Dekolonisasi Mentalitas Kebangsaan - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Dekolonisasi Mentalitas Kebangsaan

Kasdin Sihotang, dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

INDONESIA akan merayakan ulang tahun Kemerdekaan ke-80 (1945-2025). Refleksi untuk memaknainya saatnya sejak dini. Dalam rangka itu langkah pertama perlu dilakukan adalah penyadaran situasi kekinian bangsa ini, dilanjutkan dengan memikirkan upaya mengatasi kondisi demikian. Hal ini penting tidak saja mengisi usia delapan dekade bangsa ini, melainkan juga titik sadar menyiapkan Indonesia Emas 2045.

Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya 80 tahun yang lalu. Dari segi usia, angka 80 menunjukkan tingkat dewasa yang matang. Idealnya, usia ini mengisyaratkan bahwa perilaku yang dominan adalah  otonom, mandiri, dan lebih rasional, serta berfungsi baiknya suara hati seperti diidentifikasi oleh Lawrence Kohlberg, ahli perkembangan moral. Baginya, usia tersebut sudah tergolong dalam level pasca konvensional. Ciri level ini ditandai dengan hidupnya kebebasan eksistensial.

Mentalitas Kolonialisme

Jika indikator Lawrence Kohlberg dikaitkan dengan situasi republik ini, masih jauh dari realitas sosial. Dunia kehidupan sosial, lebih-lebih politik dan ekonomi masih condong dikuasai oleh mentalitas kolonial itu. Bedanya hanya pada bentuk dan subjeknya. Kalau dulu pelakunya adalah orang asing, kini subjeknya adalah bangsa sendiri. Dan mengatasi ini lebih sulit secara psikologis, karena harus melawan saudara sendiri.

Namun mentalitas itu menjadi ancaman bangsa. Hal ini sangat jelas diafirmasikan oleh FX E Armada Riyanto, CM, seorang akademisi dalam bukunya Dekolonisasi: Filsafat-Metodologis Kesadaran tentang Liyan, Kekuasaan, dan Societas “Kita” (2025). Bagi Romo Armada, jejak-jejak kolonialisme itu masih terlihat jelas dalam tata hidup bersama di negeri ini. Berbagai faktisitas menguatkan sinyalemen mental kolonialisme itu.

Pertama, bangkitnya dominasi kelompok atas sudut-sudut ruang kehidupan bersama. Fenomena ini sangat menonjol dalam dunia usaha dan bisnis. Di berbagai daerah, terjadi penguasaan lahan masyarakat oleh kelompok berduit dan dekat dengan kekuasaan. Mereka mengandalkan harta kekayaannya untuk menguasai, bahkan merampas hak milik masyarakat. Karena punya uang, mereka juga menggunakan alat negara demi langgengnya bisnisnya, kendati merusak ekosistem alam. Satu fakta untuk ini adalah pembabatan hutan secara membabi buta di beberapa daerah.

Kedua, gaya penguasaan dengan politik “devide et impera”. Tindakan ini sering menggunakan model kolonialisme demi mengumbar hasrat dan memanfaatkan sekelompok masyarakat setempat sebagai tameng, persis seperti politik yang diterapkan pada zaman kolonial, pecah dan kuasai. Mereka membayar sejumlah anggota masyarakat setempat untuk memuluskan hasrat rakusnya mendapatkan keuntungan dari eksploitasi hutan asri dan indah di wilayah masyarakat.

Fenomena demikian mencuat akhir-akhir ini di beberapa daerah. Yang paling terbaru dan hangat adalah apa yang terjadi di Raja Ampat, tanah Papua dan di daerah Toba umumnya, khususnya di Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara akhir-akhir ini. Persis seperti apa yang dituliskan oleh Haryatmoko dalam bukunya Dominasi Tipu Muslihat (2021), bahwa di sana pebisnis menggunakan segala tipu muslihat untuk mendominasi tanah rakyat dan mengambil keuntungan darinya dengan membabat pohon-pohon di sekitarnya tanpa peduli keselamatan alam dan masa depan generasi berikutnya.

Ketiga, bangkitnya liyan-liyan (orang lain dan asing) akibat modus “kami” dan “kamu”. Terkait dengan kedua, situasi sosial kita sekarang adalah semakin meningkatnya orang yang merasa terasing dari dan di lingkungannya sendiri. Banyak anggota masyarakat menjadi liyan di tengah kehidupan sosial. Liyan itu terbentuk karena pengkotak-kotakan dengan aneka alasan: agama, suku, ras, kepentingan bisnis, golongan dan politik, yang semua ini merupakan bentuk baru kolonialisasi di negeri ini.

Bahkan dalam mewujudkan kepentingan, liyan-liyan dilupakan, disingkirkan, bahkan kehadirannya ditolak sebagai bagian diri satu bangsa, satu nusa dan satu tanah air, dengan alasan tidak sejalan, tidak sesuku, tidak seagama, tidak separtai, tidak sekepentingan dan sekeinginan dengan mereka, kendati sesungguhnya liyan itu satu kesatuan dengan dirinya sebagai sesama bangsa. 

Terhadap mereka, yang punya kekuatan dan dekat dengan pejabat memutus rantai relasi dengan mereka dan mengubur rasionalitasnya dengan jargon “kami” dan “kamu”. “kami” hanyalah mereka yang sejalan, searah, sekepentingan, seiman; di luar itu adalah “kamu”, yang jauh di seberang sana. Buahnya adalah tumbuh suburnya sikap eksklusif dalam bentuk label-label tertentu, sikap intoleransi, dan perlakuan tidak adil. Semua ini wujud nyata mental kolonial dalam bentuk baru.

Keempat, bangkitnya naluri menjinakkan dalam pendidikan, lebih-lebih di perguruan tinggi. Lihatlah bagaimana perlakuan dan cara pandang pengambil kebijakan di level pendidikan tinggi tentang “scopus”. Ada pendewaan “scopus” dengan menjadikannya sebagai kriteria utama Indeks Kinerja Utama dosen, padahal di balik itu ada kapitalisasi, eksploitasi, dan alienasi. 

Pengambil kebijakan secara sadar atau tidak ikut memberi ruang bagi ketiga hal itu, yang justru antitesis dari roh pendidikan, lebih esensi pendidikan tinggi. Sulit diterima akal sehat bahwa para dosen atau peneliti dan institusi harus membayar puluhan juta untuk menjadikan karya tulisnya menjadi hak milik orang asing yang beridiologi kapitalistik.

Tidak hanya berhenti di situ, para dosen dan peneliti pun tidak lagi menjadi pemilik karya ilmiah itu setelah dipublikasi, melainkan ia harus membayar lagi agar bisa mensitasi karya sendiri itu. Di sini terjadi persis seperti apa yang dikatakan oleh Karl Marx dalam Das Kapital, yakni terjadinya eksploitasi dosen dan alienasi terhadap hasil pekerjaannya. Para guru besarpun tidak berdaya melawan itu karena di sana hadir kekuatan menjinakkan. Semua ini merupakan bentuk merajalelanya mental kolonialisme di bidang pendidikan tinggi, padahal menurut Paulo Freire, pendidikan itu seharusnya membebaskan, bukan menjinakkan.

Kehilangan Modus ”Kita”

Indonesia sesungguhnya adalah “kita”, yang tidak lain adalah perjumpaan “aku” dan “engkau” dalam relasi bersama. Karena itulah kebangsaan adalah perjumpaan intersubjektivitas (aku dan engkau), seperti dikatakan oleh Martin Buber. Setiap orang adalah “aku” dan “engkau”. Ini mengisyaratkan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sederajat, peran yang sama, dan hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi ruang-ruang hidup di negeri ini. 

Republik Indonesia justru terbentuk hanya karena kesatuan “aku” dan “engkau”, dilatarbelakangi pengalaman sejarah yang sama. Bangsa Indonesia adalah “aku” dan “engkau”. Keduanya adalah manusia yang berharga, bersatu karena perjuangan yang sama membebaskan bangsa ini dari kolonialisme.

Dengan kesamaan aneka latar itulah seyogianya ungkapan Martin Heidegger, yakni Alles das Sein ist Mitsein in der Welt, (Ada bersama dengan yang lain dalam dunia (baca: bumi Indonesia) perlu sungguh-sungguh disadari oleh setiap orang Indonesia, karena itulah hakikat bangsa ini. Di sana seharusnya ada dialog antar masyarakat, pengakuan terhadap kebhinekaan budaya, suku, agama dan ras, kepedulian yang besar terhadap kelestarian alam Indonesia yang kaya.

Namun modus “kita” sebagai cita-cita ideal itu jauh dari realitas kehidupan bersama. Yang tampak kasat mata adalah tampilan manusia Indonesia yang “homeless” (tak punya tempat berteduh) seperti terjadi di Humbang Hasundutan, liyan yang terpenjara dalam kerangkeng besi kemiskinan buah apatisme dan keserakahan pejabat dan pebisnis, rasa kesepian dan keterasingan yang akut di tengah hiruk pikuk pembangunan fisik dan kehadiran mall-mall serta waralaba lainnya, dan belenggu kebodohan karena kurang merata dan terbukanya akses bagi pendidikan, kehancuran alam seperti disebutkan di atas, yakni di Raja Ampat, di Parlilitan, dan di tempat lain buah nafsu serakah pejabat dan pebisnis. Masyarakat setempat hanya menjadi liyan-liyan yang tidak berdaya menghadapi  situasi ini. Semua ini wujud kolonialisme bentuk baru.

Upaya Dekolonisasi Mental

Untuk mengatasi kenyataan menyedihkan itu dekolonisasi mental menjadi salah satu jalan, yakni dengan kesadaran moral bersama dan berfungsinya rasionalitas. Wujudnya dengan berbagai upaya berikut. Pertama, pentingnya kepekaan atau kesadaran moral bersama. Seperti dinyatakan di atas bahwa situasi nyata di sekitar kita masih banyak terbelenggu oleh buah sikap kolonialisme. Bahwa ada orang terpinggirkan, bahwa ada orang yang terasing, bahwa ada orang disingkirkan karena alasan yang tidak masuk akal.

Bahwa masyarakat menderita karena ulah perusak lingkungan dan pembalak hutan. Konkretnya sikap eksklusif, intoleran, ketidakadilan, dan perilaku dehumanis, serta berpikir picik dan sempit masih menghiasi hidup republik ini. Ini adalah buah kolonialisme. Hanya dengan kesadaran moral yang mumpuni dan pengakuan akan societas kita serta fungsi maksimal rasional mampu menghentikan, minimal mengurangi mentalitas kolonialisme bentuk baru itu.

Kedua, pentingnya kesadaran peran setiap pribadi demi kemajuan bangsa. Presiden USA John F Kennedy terkenal dengan ucapannya, “jangan tanyakan apa yang diberikan negara terhadapmu, tetapi tanyakanlah apa yang kau berikan kepada negara”. Ucapan menggugah John Kennedy ini mengingatkan kita tentang pentingnya peran serta setiap individu terlibat dalam pembangunan bangsa ini.

Setiap warga negara di republik ini bertanggung jawab untuk memajukan bangsa ini. Ia memiliki andil dan peran yang sama ambil bagian untuk tujuan itu sesuai dengan bidangnya, karena ia adalah bagian dari bangsa ini dan hidup dari negeri ini. Mengupayakan kemajuan itulah seyogianya menjadi perhatian setiap warga, lebih-lebih mereka yang berpendidikan tinggi dan berlabel peneliti dan ilmuwan serta akademisi. Dalam hal ini apa yang dikatakan oleh Paulo Freire, yakni konsientisasi penting.

Ketiga, bangkitnya pola pikir filosofis. Pola pikir ini tumbuh dan berkembang ketika daya nalar kritis bangkit. Pola pikir ini memberangus mental kolonialisme. Karena itu, menghadirkan filsafat secara lebih intensif dalam dunia pendidikan, tidak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga menyentuh pendidikan dasar dan menengah urgen untuk mendegradasi mental kolonial.

Franz Magnis Suseno menyatakan dalam bukunya Filsafat sebagai Ilmu Kritis (1992) bahwa filsafat justru membangkitkan daya nalar dan kritis, yang tidak percaya pada realitas begitu saja, tetapi mencermatinya. Hidupnya pola pikir kritis menjadi jalan menumbuhkan pikiran jernih. Menurut Sindhunata dalam Teori Kritis Sekolah Frankfurt (2025), pola pikir ini diperlihatkan pemikir Max Horkheimer dan Theodore A Adorno sebagai upaya dekolonisasi mental.

Keempat, bangkitnya kesadaran tentang otonomi diri dan bangsa. Memang di era digital ini, keterhubungan satu sama lain tidak bisa dimungkiri. Namun situasi relasional yang intensif itu bukanlah pembunuh kemampuan berpikir dan menentukan diri. 

Immanuel Kant, filsuf Jerman mengatakan bahwa dalam diri manusia ada otonomi moral, dan kemampuan ini justru menjadi kekuatan yang paling berharga manusia, karena dengannya manusia menunjukkan hakikat kemanusiaannya. Artinya otonomi moral adalah kekuatan dalam dekolonisasi mental itu sehingga orang tidak menjadi pembeo. Sebagai bangsa, kesadaran otonomi diri dan bangsa sebagai berdaulat perlu hadir di umur 80 tahun republik ini.

Dari paparan di atas, demi terciptanya bangsa yang bermutu empat hal hal di atas menjadi upaya konkret untuk menghentikan mentalitas kolonialisme baru di negeri ini. Singkatnya, kesadaran diri sebagai subjek dan bangsa yang merdeka, mandiri, berkedaulatan, sikap kritis dan berpikir jernih merupakan upaya untuk dekolonisasi mental di tengah masyarakat. Semoga.

Tinggalkan Komentar Anda :