Oleh Dr Imanuel Gurik, SE, M.Ec.Dev
Asisten II Setda Tolikara; Pemerhati Pembangunan Papua
KEBIJAKAN refocussing anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan fiskal nasional dan menyesuaikan arah prioritas pembangunan agar tetap sejalan dengan kondisi ekonomi negara. Namun, ketika kebijakan ini diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia tanpa mempertimbangkan perbedaan karakteristik daerah, maka dampaknya justru kontraproduktif terhadap wilayah-wilayah yang memiliki kekhususan, terutama tanah Papua.
Papua bukan sekadar daerah administratif biasa; wilayah ini memiliki ciri geografis, sosial, budaya, dan ekonomi yang unik serta tantangan pembangunan yang berbeda dibanding daerah lain di Indonesia. Dengan kondisi topografi pegunungan yang curam, banyak kampung yang terisolasi serta biaya logistik yang sangat tinggi, penerapan refocussing yang memotong atau mengalihkan anggaran dapat melemahkan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan program strategis nasional yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua.
Salah satu program prioritas nasional yang paling relevan dan penting untuk konteks Papua adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini bukan sekadar program sosial yang membagikan makanan, tetapi merupakan bentuk investasi besar dalam pembangunan manusia Papua. Setiap piring makanan bergizi yang disajikan bagi anak-anak sekolah sejatinya adalah modal jangka panjang bagi bangsa.
Mengapa? Melalui program ini generasi muda Papua dibentuk menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, dan produktif. Dengan gizi yang baik, anak-anak Papua akan memiliki daya pikir dan daya tahan tubuh yang lebih kuat, sehingga dapat mengikuti proses belajar dengan optimal. Inilah pondasi menuju Generasi Emas Papua 2045, di mana manusia Papua tidak lagi menjadi objek pembangunan tetapi pelaku utama dalam kemajuan daerahnya sendiri.
Namun, keberhasilan Program MBG tidak hanya ditentukan oleh adanya alokasi anggaran, melainkan juga oleh kesiapan faktor-faktor pendukung seperti infrastruktur dasar, ketersediaan jaringan komunikasi, pasokan listrik, air bersih, serta transportasi logistik yang memadai. Dalam kondisi Papua saat ini, banyak daerah belum memiliki infrastruktur dasar tersebut, sehingga pemotongan anggaran melalui kebijakan refocussing justru akan memperparah kesenjangan pelaksanaan program.
Oleh karena itu, untuk Papua, kebijakan refocussing seharusnya tidak diberlakukan secara kaku dan seragam, melainkan perlu pendekatan afirmatif yang mempertimbangkan konteks dan kebutuhan lokal. Pemerintah pusat semestinya tidak melakukan refocussing untuk Papua, melainkan memperkuat dukungan fiskal agar daerah mampu membangun fasilitas penunjang sesuai karakteristik wilayahnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan MBG di Papua menghadapi tantangan sangat berat. Banyak sekolah berada di kampung-kampung terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berjam-jam atau menggunakan pesawat perintis. Di sejumlah daerah, dapur MBG belum memiliki sumber listrik dan air bersih yang memadai. Kegiatan memasak masih menggunakan kayu bakar, air diambil dari sungai, dan bahan makanan dibawa dari jauh dengan biaya tinggi.
Hambatan seperti ini bukan karena kurangnya komitmen pemerintah daerah, melainkan karena keterbatasan infrastruktur yang belum tersentuh pembangunan. Jika kebijakan refocussing diterapkan di Papua, maka bukan hanya program MBG yang terhambat, tetapi juga semangat masyarakat untuk maju akan ikut melemah. Dengan kata lain, refocusing di Papua sama artinya dengan memutus jalur kemajuan yang sedang dibangun secara bertahap melalui berbagai program afirmatif nasional.
Jaminan Keberhasilan MBG
Untuk menjamin keberhasilan program MBG di Papua, pemerintah daerah bersama pemerintah pusat perlu menyiapkan dan memperkuat lima faktor pendukung utama secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Pertama, pembangunan akses jalan daerah menuju lokasi dapur MBG. Akses jalan merupakan urat nadi yang menghubungkan dapur MBG dengan sumber bahan pangan lokal. Tanpa jalan yang baik, petani di kampung tidak dapat menjual hasil panen mereka ke dapur sekolah.
Contohnya di daerah-daerah seperti Tolikara, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang, banyak lokasi masih bergantung pada jalur pejalan kaki atau helikopter untuk membawa bahan makanan. Dengan adanya jalan yang memadai, biaya transportasi menurun, waktu tempuh lebih singkat, dan jangkauan program MBG akan semakin luas. Karena itu, pembangunan dan peningkatan jalan kampung harus menjadi prioritas yang tidak boleh terganggu oleh refocusing anggaran.
Kedua, peningkatan lapangan terbang perintis (lapter) di wilayah-wilayah strategis Papua. Sebagian besar distribusi logistik di Papua masih mengandalkan jalur udara. Lapter perintis berperan vital untuk mengirim bahan pangan, peralatan dapur, serta kebutuhan lainnya ke daerah-daerah yang belum memiliki akses jalan darat.
Lokasi seperti Kanggime, Bokondini, Karubaga, Ilaga, dan Oksibil adalah titik-titik distribusi udara utama bagi wilayah pegunungan tengah Papua. Peningkatan kapasitas, keamanan, dan fasilitas di lapangan terbang ini akan memperlancar distribusi bahan pangan bergizi dan logistik MBG, sehingga pasokan ke sekolah-sekolah dapat berjalan tanpa hambatan.
Ketiga, penyediaan jaringan internet dan sistem komunikasi digital (Sturling) untuk mendukung pelaksanaan MBG yang transparan dan terukur. Dalam era digitalisasi pemerintahan, pelaksanaan MBG juga memerlukan sistem pelaporan berbasis teknologi agar data penerima manfaat, kebutuhan bahan, serta kondisi dapur dapat dimonitor secara real time oleh pemerintah daerah dan pusat.
Dengan jaringan komunikasi yang kuat, pengawasan menjadi efisien dan akuntabel. Maka dari itu, pembangunan jaringan internet di Papua tidak hanya untuk layanan publik umum, tetapi juga harus disinergikan dengan pelaksanaan program MBG.
Keempat, pembangunan listrik di lokasi dapur MBG. Ketiadaan listrik membuat dapur-dapur MBG tidak dapat menggunakan peralatan modern dan efisien. Kegiatan memasak bergantung pada kayu bakar, proses penyimpanan bahan makanan terbatas, dan waktu kerja menjadi tidak produktif.
Oleh karena itu, diperlukan pembangunan jaringan listrik kampung, baik melalui perluasan jaringan PLN maupun dengan memanfaatkan energi alternatif seperti tenaga surya, mikrohidro, atau biomassa. Penerapan teknologi energi terbarukan di kampung-kampung Papua akan memastikan dapur MBG beroperasi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kelima, pembangunan air bersih dan sanitasi dapur MBG. Air bersih adalah komponen penting dalam menjaga kualitas gizi dan kebersihan makanan. Tanpa air yang cukup, kegiatan mencuci bahan makanan, memasak, dan membersihkan peralatan dapur tidak bisa dilakukan dengan standar higienitas yang baik.
Pemerintah daerah bersama masyarakat perlu membangun jaringan air bersih sederhana seperti sumur bor, bak penampungan air hujan, atau pipa gravitasi kampung. Sanitasi yang baik akan menjamin makanan yang disajikan aman dikonsumsi dan mendukung kesehatan anak-anak penerima MBG.
Selain lima faktor utama tersebut, keberhasilan MBG juga sangat bergantung pada sinergi antar kementerian dan lembaga. Tidak mungkin Papua mampu membangun semua faktor pendukung itu hanya dengan kekuatan APBD-nya sendiri.
Diperlukan kerja sama lintas sektor antara Kementerian PUPR yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan dan air bersih, Kementerian Perhubungan untuk memperkuat sarana transportasi udara, Kementerian Kominfo dalam memperluas jaringan internet, Kementerian ESDM dan PLN dalam penyediaan listrik berbasis energi terbarukan, serta Kementerian Pertanian dan Koperasi dalam pemberdayaan petani dan koperasi desa untuk menyuplai bahan makanan lokal.
Kementerian Pendidikan dan Kesehatan berperan dalam memastikan standar gizi dan kesehatan anak-anak penerima manfaat. Dengan kerja sama lintas kementerian seperti ini, pembangunan faktor pendukung MBG di Papua dapat dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.
Pendekatan kolaboratif semacam ini mencerminkan semangat whole of government, di mana semua unsur negara bekerja bersama mencapai satu tujuan, yaitu pembangunan manusia Papua yang sehat, mandiri, dan berdaya saing.
Namun, selain aspek teknis dan infrastruktur, kearifan lokal Papua juga harus menjadi roh utama dalam pelaksanaan program MBG. Pelibatan masyarakat lokal melalui koperasi dan kelompok tani perlu menjadi bagian integral dari tata kelola MBG.
Contohnya di Kabupaten Tolikara, Koperasi Desa Merah Putih telah mulai berperan aktif sebagai penghubung antara petani kampung dan dapur MBG. Sayur-mayur, ubi, sagu, dan ikan hasil panen masyarakat dibeli langsung oleh koperasi untuk kemudian disalurkan ke sekolah-sekolah.
Sistem ini tidak hanya memperkuat kedaulatan pangan lokal, tetapi juga menggerakkan ekonomi kampung. Dengan demikian, program MBG tidak sekadar menjadi proyek bantuan pangan, tetapi menjadi strategi pemberdayaan ekonomi rakyat di akar rumput.
Kebijakan refocussing di Papua justru berpotensi merusak integrasi ekonomi rakyat semacam ini. Setiap rupiah yang dipangkas berarti satu dapur MBG berhenti beroperasi, satu jalan tidak terselesaikan, satu lapter tidak diperbaiki, dan satu kampung kembali terisolasi.
Karena itu, kebijakan fiskal untuk Papua harus bersifat afirmatif dan kontekstual, bukan sekadar efisiensi angka di atas kertas. Papua membutuhkan stabilitas fiskal untuk memperkuat fondasi pembangunan manusia—pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Otonomi Khusus Papua merupakan pengakuan negara atas kekhususan tanah Papua. Dalam kerangka itu, pemerintah pusat berkewajiban memastikan agar setiap kebijakan nasional tidak bertentangan dengan semangat otsus. Refocussing yang seragam di seluruh Indonesia justru mengingkari amanat Otsus.
Pemerintah pusat harus memberikan ruang fiskal yang cukup bagi Papua untuk menata pembangunan sesuai kebutuhan lokal, terutama untuk program strategis seperti MBG yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Refocusing harus dilakukan dengan hati nurani, bukan sekadar kalkulasi angka-angka. Untuk Papua, kebijakan fiskal harus berpihak kepada manusia, bukan pada neraca keuangan.
Keberhasilan MBG di Papua bukan sekadar soal makanan bergizi; ia adalah simbol kehadiran negara di meja makan anak-anak pegunungan dan pesisir. Itu adalah bentuk nyata tanggung jawab negara terhadap generasi masa depan Papua. Karena itu, biarkan Papua membangun dengan caranya sendiri, berdasarkan kekhasan dan kearifan lokalnya, dengan dukungan fiskal yang stabil dan berkeadilan.
Dengan tidak melakukan refocussing, dan sebaliknya memperkuat kerja sama antar kementerian serta membangun faktor pendukung MBG secara menyeluruh, pemerintah pusat sesungguhnya sedang menanamkan keadilan sosial yang sejati di Tanah Papua.