Oleh Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev
Pemerhati Pembangunan Papua
KETIKA bicara tentang masa depan Papua, sesungguhnya bukan sekadar pembangunan fisik. Pembangunan sejati bukan pula tentang membangun gedung, jalan, dan jembatan tetapi terkait membangun manusia, nilai, dan peradaban. Pembangunan fisik hanya asesori luar sebuah peradaban. Aspek terdalam pembangunan adalah manusia yang beriman, berbudaya, memiliki etos kerja, adil, dan hidup sejahtera.
Dari kesadaran ini lahir gagasan besar di Kabupaten Tolikara dalam term ‘Ramah’ yang berarti Religius, Berbudaya, Mandiri, Adil, dan Sejahtera”. Ia bukan sekadar akronim indah di bibir tetapi sebuah falsafah hidup dan arah baru pembangunan Papua yang berakar pada keimanan, budaya, dan kemanusiaan.
Gagasan ‘Ramah’ tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat Tolikara —sebuah daerah di jantung Pegunungan Papua— yang dikenal dengan kehidupan sosial yang hangat, penuh kasih, dan berakar kuat pada nilai-nilai kekeluargaan.
Di sini, ‘Ramah’ bukan konsep di atas kertas, tetapi realitas yang hidup dalam keseharian warganya. Mereka saling berjabat tangan, makan bersama dalam barapen, menanam di kebun bersama, dan menyapa setiap orang dengan senyum tulus tanpa memandang status sosial.
Wajah Sejati Peradaban
Maka, ‘Ramah’ menjadi cermin jati diri orang Tolikara. Ia adalah wajah sejati peradaban Papua yang lembut, bersahaja. Ia kukuh dalam solidaritas dan spiritualitas. Nilai-nilai dalam ‘Ramah’ inilah yang dijadikan dasar dari visi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tolikara: Terwujudnya Kabupaten Tolikara yang Religius, Berbudaya, Mandiri, Adil, dan Sejahtera.
Visi ini bukan sekadar frasa administratif dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Ia menjadi panduan moral pembangunan lima tahun ke depan, sebuah panggilan untuk meneguhkan kembali manusia Papua sebagai subjek pembangunan, bukan objek.
Bupati Tolikara Willem Wandik, S.Sos juga menegaskan, visi ini bukan sekadar janji politik, tetapi panggilan moral dan spiritual. Ia dan wakil bupati beserta jajaran merindukan Tolikara rumah bersama yang ramah bagi semua; rumah yang berdiri di atas nilai iman, budaya, dan keadilan sosial.
Kehidupan religi masyarakat Tolikara menjadi fondasi utama dalam cara pandang mereka terhadap pembangunan. Aspek religi bagi masyarakat Tolikara tidak sekadar dalam artian rajin dan rutin beribadah, tetapi juga hidup dalam balutan kasih dan takut akan Tuhan.
Iman diwujudkan dalam tindakan sehari-hari; saling menolong, menghargai sesama, dan jujur dalam bekerja. Gereja menjadi pusat kehidupan sosial, tempat orang belajar bukan hanya firman Tuhan, tetapi juga nilai pelayanan dan tanggung jawab.
Setiap hari Minggu, masyarakat berkumpul lalu khusuk dalam doa, menyanyi bersama, dan saling menguatkan dalam kasih Kristus. Anak-anak belajar disiplin, orang muda belajar melayani, dan orang tua menjadi panutan, teladan dalam relasi sosial.
Iman yang hidup seperti inilah yang melahirkan masyarakat yang damai, sabar, dan penuh kasih. ASN, guru, tenaga kesehatan, dan aparat pemerintahan yang berjiwa religius akan bekerja dengan tulus. Bukan sekadar menjalankan tugas namun melayani sepenuh hati sebagai panggilan iman.
Orang Tolikara dikenal memiliki semangat rohani yang tinggi. Sebelum bekerja di kebun, mereka berdoa bersama. Sebelum makan, mereka bersyukur, sebelum memulai perjalanan, mereka memohon perlindungan Tuhan. Nilai-nilai iman ini menumbuhkan kejujuran, kesabaran, dan keteguhan hati sebagai fondasi moral yang membuat masyarakat kuat menghadapi perubahan zaman.
Religius berarti menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan. Ketika nilai ini menjiwai sistem pemerintahan dan perilaku sosial, lahir tata kelola publik yang bersih, jujur, dan berkeadilan. Iman yang hidup tidak hanya di rumah ibadah, tetapi juga dalam pelayanan publik dan pengambilan kebijakan.
Sumber Kekuatan
Kebudayaan menjadi sumber kekuatan kedua dalam ‘Ramah’. Orang Tolikara hidup dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka dikenal dengan sifat keramahan tulus. Setiap pertemuan diawali dengan jabat tangan dan senyum, tanda penerimaan tanpa syarat. Keramahan bukan dibuat-buat, tetapi menjadi bagian dari karakter sosial yang terbentuk oleh kebiasaan hidup bersama.
Tradisi bakar batu (barapen) menjadi simbol kebersamaan yang sakral. Dalam tradisi ini, setiap orang membawa bahan makanan dari yang sedikit hingga banyak lalu dikumpulkan jadi satu. Batu dipanaskan, daging dibakar, dan semua makan bersama. Tidak ada yang kaya, tidak ada yang miskin. Semua berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam semangat persaudaraan sejati. Di situ, nilai kasih dan kesetaraan hidup nyata.
Budaya ini mengajarkan, hidup itu tentang memberi dan berbagi satu sama lain. Bila satu keluarga berduka, seluruh kampung datang membantu. Bila satu kebun gagal panen, tetangga berbagi hasil. Bila satu keluarga membangun rumah, semua ikut mengangkat kayu dan batu.
Filosofi ‘tidak minta juga dikasih’ menggambarkan harga diri dan solidaritas antar orang per orang dan kelompok komunitas. Mereka tidak hidup untuk diri sendiri, tetapi dalam semangat komunitas.
Di tengah arus modernisasi, budaya Tolikara menjadi jangkar moral yang menjaga manusia Papua tetap berakar. Musik, tarian, ukiran, dan bahasa daerah menjadi simbol identitas dan sumber inspirasi.
Generasi muda Papua perlu diarahkan untuk mencintai dan melestarikan nilai-nilai ini agar tidak hanyut dalam budaya instan yang merusak jati diri. Budaya Tolikara bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan aset moral dan ekonomi masa depan.
Budaya Tolikara menegaskan, manusia Papua yang berdiam di wilayah ini memiliki peradaban tinggi yang dibangun di atas kasih, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam. Ketika nilai-nilai budaya dijadikan dasar pembangunan, kemajuan yang lahir bukan hanya sebatas modernisasi namun bergerak dalam kemanusiaan hakiki.
Ihwal Kemandirian
Kemandirian menjadi napas ketiga dari kehidupan masyarakat Tolikara. Mereka hidup dari tanah, bekerja dengan tangan sendiri, dan menghargai hasil jerih payah. Di kebun, mereka menanam sayur, ubi, kopi, dan pisang dengan semangat gotong royong. Tidak ada yang duduk diam menunggu bantuan; semua turun tangan.
Orang Tolikara percaya bahwa bekerja adalah kehormatan. Mereka tidak malu berkeringat, karena dari kerja itulah hidup dijaga dan martabat dipertahankan. Kemandirian tidak berarti menolak bantuan, tetapi menolak ketergantungan yang melemahkan semangat hidup.
Pemerintah daerah dapat memperkuat nilai ini dengan mendorong ekonomi kampung berbasis potensi lokal: pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan rakyat. Kemandirian juga berarti memiliki cara berpikir terbuka namun berakar.
Masyarakat yang mandiri tidak mudah dihasut atau dikendalikan oleh kepentingan luar. Mereka menentukan masa depan berdasarkan potensi dan kebutuhan sendiri. Pendidikan menjadi kunci untuk menumbuhkan kesadaran ini. Anak-anak harus diajarkan bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga bagaimana berpikir kreatif, berwirausaha, dan mencintai tanahnya sendiri.
Dalam kehidupan sosial, kemandirian masyarakat Tolikara tampak dalam tradisi kebun bersama. Mereka bekerja berkelompok, saling membantu tanpa pamrih. Ketika satu lahan selesai digarap, mereka pindah ke lahan lain milik anggota berikutnya. Pola gotong royong ini melatih disiplin dan kebersamaan. Dari kebun, mereka belajar arti kerja keras, kesabaran, dan solidaritas sosial.
Kemandirian inilah yang membuat masyarakat Tolikara kuat menghadapi berbagai tantangan. Mereka mungkin hidup sederhana, tetapi memiliki harga diri yang tinggi. Mereka tidak meminta, tetapi memberi; tidak bergantung, tetapi berusaha. Inilah cermin manusia Papua yang Tangguh —mandiri dalam bekerja, tetapi tetap bergantung pada Tuhan dalam doa.
Relasi Sosial
Keadilan menjadi inti dari relasi sosial masyarakat Tolikara. Mereka percaya, setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi barapen, misalnya, tidak ada perbedaan tempat duduk antara kepala suku dan masyarakat biasa. Semua makan bersama dari satu tungku, simbol bahwa kehidupan harus dibagi secara adil.
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip keadilan terlihat dalam cara mereka berbagi hasil kebun, saling menghargai, dan tidak menindas yang lemah. Pemimpin adat dihormati karena adil, bukan karena kaya. Orang yang berbagi hasil tanpa pilih kasih dianggap terhormat, sementara yang tamak dianggap melanggar keseimbangan sosial.
Dalam konteks pemerintahan modern, nilai keadilan ini berarti menghadirkan negara bagi semua orang, terutama mereka yang paling jauh dari pusat kota. Anak-anak di kampung harus memiliki akses pendidikan dan teknologi yang sama dengan anak-anak di kota. Ibu-ibu di daerah terpencil harus memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.
Keadilan bukan hanya pembagian anggaran, tetapi kehadiran nyata pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Keadilan sosial dan ekonomi juga berarti pemerintahan yang bersih dan transparan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh dari nilai ‘Ramah’. Pemerintah yang adil adalah pemerintah yang mendengar, melayani, dan mengayomi. Tanpa keadilan, pembangunan hanya menjadi proyek, bukan perubahan.
Masyarakat Tolikara telah mengajarkan bahwa keadilan sejati lahir dari kasih. Keadilan yang berakar pada kasih tidak hanya membagi secara sama, tetapi memberi sesuai kebutuhan. Itulah bentuk tertinggi dari nilai kemanusiaan yang menjadi dasar perdamaian di Tanah Papua.
Bukan Berarti Berharta
Kesejahteraan adalah buah dari kehidupan yang ‘Ramah’. Bagi masyarakat Tolikara sejahtera tidak dalam artian kaya harta tetapi hidup damai, cukup, dan bahagia. Mereka memahami kesejahteraan sebagai keadaan di mana semua orang memiliki makanan, tempat tinggal, dan rasa aman. Dalam kehidupan sosial, kesejahteraan tercermin dari kebersamaan: tidak ada yang kelaparan, tidak ada yang tertinggal.
Tradisi barapen kembali menjadi simbol yang indah dari kesejahteraan sosial. Semua orang membawa sesuatu dan semua makan bersama. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Dari satu tungku api, lahir rasa syukur dan kebersamaan. Itulah makna sejati dari kesejahteraan menurut masyarakat Tolikara: hidup dalam harmoni, saling berbagi, dan saling menjaga.
Pemerintah daerah perlu menafsirkan kesejahteraan secara menyeluruh, bukan hanya dalam ukuran ekonomi tetapi juga spiritual dan sosial. Jalan dan jembatan memang penting, tetapi membangun hati manusia jauh lebih penting. Masyarakat yang bahagia, sehat, dan damai adalah tanda keberhasilan pembangunan yang sesungguhnya.
Sejahtera juga berarti hidup selaras dengan alam. Masyarakat Tolikara tahu betul cara menjaga keseimbangan lingkungan. Mereka menanam pohon setelah menebang, menjaga hutan agar tidak rusak, dan memelihara sungai agar tetap jernih. Bagi mereka, alam bukan objek ekonomi, tetapi ibu kehidupan yang harus dihormati.
Kesejahteraan sejati akan tumbuh bila iman, budaya, kemandirian, dan keadilan berjalan bersama. Ketika masyarakat hidup dalam damai, saling menolong, dan saling menghargai, maka pembangunan tidak lagi diukur dari proyek, tetapi dari kebahagiaan manusia.
Nilai-nilai ‘Ramah’ bukan jargon politik, tetapi gerakan moral dan spiritual yang harus menjiwai seluruh kebijakan pembangunan. Dari visi daerah hingga program teknis OPD, semangat ‘Ramah’ harus menjadi roh yang menuntun arah pembangunan Tolikara.
Guru yang ‘ramah’ akan mendidik dengan kasih. Pemimpin yang ‘Ramah’ akan memimpin dengan teladan. Pemuda yang ‘Ramah’ akan bekerja dengan semangat tanggung jawab. Ketika nilai-nilai ini hidup di tengah masyarakat, Papua akan melangkah menuju peradaban baru —peradaban kasih, kerja, dan harapan.
Dari Tolikara, gagasan ‘Ramah’ menjadi pesan moral bagi seluruh Indonesia. Di tengah krisis nilai dan kemanusiaan, ‘Ramah’ menawarkan jalan pulang: membangun manusia, bukan hanya infrastruktur.
“’Ramah’ adalah arah baru pembangunan kita. Kita ingin Tolikara menjadi kabupaten yang religius, berbudaya, mandiri, adil, dan sejahtera sebagai teladan bagi Tanah Papua dan Indonesia,” ujar Bupati Willem Wandik.
Papua dengan kekayaan spiritual dan budayanya memiliki potensi menjadi pelita bagi bangsa. Melalui nilai-nilai ‘Ramah’, kita membangun Papua yang tidak hanya maju, tetapi juga manusiawi; tidak hanya modern, tetapi bermoral; tidak hanya kuat, tetapi penuh kasih.
Inilah panggilan kita semua —pemerintah, gereja, adat, pemuda, dan perempuan— untuk berjalan bersama menuju Papua yang beriman, berbudaya, mandiri, adil, dan sejahtera. Tolikara ‘Ramah’: dari tanah Injil untuk Papua dan Indonesia yang lebih manusiawi.








