JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabumin Raka, Rabu (26/11) menerima Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik (PP PK) Stefanus Asat Gusma, Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana, dan sejumlah pengurus di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat.
“Saya bersama sejumlah rekan pengurus pusat mendampingi Ketum (Ketua Umum Pemuda) mas Gusma tadi (Rabu, 26/11) sekitar pukul 15.00 WIT bertemu Bapak Wakil Presiden,” ujar Melkior Sitokdana dalam keterangannya di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (26/11).
Menurut Melkior, dalam pertemuan dengan Wapres Gibran Rakabuming Raka, Ketum menyampaikan hasil Rapimnas sekaligus berdiskusi beberapa agenda organisasi, termasuk persoalan yang terjadi di tanah Papua.
“Dalam pertemuan itu saya juga menyerahkan hasil rekomendasi Rapimnas terkait sejumlah persoalan yang tengah terjadi di tanah Papua, termasuk persoalan Proyek Strategis Nasional di Merauke dan masalah konflik kekerasan disertai gelombang pengungsian ribuan warga,” kata Melkior, akademisi Universitas Kristen Wacana Salatiga, Jawa Tengah.
Gusma dalam pertemuan tersebut mengatakan, pertemuan tersebut menjadi momentum penting untuk memperkuat kontribusi Pemuda Katolik dalam pembangunan nasional melalui rekomendasi strategis yang dihasilkan dalam Rapimnas, khususnya untuk wilayah Papua.
“Rapimnas I 2025 yang diadakan pekan lalu mempertegas komitmen Pemuda Katolik untuk mengawal isu-isu strategis di masyarakat, khususnya isu Papua, termasuk persoalan tanah adat, pendidikan, dan layanan kesehatan,” kata Gusma.
Selain itu, Gusma juga menyampaikan laporan lengkap mengenai berbagai isu strategis terkait persoalan sosial dan lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat.
“Kami menyampaikan aspirasi masyarakat terkait persoalan lingkungan dan konflik sosial. Pemerintah perlu memastikan kepastian hukum, keadilan ekologis, dan perlindungan masyarakat adat di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Gusma.
Sedangkan Gusma mengatakan, Rapimnas Pemuda Katolik I tahun 2025 yang berlangsung di Bogor, Jawa Barat pada Jumat-Minggu (21-23/11) juga menyoroti berbagai isu di Papua yang membutuhkan penanganan kolaboratif dari berbagai pihak.
Rapimnas selain dihadiri pengurus pusat, juga para Ketua Komisariat Daerah (Komda) Pemuda Katolik seluruh provinsi, pastor moderator dan perwakilan Pasukan Komando Pemuda Katolik (Paskokat) dari seluruh Indonesia.
“Kehadiran mereka menegaskan pentingnya perspektif Papua dalam menyusun strategi nasional, termasuk peran Pemuda Katolik dalam bermitra dengan pemerintah,” ujar Gusma.
Dalam Rapimnas ini, isu prioritas yang dibahas antara lain HAM, hutan adat, sumber daya manusia, lingkungan hidup, stunting, peluang bisnis, disabilitas, literasi dan tata kelola pemerintahan.
Semua pembahasan mengacu pada tema Rapimnas Partisipasi dan Kolaborasi Pemuda Katolik dalam Pembangunan yang menekankan kontribusi Pemuda Katolik dalam menangani persoalan sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan.
“Papua termasuk salah satu perhatian utama kami. Pemuda Katolik harus aktif menjembatani proses pembangunan agar tepat sasaran, adil, dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua,” ujar Gusma.
Sedangkan Melkior menekankan pentingnya peran pemuda dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Papua. Peran Pemuda Katolik sangat strategis dalam menjembatani pemerintah dan masyarakat, agar program pembangunan benar-benar tepat sasaran dan berdampak nyata.
“Kami Gugus Tugas Papua bersama Komda se-tanah Papua siap berkolaborasi dengan pemerintah dan berbagai pihak untuk mendorong percepatan pembangunan di Papua,” kata Melkior lebih lanjut.
Selama tiga tahun terakhir, lanjutnya, Departemen Gugus Tugas Papua aktif menjalankan program edukatif, termasuk literasi digital, literasi menulis, serta advokasi isu sosial, ekonomi dan politik. Pada periode kedua, fokus gerakan diperkuat melalui kolaborasi lintas-sektor yang lebih terukur.
Pemuda Katolik juga berkomitmen memperkuat kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah, salah satunya mendukung Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPPOKP) untuk mendorong percepatan pembangunan Papua secara berkelanjutan.
Meski mendukung pemerintah, Pemuda Katolik tetap memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan yang mengabaikan aspek fundamental dan berpotensi merugikan masyarakat.
“Pemuda Katolik tetap menempatkan diri sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat agar pembangunan Papua berlangsung adil, tepat sasaran, inklusif dan berkelanjutan,” ujar tokoh muda tanah Papua dari Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan
Melkior menjelaskan, berdasarkan kajian Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik, permasalahan di tanah Papua bersifat multidimensi dan saling berkaitan antar berbagai sektor pembangunan. Kompleksitas ini, katanya, menuntut pendekatan yangkomprehensif, kolaboratif dan berkelanjutan.
Menurutnya, berpijak kajian internal Departemen Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik, Dokumen Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) Tahun 2025, serta Aspirasi Pengurus Komda Pemuda Katolik se-tanah Papua, telah diidentifikasi sejumlah isu strategis sebagai dasar penyusunan arah kebijakan dan langkah kerja organisasi.
“Isu-isu tersebut menjadi landasan bagi pengembangan program serta penguatan kerja sama dengan pemerintah dan berbagai mitra, agar setiap intervensi lebih terarah, inklusif, dan efektif,” kata Melkior, mahasiswa Program Doktor Universitas Airlangga (Unair), Surabaya,
Melkior mengatakan, ada sejumlah isu strategis yang dipetakan Gugus Tugas Papua Pemuda Katolik. Pertama, konflik bersenjata dan pelanggaran HAM. Konflik bersenjata yang berkepanjangan di tanah Papua telah menimbulkan berbagai pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil.
Penyelesaian yang adil dan transparan memerlukan kolaborasi lintas pihak, meliputi pemerintah, gereja, masyarakat adat, LSM, serta Pemuda Katolik. Kolaborasi ini penting untuk memutus siklus kekerasan, sekaligus membangun kepercayaan masyarakat dan mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan
Kedua, pengungsian di daerah konflik. Konflik bersenjata terjadi di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, dan Pegunungan Bintang, dan beberapa wilayah lain di tanah Papua.
Aneka konflik tersebut telah menyebabkan pengungsian masyarakat sipil serta hilangnya hak dasar atas pendidikan, kesehatan dan akses ekonomi yang layak. Dampak dari kondisi ini antara lain memperparah trauma sosial dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Penanganan permasalahan tersebut masih terbatas, katanya, karena upaya kolaboratif lintas pihak belum optimal, sehingga diperlukan strategi terpadu yang melibatkan pemerintah, lembaga masyarakat, dan mitra strategis untuk memulihkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, pengabaian hak-hak masyarakat adat. Kebijakan pembangunan, termasuk Proyek Strategis Nasional dan investasi, selama ini kurang dikomunikasikan secara efektif dan belum sepenuhnya mempertimbangkan aspirasi kolektif masyarakat adat.
Berbagai keputusan diambil tanpa persetujuan penuh (free, prior and informed consent/FPIC), sehingga menimbulkan ketimpangan akses terhadap sumber daya, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, serta meningkatkan potensi konflik sosial yang berkelanjutan.
Keempat, ketimpangan ekonomi dan sosial orang asli Papua di wilayah perkotaan. Ketimpangan ekonomi dan sosial di Papua tercermin dari dominasi penduduk non-orang asli Papua (non-OAP) dalam posisi strategis, khususnya di aparatur sipil negara (ASN) dan sektor usaha di wilayah perkotaan. Sebaliknya, partisipasi orang asli Papua, terutama di perkotaan, masih sangat terbatas.
Kondisi ini menegaskan perlunya intervensi melalui kebijakan afirmatif dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) orang asli Papua guna memperkuat daya saing mereka serta mendukung keberlanjutan Pembangunan yang inklusif.
Kelima, keterbelakangan Infrastruktur dan konektivitas. Pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas wilayah, terutama di Papua Pegunungan, masih sangat tertinggal, yang ditandai dengan tingginya harga barang kebutuhan pokok, minimnya akses transportasi, serta ketidakmemadaian fasilitas publik, sehingga ketimpangan tersebut berdampak langsung terhadap akses pendidikan, layanan kesehatan, aktivitas ekonomidan kualitas hidup masyarakat.
Keenam, layanan dasar pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih lemah. Persoalan pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih menjadi isu mendasar yang belum terselesaikan di Papua.
Kondisi ini tercermin dari rendahnya tingkat melek huruf, terbatasnya akses layanan kesehatan serta lemahnya kemandirian ekonomi masyarakat asli Papua yang tertinggal jauh dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Ketujuh, isu demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ruang demokrasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk kebebasan berekspresi, berpendapat, serta melakukan aksi demonstrasi, menyempit akibat pendekatan keamanan yang represif di Papua.
Kondisi ini tidak hanya menghambat partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga memperlemah fungsi kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Kedelapan, rasisme terhadap orang Papua. Rasisme masih menjadi persoalan nyata dalam interaksi sosial baik di Papua maupun di luar Papua, ditandai oleh stigma dan stereotip negatif terhadap orang asli Papua yang berdampak pada terbatasnya akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan layanan publik, serta memicu konflik sosial dan membentuk trauma kolektif.
Kesembilan, korupsi dan tata kelola pemerintahan yang lemah. Praktik korupsi, mismanajemen dan tata kelola pemerintahan yang lemah dan tidak transparan menyebabkan pembangunan di Papua tidak berjalan efektif, sehingga masyarakat tetap berada dalam kondisi kemiskinan dan ketertinggalan meskipun wilayah ini menerima dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar.
Kesepuluh, Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Provinsi Papua Selatan perlu menjadi perhatian negara sekaligus tak tanggal atas aspirasi maupun keluhan komunitas masyarakat adat sebagai pemilik sah hak kulturalal dan adat atas tanahnya. Negara perlu memberikan perhatian serius terkait posisi mereka (Masyarakat) adat selaku pemilik ulayat dalam proyek nasional tersebut.
Selain itu, Rapimnas juga menghasilkan sejumlah rekomendasi. Pertama, kolaborasi dengan BP3OKP dan KEPPOKP guna memberikan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan strategis percepatan pembangunan Papua, mendukung penguatan kapasitas sumber daya manusia, serta mendampingi pengembangan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua.
Kedua, isu hak asasi manusia (HAM) menjadi perhatian utama masyarakat Papua, sehingga Pemuda Katolik mendorong kolaborasi dengan Pemerintah dalam rangka pelatihan, penyelidikan, serta pelaporan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Melalui kerja sama ini, setiap persoalan diharapkan dapat ditangani secara efektif, tepat sasaran, dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, sekaligus memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat sipil dan memastikan akuntabilitas bagi pelanggaran yang terjadi.
Ketiga, wilayah konflik di Papua khususnya di Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Mimika dan Maybrat didominasi oleh penduduk Katolik. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah dan Pemuda Katolik dapat berperan dalam penyusunan kebijakan maupun penanganan praktis terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Melalui kerja sama ini, upaya pemulihan dan pemberdayaan Masyarakat diharapkan dapat berjalan efektif dan berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan, kapasitas dan kualitas hidup warga terdampak konflik.
Keempat, membangun komunikasi intens dengan petinggi TNI-Polri, khususnya kader Katolik sebagai jembatan efektif antara aparat dan masyarakat Papua untuk memfasilitasi pendekatan yang tepat, mencegah konflik, memperkuat kepercayaan dan mendukung dialog.
Kelima, isu kedua yang sangat strategis, selain konflik dan HAM, adalah perlindungan hak ulayat masyarakat adat. Oleh karena itu, Pemuda Katolik siap berkolaborasi dengan pemerintah, masyarakat adat, Gereja, dan LSM untuk mempercepat pemetaan serta perlindungan hutan adat, sehingga hak ulayat, budaya dan lingkungan dapat dijaga secara adil dan berkelanjutan.
Keenam, membangun tim riset yang solid sekaligus memperluas jejaring akademisi dan praktisi, serta menjalin kerja sama dengan pemerintah. Upaya ini bertujuan mendukung perumusan kebijakan, regulasi dan strategi pembangunan yang responsif, kontekstual, serta berbasis pada kebutuhan masyarakat Papua, sehingga implementasinya dapat lebih efektif, berkelanjutan dan sesuai dengan dinamika sosial, ekonomi dan budaya Papua. (*)










