DI BERBAGAI forum diskusi, seminar, dan ruang publik di Papua, kita sering menjumpai individu yang tampaknya fasih berbicara, mengutip teori-teori besar, dan menampilkan diri sebagai intelektual. Namun, jika ditelisik lebih dalam, banyak dari mereka yang hanya berhenti pada tataran retorika, tanpa gagasan yang benar-benar matang dan solusi yang konkret. Fenomena ini bukan hanya menjadi perbincangan ringan, tetapi juga kritik serius terhadap kualitas intelektual sebagian kalangan terpelajar di Papua.
Tidak dapat disangkal bahwa Papua memiliki banyak lulusan perguruan tinggi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, banyak di antara mereka yang lebih sibuk berbicara daripada berpikir. Alih-alih menggali akar persoalan dan menawarkan solusi berbasis data, mereka lebih gemar berdebat di media sosial, berorasi dalam seminar, atau membangun citra sebagai pemikir tanpa memberikan kontribusi nyata. Akibatnya, wacana intelektual di Papua sering kali menjadi arena pameran kata-kata yang kosong, bukan ajang pertukaran gagasan yang mencerdaskan.
Salah satu indikator nyata dari “kelebihan bicara, kekurangan pikiran” ini adalah minimnya penelitian dan kajian ilmiah yang benar-benar aplikatif bagi pembangunan Papua. Banyak orang berpendidikan yang seharusnya mampu melakukan riset untuk memperkuat kebijakan berbasis bukti, tetapi justru terjebak dalam wacana tanpa substansi. Mereka lebih tertarik pada diskusi panjang yang hanya berputar pada kritik tanpa menawarkan solusi. Akibatnya, isu-isu strategis seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat tetap stagnan karena kurangnya pemikiran berbasis solusi.
Kritik ini bukan untuk merendahkan orang-orang berpendidikan di Papua, tetapi untuk mengajak mereka melakukan refleksi. Pendidikan bukan sekadar memperoleh gelar, tetapi bagaimana ilmu yang dimiliki bisa berdampak bagi masyarakat. Orang terdidik seharusnya menjadi penggerak perubahan, bukan sekadar komentator sosial yang hanya mahir mengkritik tanpa berbuat sesuatu.
Papua membutuhkan lebih banyak pemikir yang benar-benar bekerja, bukan hanya berbicara. Kita butuh intelektual yang mau turun ke lapangan, melakukan riset yang serius, dan merancang solusi yang realistis. Jika kelebihan bicara tidak diimbangi dengan kedalaman berpikir, maka keberadaan kaum terpelajar di Papua hanya akan menjadi pajangan akademik tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma ini. Bukan hanya berbicara soal Papua, tetapi juga berpikir dan bertindak untuk Papua. Sebab, kecerdasan sejati bukan diukur dari seberapa banyak kata yang keluar dari mulut kita, tetapi dari seberapa besar dampak pemikiran kita bagi kemajuan masyarakat. (Editor)