(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pergeseran Arah: Dari Kemerdekaan ke Stabilisasi
Jelas terlihat bahwa Gaza Peace Summit 2025 bergerak ke arah depolitisasi perjuangan kemerdekaan Palestina— mengalihkan fokus dari nationhood (kenegaraan) ke security and economic reconstruction (keamanan dan pembangunan ekonomi). Pergeseran ini bukan sekadar perubahan teknis dalam strategi diplomasi, tetapi merupakan sebuah pergeseran paradigma politik yang dampaknya sangat luas.
Selama beberapa dekade, perjuangan Palestina dipahami sebagai perjuangan untuk memperoleh status kenegaraan yang sah dan merdeka, sebagaimana tertuang dalam berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, pertemuan ini menunjukkan arah yang berbeda. Fokusnya bukan lagi bagaimana rakyat Palestina membangun negaranya sendiri, melainkan bagaimana Gaza bisa menjadi wilayah yang “aman” dan “terkendali” di bawah pengawasan internasional, dengan agenda utama pembangunan dan investasi ekonomi.
Dengan kata lain, yang menjadi pusat perhatian bukan lagi “kemerdekaan Palestina,” tetapi “pengelolaan Gaza” pasca-perang. Fokus perundingan dipersempit menjadi bagaimana meredam konflik, memastikan stabilitas keamanan, dan membuka ruang bagi pembangunan infrastruktur serta ekonomi. Dari sudut pandang politik internasional, ini adalah bentuk “depolitisasi perjuangan” — mengubah masalah politik menjadi masalah teknokratis dan keamanan.
Kerangka Perdamaian Tanpa Kemerdekaan
Fakta ini dapat dilihat dari isi Trump Declaration for Enduring Peace and Prosperity — dokumen utama yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. Tidak ada satu kalimat pun dalam deklarasi ini yang menyebut secara eksplisit tentang pembentukan negara Palestina merdeka. Yang ada hanyalah kalimat-kalimat umum tentang komitmen pada “masa depan damai bagi rakyat Israel dan Palestina”.
Pendekatan seperti ini sejatinya merupakan kerangka perdamaian tanpa kemerdekaan. Gaza akan dikelola melalui koordinasi keamanan antara Donald Trump (Amerika Serikat), Abdel Fattah el-Sisi (Mesir), dan Benjamin Netanyahu(Israel). Israel akan mempertahankan security zone di perbatasan Gaza. Hamas dan faksi perlawanan Palestina lainnya tidak dilibatkan secara langsung dalam proses diplomasi. Tepi Barat dan Yerusalem Timur — wilayah kunci dalam perjuangan kemerdekaan Palestina — sama sekali tidak menjadi fokus pembahasan.
Strategi ini jelas menguntungkan pihak-pihak besar. Bagi Amerika Serikat, stabilitas Gaza berarti menurunkan tekanan internasional dan menciptakan panggung bagi investasi serta keterlibatan ekonomi negara-negara Arab moderat. Bagi Israel, situasi ini memungkinkan mereka mempertahankan kendali keamanan tanpa harus membicarakan isu kedaulatan Palestina. Sementara bagi Mesir dan negara Arab tertentu, ini menjadi kesempatan untuk memperluas pengaruh dan memperoleh manfaat ekonomi-politik dari situasi pascaperang.
Pergeseran Makna Perjuangan Palestina
Inilah titik krusialnya. Dengan pergeseran fokus ini, makna perjuangan Palestina mengalami perubahan drastis. Selama ini perjuangan itu dilihat sebagai gerakan politik untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatan. Tetapi dengan lahirnya kerangka Gaza Peace Summit 2025, perjuangan itu didefinisikan ulang menjadi upaya membangun keamanan dan ekonomi di wilayah yang tetap berada dalam struktur kekuasaan luar.
Dalam logika diplomasi internasional, ini disebut “depolitisasi konflik”: ketika isu kemerdekaan dipinggirkan dan diganti dengan proyek pembangunan yang dikendalikan oleh negara-negara kuat. Rakyat Palestina diperlakukan bukan sebagai warga negara yang memiliki hak menentukan nasib sendiri, melainkan sebagai populasi yang “dikelola” oleh mekanisme internasional.
Pergeseran ini membawa konsekuensi serius. Jika proses ini terus berlangsung, perjuangan kemerdekaan Palestina bisa perlahan hilang dari panggung diplomasi global. Dunia akan lebih banyak membicarakan “pembangunan Gaza” ketimbang “pembentukan Negara Palestina.” Ketidakadilan ini bisa menjadi kenyataan baru yang sulit diubah dalam jangka panjang.
Posisi Indonesia: Antara Prinsip dan Realitas Geopolitik
Dalam konteks ini, kehadiran Prabowo Subianto di Gaza Peace Summit 2025 menimbulkan implikasi yang tidak sederhana. Indonesia selama ini secara konsisten menyuarakan two-state solution (solusi dua negara) sebagai satu-satunya jalan damai yang adil dan bermartabat. Prinsip ini bukan hanya posisi resmi pemerintah, tetapi juga bagian dari komitmen sejarah Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina sejak masa awal kemerdekaan.
Namun, dengan hadir dalam forum yang secara substansi tidak membahas pembentukan negara Palestina, Indonesia masuk dalam ruang yang dikendalikan oleh kekuatan besar. Kehadiran Prabowo — terlepas dari niat dan isi pidatonya — dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai dukungan terhadap kerangka perdamaian yang tidak menyentuh akar masalah. Ini menjadi celah bagi Trump dan Netanyahu untuk mengklaim bahwa negara-negara Muslim moderat, termasuk Indonesia, telah mendukung proses perdamaian yang mereka rancang.
Posisi ini menciptakan dilema strategis. Jika Indonesia menolak hadir, maka suara dan posisinya di forum global akan melemah. Tetapi jika Indonesia hadir tanpa mengimbangi dengan sikap politik yang tegas di arena lain, maka kehadiran itu dapat dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi agenda politik pihak lain.
Risiko Menjadi Pion Diplomatik
Dalam diplomasi global, negara-negara menengah seperti Indonesia sering menghadapi risiko menjadi “pion diplomatik”— hadir dalam panggung besar, tetapi tidak menentukan isi dan arah kebijakan. Ketika kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Israel menguasai narasi, negara-negara lain seringkali hanya menjadi pelengkap legitimasi politik.
Hal ini bisa terjadi jika Indonesia tidak mengambil langkah diplomatik lanjutan yang kuat. Kehadiran Prabowo dalam Gaza Peace Summit 2025 berpotensi diputarbalikkan menjadi bukti bahwa Indonesia mendukung perdamaian dalam kerangka Trump–Netanyahu. Padahal secara prinsip, Indonesia justru berada pada posisi yang bertolak belakang: mendukung kemerdekaan penuh bagi Palestina.
Risiko ini tidak kecil. Sejarah menunjukkan bahwa legitimasi simbolik dari negara-negara Muslim sering dipakai untuk melemahkan perjuangan Palestina. Ketika negara-negara ini duduk di meja perundingan tanpa syarat politik yang kuat, hasilnya adalah “perdamaian semu” — stabilitas jangka pendek tanpa keadilan jangka panjang.
Jalan Diplomasi yang Masih Terbuka
Namun, situasi ini tidak berarti Indonesia kehilangan semua ruang. Sebagai negara dengan reputasi diplomasi yang kuat, Indonesia masih dapat memainkan peran strategis. Caranya adalah dengan mengimbangi kehadiran di Gaza Peace Summit 2025 dengan langkah-langkah politik yang tegas di forum-forum internasional lainnya.
Pertama, Indonesia dapat memperkuat posisinya di PBB dengan kembali menegaskan two-state solution sebagai satu-satunya jalan damai yang adil dan permanen. Indonesia juga dapat membangun koalisi dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan negara-negara Non-Blok untuk menekan Amerika Serikat agar tidak mengabaikan status kenegaraan Palestina.
Kedua, Indonesia dapat mengajukan inisiatif diplomatik yang lebih progresif, misalnya menghidupkan kembali Arab Peace Initiative atau mendorong resolusi PBB yang lebih tegas terkait status Yerusalem Timur dan hak rakyat Palestina atas tanah air mereka. Langkah ini penting agar Indonesia tidak hanya tercatat sebagai peserta konferensi, tetapi sebagai negara yang tetap berdiri teguh pada prinsip keadilan politik.
Ketiga, diplomasi publik juga perlu diperkuat. Indonesia dapat memanfaatkan posisinya sebagai negara Muslim terbesar untuk membentuk opini global tentang pentingnya kemerdekaan Palestina. Dengan begitu, kehadiran Prabowo di Gaza Peace Summit 2025 tidak berhenti pada simbol, tetapi menjadi pijakan untuk diplomasi lanjutan yang lebih keras dan terarah.
Kesimpulan: Antara Simbol dan Substansi
Gaza Peace Summit 2025 adalah momen penting dalam dinamika konflik Palestina–Israel. Namun, pertemuan ini tidak membawa arah perjuangan ke kemerdekaan, melainkan menggesernya ke ranah stabilitas keamanan dan pembangunan ekonomi yang dikendalikan kekuatan besar. Ini adalah bentuk “depolitisasi perjuangan Palestina” — sebuah proses yang berpotensi melemahkan semangat dan posisi politik rakyat Palestina di panggung dunia.
Dalam konteks ini, Indonesia dan Prabowo berada dalam posisi yang rumit: hadir dalam forum besar tetapi tidak mengendalikan narasi. Jika tidak berhati-hati, kehadiran ini bisa dimanfaatkan oleh Trump dan Netanyahu sebagai legitimasi politik atas kerangka perdamaian tanpa kemerdekaan.
Namun, Indonesia masih punya ruang manuver. Dengan diplomasi aktif, konsisten, dan berbasis prinsip, Indonesia dapat menegaskan kembali posisinya sebagai pendukung sejati two-state solution. Pilihan arah ini akan sangat menentukan: apakah Indonesia akan menjadi pion dalam arsitektur perdamaian timpang, atau menjadi suara moral yang konsisten membela keadilan bagi Palestina.