Oleh Pastor Daniel Gobay, OFM
Imam Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua
GEREJA Katolik memiliki Paus, merujuk A. Sullivan dalam New Catholic Encyclopedia, vol. XI, ed. WJ MC Donald, dkk terbitan The Catholic University of America (1981), sebagai pemimpin tertinggi. Secara etimologis, kata “Paus” berasal dari bahasa Latin, papa, yang diambil dari bahasa Yunani παπας (pappas).
Awalnya dalam bahasa Yunani Kuno, kata ini digunakan sebagai sebutan seorang anak kecil untuk memanggil ayah. “Papa” dan “papas” muncul dalam tulisan Kristiani sejak awal abad III sebagai sebuah gelar yang digunakan oleh para Uskup, yang memberi kesan jiwa kebapakan mereka.
Mulai dari abad III sampai abad V nama itu digunakan pada semua uskup di Gereja Timur, tapi pada abad VI nama Paus mulai digunakan bagi Uskup-uskup Roma. Praktek pembatasan gelar bagi Uskup-uskup Roma sudah menjadi umum dalam Gereja Barat sejak abad VIII (A. Sullivan, 1981).
Annuario Pontificio menggambarkan jabatan Paus dalam banyak gelar, yaitu “Uskup Kota Roma, wakil Yesus Kristus, Pengganti Pemimpin Para Rasul, Pemimpin tertinggi dari Gereja Universal, Uskup Agung dan Metropolitan Provinsi Roma, dan Penguasa Negara Kota Vatikan.
Meskipun demikian, dasar dari gelar-gelar itu hanya satu, yaitu sebagai penerus pemimpin Para Rasul. Oleh karena itu, Paus sebagai Uskup Kota Roma dan penerus posisi Petrus sebagai pemimpin para rasul dan kepala seluruh Gereja yang tampak, adalah pemimpin tertinggi Gereja Universal.
Sedangkan gelar terakhir dalam petunjuk resmi kepausan didasarkan pada hukum Lateran, yaitu kota Vatikan diakui oleh orang-orang Italia sebagai sebuah tempat pemerintahan tertinggi, dengan Paus sebagai pemimpinnya.
Sosok menarik
Sebagaimana penjelasan di atas mengenai Paus, sebagai umat Katolik masa kini sejarah Paus sudah berjalan ribuan tahun dan tetap terjaga dengan kekhasannya dalam menjaga iman Katolik yang percaya pada Yesus Kristus.
Maka amat menarik bagi saya untuk lebih mengenal salah satu Paus yang sempat mengemparkan Vatikan dan umat Gereja Katolik seluruh dunia atas pengunduran dirinya dari jabatan sebagai Paus karena alasan kesehatan. Tentunya sosok ini menjadi kenangan tersendiri bagi saya dan umat Katolik di dunia.
Sejak 19 April 2005 terpilihnya Joseph Aloisius Ratzinger dan dilantik sebagai Paus dengan gelar nama sebagai Benediktus XVI. Ia menjabat sebagai pemimpin teringgi Gereja Katolik selama hampir delapan tahun, dari tahun 2005 hingga pengunduran dirinya pada tahun 2013, ia telah menerbitkan Ensiklik Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih).
Ia memulai dokumennya, Deus Caritas Est berdasarkan kutipan dari 1 Yohanes 4:16: “Allah adalah Kasih, dan barang siapa tetap berada di dalam kasih, ia tetapi berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” Kemudian ia juga pernah menyampaikan gagasannya mengenai iman dan akal budi dalam sebuah kuliah seminar yang berjudul Faith, Reason dan The University.
Kurang lebih sekitar tanggal 12 September 2006 di Universitas of Regensburg, Paus Benediktus pernah menyampaikan gagasannya mengenai iman dan akal budi dalam sebuah kuliahnya dan memberi materi yang berjudul Faith, Reason and The Univerisity Memories and Reflections.
Saya sangat terkesan dengan materi tersebut bahwa gagasan yang menjadi inti dari kehidupan Iman umat katolik karena gagasannya mau mengungkapkan suatu refleksi bahwa bagaiman iman Kristiani memahami hal ini, tantangan apa yang dihadapinya dan bagaimana Gereja menanggapinya.
Perkuliahan yang ia berikan di University of Regensburg mengingatkannya dengan masa-masa ketika ia mendapatkan tugas mengajar di University of Bonn. Di University of Bonn, ada dua Fakultas Teologi yaitu Fakultas Teologi Katolik dan Fakultas Teologi Kristen Protestan. Keduanya mengajukan pertanyaan rasional pada iman. Ketika keduanya menemui perbedaan dalam iman, keduanya mengacukannya pada akal budi yang satu.
Walaupun demikian, ada pula suara skeptis yang menyatakan bahwa keduanya sama-sama menelaah sesuatu yang tak ada. Berhadapan dengan hal itu, Paus Benediktus menyikapinya secara bijak: perlu dihadapi dan tetap memandang bahwa mempertanyakan Allah dalam kaitannya dengan tradisi iman Kristiani adalah sesuatu yang rasional.
Dari sikap yang diungkapkan oleh Paus Benediktus XVI ini tampaklah bahwa ia hendak menunjukkan betapa penting bagi manusia zaman ini untuk membicarakan dan mempertanyakan tentang Tuhan dengan akal budi.
Memori itu muncul ketika ia membaca bagian dialog yang diterbitkan oleh Prof Theodore Khoury. Dialog itu memuat percakapan antara Kaisar terpelajar Manuel II Palaeologos dari Byzantium (yang dibesarkan dalam filsafat Yunani) dan sang bijak dari Persia. Tema dari dialog itu adalah seputar agama Kristiani dan Islam serta soal kebenaran keduanya.
“Dialog itu mencakup seluruh lingkup tali temali iman dalam Alkitab dan Al Qur’an serta terutama berkisar tentang citra Allah dan gambaran manusia, tetapi juga tentu saja lagi dan lagi mengenai hubungan antara ketiga “Kitab Hukum” Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Qur’an. (w2.vatican.va).
Dari dialog itu, Paus Benediktus justru mengambil satu bagian menarik yang sesungguhnya tidak menjadi intinya dan yang berkaitan dengan tema ‘Iman dan Akal Budi’. Satu bagian menarik itu adalah pernyataan dari Kaisar Manuel II Palaeologos dari Byzantium soal hubungan agama, penyebaran iman, dan kekerasan.
Pernyataan yang menarik perhatiannya, merujuk w2.vatican.va itu adalah sebagai berikut. Tunjukkanlah, apa hal baru yang dibawa Muhammad dan Anda hanya akan menemukan yang buruk dan tidak manusiawi, seperti bahwa ia memerintahkan agar iman yang diwartakannya disebarluaskan dengan pedang.
Allah tidak menyukai darah dan bertindak tidak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah. Iman itu buah jiwa, bukan dari tubuh. Maka siapa yang mau menyuruh orang untuk beriman, memerlukan kemampuan untuk menggunakan argumentasi yang baik dan cara berpikir yang benar, bukan kekuatan dan ancaman.
Untuk meyakinkan seseorang yang rasional, diperlukan bukan lengan atau alat pemukul atau sesuatu alat, yang dapat mengancamkan kematian. Bertindak tidak secara rasional, itu bertentangan dengan kodrat Allah.
Bagi Kaisar, pernyataan itu benar dan rasional. Pernyataan itu ia dasarkan pada kerangka pikirnya sebagai orang yang hidup dalam nuansa filsafat Yunani. Namun, bagi iman Islam —yang terwakili oleh orang bijak dari Persia— pernyataan itu bertentangan dengan apa yang diimaninya. Dalam ajaran Islam, Allah itu mutlak transenden. Kehendak-Nya tidak terikat pada kategori-kategori kita mana pun, termasuk rasionalitas.
Allah adalah Kasih mengacu juga pada iman dan akal budi. Imam tentu mengajarkan kepada umatnya tentang Allah adalah kasih. Umat tentu memiliki iman dan akal budi untuk melihat lebih dekat lagi bahwa Allah mengasihi umat-Nya.
Setiap orang dengan berbagai agama yang ada di belahan dunia ini, tentu memiliki sudut pandang untuk melihat Allah yang diyakininya sebagai kasih yang tiada tara bahkan iman dan akal budi telah mengatarkan kepada keselamatan hidup.
Dengan kematian Paus Benediktus XVI, dunia Katolik telah kehilangan wadah pengetahuan teologis, intelektualisme, dan pengalaman hidup yang tak tertandingi.
Paus Fransiskus menyebut Paus Benediktus XVI sebagai hadiah bagi gereja, sambil menggambarkannya sebagai pria yang mulia dan baik hati serta kasihnya kepada Allah.