JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Tim Advokasi Forum Komunikasi Komunitas Flobamora (FKKF) Jabodetabek, Selasa (11/2) menemui Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia di Jakarta.
Tim Advokasi untuk Keuskupan Maumere, Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, menjelaskan kembali duduk soal sebenarnya tanah Nangahale milik keuskupan berdasarkan data yuridis dan data fisik.
Dalam pertemuan tersebut Mugiyanto didampingi Direktur Pengaduan HAM Osbin Samosir dan Staf Khusus Menteri HAM Bidang Hubungan Antarlembaga dan Internasional Stanislaus Wena. Sementara Tim Advokasi dipimpin Ketua Umum FKKF Marsel Ado Wawo, SH dan Ketua Dewan Pembina dan advokat senior Petrus Selestinus, SH.
Marsel di awal pertemuan menjernihkan informasi yang menyesatkan dan laporan palsu bahwa Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama melanggar HAM saat pembersihan lahan HGU PT Krisrama di Nangahale. Berita yang tersiar menuding perusahaan milik keuskupan telah ‘menggusur rumah-rumah warga di tanah masyarakat adat’ sebagai tindakan melanggar HAM.
“Kami mengapresiasi Kementerian HAM yang mau menerima kami. Kami datang mau menjelaskan legal standing yang sebenarnya, status hukum tanah hak guna usaha (HGU) yang sudah diberikan negara kepada PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere,” ujar Marsel melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (12/2).
“Kami datang ke sini untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terkait legal formil, legal standing dari tanah HGU PT Krisrama. Kalau menyangkut tanah, kami memberikan data yuridis dan data fisiknya, dua hal pokok yang sangat penting di bidang pertanahan. Tanah ini diduduki orang lain. Mereka melanggar hukum tetapi minta keadilan. Ini tak masuk akal,” kata Marsel.
Marsel mengatakan, terkait gambaran sejarah perolehan dan status hukum tanah disampaikan Agustinus Dawarja SH, advokat dari LexRegis-Agustinus Dawarja & Partners, yang bergabung dalam Tim Advokasi FKKF Jabodetabek.
Menurut Dawarja, tanah tersebut semula dikuasai oleh perusahaan Belanda, Amsterdam Soenda Compagni dengan surat Keputusan Residence Timor en Onder Hoorigheden tanggal 11 September 1912 Nomor 264. Luas seluruhnya lebih kurang 1.438 hektar.
Pada tahun 1926 tanah tersebut dijual oleh Perusahaan Belanda dan dibeli oleh Apostolik Vikariat Van De Klanis Soenda Eilanden dengan harga (waktu itu) F. 22.500 gulden. Pada 16 Desember 1956 Vikariat Apostolik Ende (VAE) melepaskan sebagian tanah dengan luas 783 hektar kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk kepentingan masyarakat sebagaimana termuat dalam surat VAE No. 981/V/56.
Kemudian dengan diberlakukannya UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, terbitlah Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak-hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat.
Karena itu, VAE yang kala itu telah menjadi Keuskupan Agung Ende selaku pemegang konsesi mengajukan permohonan HGU atas tanah perkebunan kelapa Nangahale. Oleh karena tanah dengan luasan yang demikian tidak bisa dimiliki orang perorangan tetapi badan usaha, maka dibentuklah PT DIAG (Dioses Agung Ende).
Pada 5 Januari 1989 PT DIAG mendapatkan HGU dari Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4/HGU/89 hak pengelolaan selama 25 tahun dengan Sertifikat No. 3 / 1993 dan berakhir pada 31 Desember 2013. Pada diktum ketiga huruf F dinyatakan bahwa HGU dimaksud dapat diperpanjang dengan jangka waktu 25 tahun.
Sebelum berakhirnya izin HGU, PT Krisrama telah mengajukan perpanjangan izin HGU kepada Kementerian ATR/BPN. Dalam proses itu, PT Krisma menyatakan mengembalikan hampir 500 hektar kepada negara. Sebelumnya, awal 1993, tanah seluah 29 hektar sudah dilepas kepada Pemda Sikka untuk diberikan kepada pengungsi korban gempa dan tsunami.
Dalam proses itu, ada masyarakat yang menamakan dirinya sebagai “masyarakat adat” berupaya mengokupasi tanah tersebut dengan membangun pondok dan rumah. Pemerintah bersama PT Krisma berulang kali berupaya menyelesaikan masalah tersebut, tetapi tidak pernah dihiraukan oleh para penyerobot.
Pada 8 Juni 2021, Tim Terpadu Penyelesaian Tanah Eks HGU Nangahale mengeluarkan keputusan bahwa tanah Nangahale bukan tanah adat atau tanah masyarakat adat. Di wilayah Sikka tidak ada tanah ulayat dan masyarakat adat. Tanah Nangahale, dengan merujuk pada UUPA No.5/1960 adalah tanah HGU yang diberikan pemerintah dan kemudian diterbitkan sertifikat HGU.
“Karena sudah mengantongi sertifikat HGU ketika ada penyerobotan maka dilakukan penertiban atau pembersihan lahan. Di lahan HGU itu ada puluhan pondok darurat dan hanya satu rumah semi permanen. Itulah yang dibersihkan. Tidak ada rumah penduduk, yang ada adalah pondok-pondok untuk basecamp klaim mereka. Penyerobotan adalah bukti kejahatan,” kata Gusti.
Video yang beredar luas menunjukkan, satu rumah semi permanen sedang dirobohkan. Menurut Gusti, itu adalah rumah aktivis LSM Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Flores Bagian Timur. Aktivis LSM sengaja membangun satu rumah semi permanen dan mengundang media merekamnya, seolah-olah seluruhnya rumah seperti itu. “Padahal selebihnya adalah pondok darurat. “Penyerobotan adalah kejahatan,” ujar Gusti.
Menurut Gusti, seharusnya kelompok aktivis AMAN tidak boleh menghasut warga membangun basecamp untuk menduduk lahan 380 hektar yang jelas-jelas milik HGU PT Krisrama. “Seharusnya mereka mendorong Pemkab Sikka atau BPN untuk segera mendistribusikan tanah 500 hektar yang sudah dilimpahkan ke pemerintah untuk didistribusikan kepada warga,” kata Gusti.
Tim Advokasi FKKF menegaskan, PT Krisrama memiliki legal standing, data yuridis yang kuat. Selain itu, PT Krisrama juga memiliki bukti atau data fisik yang juga kuat seperti menguasai dan tidak menelantarkan lahan, perkebunan kelapa tetap produktif, karyawan atau pekerja serta perusahaan tetap bekerja produktif. “PT Krisrama aktif menguasai dan mengelola lahannya,” kata Gusti.
Ada tudingan, PT Krisrama melanggar HAM ketika ‘menggusur rumah-rumah warga’ beberapa waktu lalu. Tim Advokasi FKKF membantahnya. “Tidak ada pelanggaran HAM, yang ada penyerobotan, perbuatan melawan hukum,” kata Paskalis Askara da Cunha, SH dari tim advokasi. Dari penjelasan itu, Kementerian HAM diharapkan memahami bahwa tidak ada pelanggaran HAM.
Penyerobotan dilakukan oleh sekelompok warga yang diduga kuat dihasut oleh oknum aktivis LSM masyarakat setempat. Mereka memainkan isu ‘tanah ulayat’ dan ‘masyarakat adat’. Padahal di wilayah Sikka tidak dikenal apa yang disebut ‘masyarakat adat, tanah adat, atau tanah ulayat’ sebagaimana telah disampaikan oleh tim terpadu Pemkab Sikka.
Marsel menambahkan, pada saat perusahaan Belanda menjual ke Vikariat Apostolik Sunda Kecil (yang kemudian menjadi Vikariat Apostolik Ende, lalu terakhir menjadi Keuskupan Agung Ende) pada 1926, luas seluruhnya sekitar 1.500 hektar. Namun pada 1957, Vikariat Apostolik Ende menyerahkan ke Pemerintahan Swapraja Sikka, 750 hektar. Setelah tsunami Flores 1992, diserahkan lagi 29 hektar.
“Penyerahan ketiga, yang terakhir adalah 500 hektar. Jadi, sudah tiga kali keuskupan menyerahkan tanah kepada negara untuk didistribusikan kepada warga. Kami menyarankan Pemkab Sikka dan BPN segera mempercepat redistribusi kepada warga dan langsung penegakan hukum serta memberikan perlindungan hukum kepada Keuskupan Maumere,” kata Marsel.
“Jangan sampai Keuskupan Maumere dituding sebagai oligarki yang melanggar HAM. Ini kan tidak benar,” kata Marsel lagi, yang lalu disambut Mugiyanto dengan sebuah penegasan, ”Padahal yang melanggar sebenarnya umatnya”. Marsel mengamini, “Iya, betul.”. Marsel melanjutkan, “Kami tidak meminta pembelaan dari Kementerian HAM, tetapi meminta untuk mendudukan kasus dengan benar, sesuai aspek legal untuk memberikan edukasi kepada warga.”
Mugiyanto mengatakan, ia mengharapkan kasus ini segera selesai. Justru karena aspek HAM-lah kasus ini seharusnya selesai, tidak boleh ada pihak mana pun yang mengeksploitasi HAM. “Sebaliknya, tidak boleh memanipulasi HAM. Secara prinsip, kita harus menghormati HAM itu clear. Kita harus menghormati masyarakat adat, itu clear, tetapi harus dengan cara yang benar,” ujar Mugiyanto.
Menurut Mugiyanto, Kementerian HAM akan datang jika diperlukan hadir di lokasi di Nangahale. Tujuannya, untuk memfasilitasi menuju penyelesaian. HAM itu berdiri di atas semua pihak. Pihaknya juga mengapresiasi Tim Advokasi FKKF yang menyampaikan informasi penting agar kementerian tidak salah dalam mengambil sikap.
Pengacara senior Petrus Selestinus dalam pertemuan tersebut memberikan sebuah pernyataan penutup yang penting. Kata Petrus, sebenarnya LSM AMAN yang diduga menghasut warga untuk menduduki lahan perkebunan PT Krisrama. Langkah itu dimotori seorang oknum aktivis berinisial JB yang telah memberikan data-data palsu tentang pelanggaran HAM ke Kementerian HAM.
“Pengaduan JB ke Wamen Mugiyanto sebelumnya sangat mendiskreditkan Keuskupan Maumere. Sebenarnya apa yang dilakukannya adalah semata-mata untuk kepentingan pribadi. Masyarakat setempat sebenarnya sudah tidak mengenal lagi apa yang disebut masyarakat adat dan tanah adat atau tanah ulayat,” kata Petrus. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)