-pulau besar akan berdiri sendiri, mungkin dengan identitas nasionalnya masing-masing. Jawa akan menjadi satu negara, Sumatra negara lain, Kalimantan berdiri sendiri, Papua berpisah, begitu juga Maluku dan Sulawesi. Bayangan ini terdengar menakutkan, tetapi bukan mustahil jika budaya amok dibiarkan terus menjadi mekanisme utama rakyat dalam meluapkan kekecewaannya.

Indonesia berdiri di atas fondasi rapuh yang bisa goyah jika amuk massa meledak di berbagai penjuru. Sejarah, kondisi sosial, dan keragaman identitas menunjukkan bahwa potensi itu nyata. Dan sekali perpecahan terjadi, sangat sulit membayangkan Indonesia bisa kembali seperti semula. Inilah potret gelap yang harus selalu disadari: budaya amok yang melekat dalam masyarakat Indonesia bukan hanya fenomena kultural, tetapi juga ancaman serius bagi kelangsungan negara.