Pasang Bongkar Kebijakan Jakarta Membangun Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Pasang Bongkar Kebijakan Jakarta Membangun Papua

Pasang Bongkar Kebijakan Jakarta Membangun Papua. Gambar Ilustrasi: Dok. Odiyaiwuu

Loading

SELAMA lebih dari dua dekade, pemerintah pusat silih berganti meluncurkan program untuk membangun Papua—mulai dari Otonomi Khusus (Otsus), pemekaran wilayah, proyek infrastruktur, pendekatan keamanan, hingga pembentukan lembaga-lembaga khusus. Namun, hasilnya masih jauh panggang dari api. Papua tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan, ketimpangan, konflik bersenjata, dan keterbelakangan pembangunan. Negara seperti belum benar-benar tahu apa yang sedang dan seharusnya dibangun di Tanah Papua.

Sejak Otsus diberlakukan pada 2001, Papua telah menerima lebih dari Rp 138 triliun. Namun, aliran dana besar ini belum mengubah realitas masyarakat asli Papua (OAP). Angka kemiskinan tetap tinggi, stunting dan pengangguran menjadi masalah struktural, dan ketimpangan antardaerah terus melebar. Dana Otsus banyak yang tersedot untuk belanja birokrasi dan dinikmati elite lokal. Pembangunan yang dimaksud tidak pernah benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat akar rumput.

Di masa Presiden SBY, pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Perpres No. 65 Tahun 2011. Lembaga ini sempat digadang-gadang sebagai “komando pembangunan Papua”, tetapi hanya berumur pendek dan dibubarkan pada 2014. Minim kewenangan, miskin keterlibatan masyarakat, serta orientasi administratif membuatnya gagal menjawab tantangan pembangunan Papua.

Tak jauh berbeda, di era Presiden Jokowi, lahir Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) melalui revisi UU Otsus tahun 2021. Namun sejak berdiri, lembaga ini belum menunjukkan capaian berarti. Program-programnya tidak terintegrasi dengan kebutuhan lokal, dan bahkan belum dikenal luas oleh masyarakat Papua sendiri. Kinerja BP3OKP kini mulai dipertanyakan: apakah akan menjadi solusi, atau hanya pengulangan kegagalan?

Di bidang infrastruktur, proyek jalan Trans‑Papua dibangun sepanjang ribuan kilometer dengan harapan membuka isolasi. Namun, proyek ini menimbulkan konflik lahan, deforestasi, dan hanya mempercepat arus masuk investor luar tanpa membangun basis ekonomi lokal OAP. Sementara itu, program food estate di Merauke yang dijalankan TNI justru bertabrakan dengan realitas lokal: tanah yang tidak cocok untuk jagung, minim pendampingan teknis, serta perlawanan masyarakat adat yang kehilangan hutan sagu mereka.

Pemekaran wilayah pun tidak membawa harapan baru. Provinsi-provinsi baru yang dimekarkan sejak 2022 justru menghadirkan birokrasi baru dan konflik penentuan ibu kota. Pelayanan publik tak kunjung membaik, sementara anggaran kembali habis untuk membangun kantor dan struktur pemerintahan.

Lebih ironis, pendekatan keamanan terus mendominasi. Ribuan personel TNI dan Polri dikirim ke Papua, tetapi yang terjadi justru peningkatan kekerasan dan pelanggaran HAM. Pendekatan ini menciptakan ketakutan, bukan kepercayaan. Rakyat Papua semakin menjauh dari negara.

Rangkaian kegagalan ini menunjukkan bahwa Jakarta belum memiliki model pembangunan yang benar-benar memahami Papua. Pendekatan simbolik, birokratis, dan sentralistik terbukti tak relevan. Yang dibutuhkan adalah pengakuan terhadap hak-hak OAP, pelibatan penuh masyarakat adat, pembangunan berbasis budaya lokal, serta transparansi dan akuntabilitas anggaran.

Tanpa perubahan paradigma, kebijakan pembangunan Papua hanya akan terus bersifat pasang bongkar. Dan selama itu pula, rakyat Papua tetap menjadi korban dari kebingungan negara yang tak kunjung selesai memahami luka dan harapan mereka. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :