Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
GAZA kembali menjadi pusat perhatian dunia. Wilayah kecil di pesisir Laut Tengah ini sejak lama identik dengan perang, blokade, dan penderitaan rakyatnya. Konflik yang tak kunjung usai antara Hamas dan Israel terus melahirkan siklus kekerasan yang merenggut ribuan korban jiwa, menghancurkan infrastruktur, dan menciptakan krisis kemanusiaan yang tak tertandingi. Berbagai upaya perdamaian sudah dilakukan, mulai dari Perjanjian Oslo, inisiatif negara-negara Arab, hingga perundingan yang dimediasi lembaga internasional. Namun, tidak satu pun berhasil membawa kedamaian permanen.
Pada 29 September 2025, Donald Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan sebuah dokumen yang disebut Proposal Damai Gaza. Rencana ini memuat 20–21 poin yang ditawarkan sebagai jalan keluar dari konflik panjang. Israel langsung menyatakan persetujuan, sementara Hamas masih belum memberikan jawaban resmi. Kini, Gaza berada di persimpangan sejarah: apakah akan menerima atau menolak proposal ini?
Isi Pokok Proposal Damai Gaza
Proposal Trump memuat beberapa hal mendasar. Pertama, gencatan senjata segera dan pembebasan seluruh sandera Israel dalam 72 jam. Sebagai imbalannya, Israel diminta membebaskan tahanan Palestina. Kedua, Hamas diwajibkan menyerahkan semua senjata dan menghancurkan infrastruktur militernya. Ketiga, anggota Hamas yang bersedia menyerah akan mendapat amnesti atau kesempatan keluar dari Gaza dengan aman.
Selain itu, rencana ini menempatkan Gaza di bawah pemerintahan teknokrat sementara yang diawasi sebuah badan internasional bernama Board of Peace yang diketuai langsung oleh Trump dan sejumlah tokoh dunia. Pasukan penjaga perdamaian internasional akan dikerahkan, sementara miliaran dolar bantuan dijanjikan untuk membangun kembali rumah sakit, sekolah, jalan, pelabuhan, bandara, dan kawasan ekonomi baru. Israel berjanji tidak akan menganeksasi Gaza, sedangkan status politik Palestina akan dibicarakan di kemudian hari.
Sekilas, rencana ini tampak menjanjikan. Namun, bagi Gaza, pilihan menerima atau menolak bukanlah keputusan sederhana.
Jika Hamas Menerima Proposal Damai
Menerima proposal Trump berarti Gaza memasuki babak baru. Dampak yang akan dirasakan tidak hanya oleh Hamas, tetapi juga seluruh rakyat Gaza dan kawasan sekitarnya.
Pertama, Hamas akan kehilangan kekuasaan militernya. Selama ini, organisasi tersebut dikenal sebagai kekuatan bersenjata yang menjadikan perlawanan sebagai identitas utama. Dengan menyetujui demiliterisasi, Hamas harus menyerahkan roket, menghancurkan terowongan, dan melepaskan statusnya sebagai “gerakan perlawanan”. Dalam jangka panjang, Hamas bisa melemah bahkan hilang dari panggung politik Gaza. Dari sudut pandang Israel, ini kemenangan strategis tanpa harus melanjutkan perang besar.
Kedua, Gaza akan berada di bawah kendali internasional. Pemerintahan teknokrat hanya menjalankan fungsi administratif, sementara keputusan penting ditentukan oleh Board of Peace dan pasukan internasional. Praktis, Gaza akan berubah menjadi wilayah protektorat global dengan pengaruh besar dari AS dan Israel. Kondisi ini mungkin menghadirkan stabilitas, tetapi sekaligus mengurangi kedaulatan rakyat Gaza atas tanah mereka sendiri.
Ketiga, rakyat Gaza bisa merasakan manfaat ekonomi dan sosial. Rekonstruksi besar-besaran akan membuka lapangan kerja, memulihkan layanan kesehatan, pendidikan, listrik, dan air bersih. Infrastruktur publik yang baru bisa meningkatkan kualitas hidup yang selama ini serba terbatas. Generasi muda Gaza dapat kembali memiliki harapan, bukan sekadar bertahan hidup dalam reruntuhan perang.
Keempat, identitas Gaza sebagai simbol perlawanan Palestina akan memudar. Selama ini, Gaza dikenal sebagai benteng perjuangan. Dengan menerima proposal, citra tersebut hilang. Dunia mungkin melihat Gaza damai, tetapi tuntutan Palestina untuk merdeka bisa makin terpinggirkan. Hilangnya narasi perlawanan berarti daya tawar politik Palestina juga melemah.
Kelima, reaksi dunia Arab akan terbelah. Negara seperti Mesir, UEA, dan Arab Saudi kemungkinan mendukung demi stabilitas regional. Namun, Iran dan kelompok pro-Palestina akan menilai langkah itu sebagai bentuk menyerah. Perpecahan politik di Timur Tengah pun semakin nyata.
Singkatnya, menerima proposal membawa janji stabilitas dan pembangunan, tetapi dengan harga yang mahal: hilangnya identitas perjuangan dan kontrol rakyat Gaza atas masa depannya sendiri.
Jika Hamas Menolak Proposal Damai
Menolak proposal juga bukan jalan mudah. Justru sebaliknya, konsekuensi yang menanti bisa jauh lebih berat.
Pertama, perang akan terus berlanjut. Israel bersama AS hampir pasti menjadikan penolakan sebagai alasan untuk melanjutkan operasi militer. Targetnya jelas: menghancurkan Hamas sepenuhnya. Gaza bisa kembali hancur berkeping-keping, dengan korban sipil yang lebih banyak.
Kedua, blokade akan semakin diperketat. Israel dapat menutup total akses makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan bantuan kemanusiaan. AS mungkin ikut menekan lembaga internasional agar membatasi bantuan. Bagi rakyat Gaza, situasi ini berarti penderitaan lebih dalam, bahkan potensi bencana kemanusiaan yang jauh lebih besar.
Ketiga, Hamas justru memperoleh legitimasi baru sebagai simbol perlawanan. Menolak proposal bisa memperkuat citranya di mata pendukung. Iran, Hizbullah, dan simpatisan Palestina di berbagai belahan dunia mungkin akan semakin mendukung. Namun, penguatan legitimasi politik tidak otomatis memperbaiki kehidupan rakyat Gaza yang tetap terjebak dalam penderitaan.
Keempat, Israel bisa mengambil alih Gaza sepenuhnya. Dengan alasan Hamas menolak perdamaian, Israel memiliki legitimasi untuk melakukan pendudukan militer penuh. Jika itu terjadi, Gaza kehilangan kendali politik yang tersisa, dan rakyat hidup di bawah aturan militer Israel secara langsung.
Kelima, penolakan juga akan memicu dampak regional. Konflik bisa merembet ke Lebanon, Suriah, atau Tepi Barat. Dunia Arab akan kembali terpecah: ada yang mendukung Hamas, ada pula yang menginginkan stabilitas. Radikalisasi di kalangan pemuda Timur Tengah bisa meningkat, dan kawasan kembali menjadi pusat ketegangan global.
Singkatnya, menolak proposal berarti mempertahankan martabat perjuangan, tetapi dengan risiko penderitaan lebih panjang, blokade lebih keras, dan kemungkinan hilangnya Gaza sepenuhnya dari kendali rakyatnya sendiri.
Kemenangan Israel–Amerika dan Pilihan Sulit Gaza
Dari dua skenario di atas, tampak jelas bahwa Israel dan Amerika Serikat berada pada posisi yang selalu diuntungkan. Jika Hamas menerima, Israel berhasil melucuti musuh utamanya tanpa melanjutkan perang. Gaza menjadi lebih stabil, sementara Trump bisa mengklaim dirinya sebagai pembawa perdamaian. Jika Hamas menolak, Israel mendapat legitimasi untuk melanjutkan operasi militer, dan AS tetap berada di sisi sekutunya.
Sebaliknya, Gaza justru menghadapi pilihan yang sama-sama sulit. Menerima berarti mendapatkan peluang pembangunan dan stabilitas, tetapi dengan mengorbankan identitas perlawanan. Menolak berarti mempertahankan martabat perjuangan, tetapi rakyat harus membayar harga mahal berupa perang berkepanjangan dan penderitaan yang lebih dalam.
Pada akhirnya, keputusan berada di tangan Hamas, tetapi dampaknya ditanggung seluruh Gaza. Apa pun yang dipilih, masa depan rakyat Gaza akan sangat ditentukan oleh keputusan ini. Selama hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri belum diakui, setiap proposal damai berisiko rapuh. Gaza mungkin saja berubah wajah, tetapi damai sejati masih tetap menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.