Ziarah Humanisme Lukas Enembe - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Ziarah Humanisme Lukas Enembe

Ansel Deri, Sekretaris Papua Circle Institute dan Pemimpin Redaksi Odiyaiwuu.com berbasis di Papua Tengah. Foto: Dok pribadi

Loading

Oleh Ansel Deri

Sekretaris Papua Circle Institute dan penulis buku ‘Kejutan Politik’

MANTAN Gubernur Papua Lukas Enembe memenuhi panggilan Tuhan lewat peristiwa kematian. Tokoh Papua itu meninggal di Paviliun Kartika di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Selasa (26/12) pukul 11:00 WIB. Jenazah kemudian disemayamkan di Rumah Duka Sentosa RSPAD sebelum akhirnya diterbangkan ke Papua melalui Bandara Sentani, Kamis (28/12) dini hari.

Sebuah pemandangan indah mewarnai ruang persemayaman Enembe. Ratusan pelayat silih berganti memberi penghormatan kepada almarhum sekaligus mendukung isteri Enembe, Yulce Wenda beserta anak-anak dan kerabat yang setia di depan peti jenazah Enembe. Beberapa lagu khas Papua dinyanyikan usai kebaktian yang dipimpin dua pendeta secara bergantian.

Tak hanya Penjabat Gubernur Papua Ridwan Rumasukun, Kepala Biro Umum dan Protokol Setda Papua Elpius Hugi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, pendiri Universitas Internasional Papua Samuel Tabuni, Sekretaris Dewan Pertimbangan Demokrat Pusat Carolus Boli, Bupati Yahukimo Didimus Yahuli, mantan Bupati Boven Digoel Yusak Yaliwo, anggota DPR RI dari Papua Wilem Wandik dan Robert Kardinal, mahasiswa Papua, serta kolega almarhum hingga masyarakat kecil.

Suster Sisil, biarawati Katolik juga setia mendampingi Yulce Wenda di samping peti jenazah sebelum jenazah Enembe diterbangkan ke Bandara Sentani melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang. Kehadiran Sr Sisil menjadi pemandangan menarik. Sebuah perjumpaan antarsesama dari latar asal usul namun satu dalam ziarah humanisme inspiratif.

Tak berlebihan, Yosua Noak Douw, birokrat senior yang kini mengabdi di Tolikara, kabupaten tempat kelahiran mendiang Lukas Enembe mengungkapkan isi hatinya melalui tulisannya yang beredar di sejumlah grup diskusi terbatasa di Papua. Yosua, anak guru dan gembala Gereja GIDI di Tolikara menulisnya sebagai berikut.

Ada pembandangan menarik, ketika jenazah Enembe disemayamkan di Jakarta Sr Sisil setia berada di samping isteri Enembe, Yulce Wenda serta anak-anaknya menghormati jenazah Enembe, Rabu (27/12) malam sebelum diterbangkan ke Papua, tanah leluhurnya. Sedih dan terharu melihat pemandangan itu.

Momen tersebut, kata Yosua, menunjukkan almarhum bukan hanya milik orang Papua tetapi semua yang pernah mengenal atau dikenalnya. Perjumpaan itu adalah ziarah humanisme dan pelajaran hidup tentang arti persaudaraan dan solidaritas.

Ziarah humanisme Enembe menemui ruangnya yang paling nyata melalui perjumpaan manusia beragam latar sosial. Ada yang menarik dan menjadi pelajaran berharga dari ziarah humanisme dari sosok sekelas Enembe, seorang pemimpin yang lahir dari honai di pedalaman Tolikara, Papua Pegunungan.

Bahwa semangat kerjasama, saling menghormati, solidaritas serta nilai-nilai kasih dan persaudaraan dalam kemanusiaan membangun wajah dunia lebih bermartabat di tengah kehidupan yang ditaburi mental individualistik begitu kental hingga menghakimi sesama dengan alasan absurd terus jadi praktik lumrah.

Anak koteka

Bagi publik tanah Air, bisa saja tak banyak catatan terkait sosok gubernur di tanah Papua sefenomenal seorang Enembe. Tentu ini tak bermaksud mengabaikan sosok dan kiprah para gubernur terdahulu yang merupakan putra asli bumi Cenderawasih.

Sebut saja Eliezer Jan Bonay, Frans Kaisiepo, Izaac Hindom, Jacob Pattipi, Freddy Numberi, Jacobus Perviddya Solossa, Freddy Numberi hingga Barnabas Suebu dan para pemimpin lainnya. Paling kurang ada sejumlah catatan terkait sosok Enembe, pria kelahiran 27 Juli 1967 di Kampung Mamit, Distrik Kembu, Tolikara, Papua Pegunungan.

Pertama, sejak lahir Lukas Enembe adalah anak koteka dengan nama adat Lomato Enembe. Jejak perjalanan sejak kecil di kampung halaman kemudian mengenyam pendidikan dasar hingga tinggi lalu mendedikasikan diri secara total demi masyarakat dan daerah demi kemajuan bangsa dan negara adalah ziarah kemanusiaan yang dapat menjadi sumber inspirasi generasi muda.

Kedua, berkisah tentang sosok dan jejak kerasulan Enembe baik di pemerintahan maupun politik hingga ajal menjemputnya tak tanggal bicara tentang humanisme. Ihwal humanisme Enembe persis digambarkan Sularto dalam Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya (2009), di mana humanisme menuntut pembaruan hidup, terlebih-lebih sikap terus menjadi manusiawi, ziarah kehidupan dari humanisasi menuju humanisasi ala Drijarkara.

Ketiga, Enembe menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat mulai dari kabupaten di tanah Papua sebelum akhirnya terpilih menjadi gubernur dua periode. Ia setia memikul salib kecil kehidupannya sebagai penganut Kristiani taat dan setia menjadi berkat bagi sesama selama hidup dengan totalitas pengabdian.

Keempat, Enembe meninggalkan legasi indah tak hanya bagi negara ini melalui berbagai gebrakan besar memajukan tanah Papua demi keharuman nama Indonesia di tingkat nasional dan global. Ruang ini kian terbuka tatkala Papua memperoleh ruang formal melalui otonomi khusus dengan topangan dana jumbo.

Kelima, meski Papua merupakan wilayah dengan topografi sulit, di era kepemimpinannya saat berduet dengan wakil gubernur Klemen Tinal, mereka terkuras otaknya dan bekerja sehingga dana besar lewat kas otsus tak digerogoti aneka tangan tak kelihatan.

Tumbal kekuasaan

Namun, ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu. Praktik korupsi berlangsung lalu Enembe dan banyak pejabat Papua menjadi tumbal kekuasaan formal negara. Kemarahan Enembe dan warga Papua muncul saat Menko Polhukam Mahfud MD menyebut korupsi menjadi penyebab masyarakat tetap berada dalam kemiskinan.

Tak tanggung-tanggung Mahfud membeberkan, anggaran otsus dari pemerintah pusat sejak tahun 2001 senilai Rp 1000,7 triliun. Namun, anggaran itu tidak menjadi apa-apa sehingga rakyat di Papua tetap miskin “Marah kita ini, negara turunkan uang, rakyatnya miskin kayak gitu. 1000,7 triliun rupiah itu sejak otsus tahun 2001 (tidak menjadi apa-apa),” kata Mahfud usai kegiatan di Unisma, Jumat (23/9/2022)

Meski melahirkan protes terutama publik di Papua, Enembe menerima tudingan hingga mendekam dalam jeruji besi sebagai konsekuensi mandat formal rakyat yang telah mempercayakannya sebagai gubernur. Pengalaman awal pengabdian sebagai PNS di Kabupaten Merauke sejak 1997 dan sejumlah jabatan penting lainnya di tanah Papua adalah guru terbaik baginya dalam menghadapi situasi apapun.

Dukungan mayoritas masyarakat bumi Cenderawasih tetap menjadikan Enembe sosok bersahaja dan pribadi peka dalam setiap situasi. Ia tak sekadar dipandang sebagai representasi kehadiran pemimpin formal dan kultural bertangan dingin tak hanya di tanah Papua. Relasi harmonis yang dibangun dengan pemerintah pusat dan berbagai stakeholder membuat Enembe diterima di mana-mana.

Pengalaman semasa masih di kampung hingga meraih pendidikan tinggi melahirkan kepedulian sangat tinggi kepada generasi muda Papua. Ribuan putera-puteri asli Papua dikirim melanjutkan sekolah dan kuliah di berbagai kota studi di Indonesia dan seluruh dunia.

Enembe dan jajaran pemerintahannya memandang masa depan kemajuan Papua di tangan generasi asli dengan kualifikasi pendidikan dan kapasitas keilmuan mumpuni sebagai prime mover daerah. Papua juga mesti dibawa terbang melalui sentuhan anggaran otsus mengingat upaya memajukan masyarakat serta daerah bukan pekerjaan mudah yang hanya diselesaikan pemerintah dan masyarakat lokal.

Bagi Enembe, membangun Papua mesti dengan hati. Mengapa? Topangan sumber daya alam (SDA) Papua melimpah dan telah memberikan kontribusi bagi kemajuan negara. Enembe dan jajarannya sudah melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara dari Papua jauh sebelumnya.

Meski Enembe telah pergi selama menghadap Tuhan, Sumber Kehidupan, paling kurang semangatnya tetap bersemayam dalam hati pemerintah daerah dan generasi muda tanah Papua, potongan surga yang jatuh ke bumi. Meneruskan spirit Enembe mengabdi sepenuh jiwa, kerja keras, solider, dan saling mengasihi serta menghargai tanpa memandang latar belakang apapun adalah sisi lain humanisme yang mesti dirawat sebagai sesama anak bangsa. Bahagia di Surga, Pa Lukas Enembe. Wa wa wa….. (Terima kasih)

Tinggalkan Komentar Anda :