Oleh Ben Senang Galus
Pengamat masalah Papua, tinggal di Yogyakarta
PROGRAM transmigrasi di Indonesia berlangsung sejak pemerintahan kolonial Belanda (1905-1941). Tujuan pemerintah kolonial Belanda melakukan transmigrasi penduduk hanya sebagai proses perpindahan penduduk miskin dari suatu pulau ke pulau lain dengan biaya pemerintah untuk kebutuhan hidup dan keperluan pengolahan lahan.
Hal ini kemudian dikenal dengan sebutan “politik balas budi” agar Belanda tidak dikritik dunia karena tidak memperhatikan kesejahteraan daerah jajahannya. Di balik itu, pelaku kolonisatie yang disebut kolonis terkena sistem hutang.
Sistem ini diterapkan mulai tahun 1912 untuk membayar biaya hidup yang diberikan pemerintah kolonial dengan hasil pertanian, sehingga nasib rakyat menjadi semakin menyedihkan.
Transmigrasi merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka pemecahan masalah kependudukan, pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Transmigrasi dapat dipahami sebagai perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduknya ke area wilayah pulau lain yang penduduknya masih sedikit atau belum ada penduduknya.
Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai oleh pemerintah bagi warga yang umumnya golongan menengah ke bawah (Yosi Nova, 2016). Pemindahan penduduk ini sudah mulai dilaksanakan sejak zaman kolonial. Pemerintahan Indonesia baru mulai melanjutkan program ini dari tahun 1950.
Program transmigrasi merupakan jalan yang ditempuh untuk mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakmerataan penduduk. Program transmigrasi dianggap sebagai sarana pembangunan yang penting.
Seiring dengan perkembangan pembangunan di daerah yang cukup pesat, dan juga perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui kebijakan otonomi daerah, pulau-pulau yang tadinya menjadi tujuan program transmigrasi telah berkembang dan harus dibatasi penerimaan transmigran. Bahkan yang berkembang adalah penduduk Pulau Sumatera sekarang menjadi objek yang akan mengikuti program transmigrasi.
Terancam punah
Kebijakan transmigrasi oleh Pemerintah Indonesia ke Papua menuai protes dan penolakan. Berbagai gelombang protes penolakan datang dari Dewan Adat Meepago, lembaga adat wilayah budaya Meepago, Provinsi Papua Tengah, Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Aplim-Apom (Komapo) serta Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Papua.
Bagi pihak pemerintah (pro) berargumen, program transmigrasi untuk memindahkan penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya. Program ini bertujuan untuk pemerataan penduduk dan kesatuan.
Selain itu pemerintah berargumen, penduduk yang ditransmigrasikan kehidupannya dapat lebih baik secara ekonomi, meningkatnya produksi, terutama di bidang pertanian, dapat mempercepat pemerataan penduduk, mengurangi jumlah pengangguran, terutama bagi mereka yang ditransmigrasikan, mendukung ketahanan pangan, mendukung kebijakan energi alternatif, mendukung pemerataan investasi, mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan, penyelesaian kemiskinan.
Bagi orang Papua, transmigrasi dapat berdampak buruk terhadap budaya setempat melalui akulturasi, asimilasi, atau difusi budaya. Budaya bagi orang Papua adalah cara hidup yang diwariskan kepada generasi selanjutnya dan terbentuk dari beberapa unsur seperti bahasa, adat istiadat, karya seni, dan sistem politik serta agama.
Budaya lokal di Papua dapat terancam punah oleh budaya transmigrasi, budaya asli dapat mengalami perubahan dalam ritualnya. Persaingan dalam berwirausaha atau mencari pekerjaan semakin besar. Orang Papua akan diterjang ke pinggiran dan mereka akan menangisi kebudayaannya. Orang Papua akan tercabut dari akar budayanya.
Demikian pula orang Papua terputus hubungan dengan leluhurnya, hutannya bahkan sungainya. Bagi orang Papua, hutan sebagai sumber kehidupan, lambang kemartabatan, harga diri, dan lambang keagungan ciptaan Tuhan. Hutan, gunung, sungai, bagi orang Papua sebagai humanitatem glorificamus, lambang kemuliaan, memuliakan kemanusiaan Papua.
Ada beberapa dampak buruk dari program transmigrasi ke Papua. Pertama, munculnya kesenjangan atau terputusnya hubungan antar generasi budaya dapat membawa akibat runtuhnya peradaban perkembangan kebudayaan Papua, oleh karena itu kehidupan orang Papua saat ini maupun ke depan diperkirakan tidak mempunyai akar sejarah dengan peradaban masa lampau yang religius dan humanis.
Kedua, warga bangsa Papua akan mengalami penipisan perasaan kolektif dan telah mengalami disharmoni dengan leluhurnya, dengan sumber daya hutan, sungai gunung. laut. Lebih-lebih dengan sesama manusia.
Ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa proses dinamisasi dan peningkatan, kreativitas terjadi pula di kalangan masyarakat. Masyarakat dihadapkan pada tantangan kehidupan sehari-hari yang serba sulit, sehingga mau tidak mau harus berusaha untuk survive, ditambah lagi suatu kemungkinan terjadinya involusi kebudayaan, yaitu kecenderungan sebagian masyarakat semakin eksklusif bahkan terhempas dengan hubungan antar mikrokosmos dan makrokosmos.
Keempat, dengan perubahan yang begitu cepat dapat menyebabkan timbulnya gejala disorientasi kultural, yakni lapisan dalam kebudayaan Papua “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference telah mengalami kematian seperti moral, peradaban, dan etika.
Hubungan moral dengan pencipta akan tergerus oleh arus kuat budaya transmigrasi (perubahan dadakan, gaya hedonisme di kalangan transmigram) yang bagi orang Papua suatu hal yang sangat “haram”.
Dalam masyarakat luas Papua akan terjadi penjungkirbalikan peradaban. Peradaban Papua akan punah seiring masuknya budaya transmigrasi yang glamor. Etika hubungan dengan leluhur, hutan, sungai, dan gunung akan lenyap.
Kolonisasi kehidupan
Herman Wainggai, dalam tulisannya, Transmigrasi Sebagai Alat Kolonisasi di Melanesia Barat (Papua Barat), mengatakan, dalam konteks West Melanesia, program transmigrasi telah berfungsi sebagai kendaraan untuk kolonisasi, memfasilitasi pemindahan populasi asli dan penempatan pemukim Indonesia di tanah warisan. Ia menambahkan, transmigrasi sering melibatkan penguasaan tanah yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas Melanesia.
Pemerintah biasanya menggunakan celah hukum dan tindakan paksa untuk memindahkan orang-orang asli, dengan klaim bahwa tanah tersebut “kosong” atau “kurang dimanfaatkan.” Proses ini tidak hanya menghilangkan hak Melanesia atas tanah warisan mereka, tetapi juga mengganggu mata pencaharian dan praktik budaya mereka (nirmeke.com, 1/11 2024).
Transmigrasi ke Papua tidak dipahami sebagai sebuah transformasi sejumlah pengetahuan baru dalam bidang pertanian, peternakan, dan lain-lain bagi orang Papua. Akan tetapi lebih meminjam istilah Jurgen Habermas (1987) adalah kolonisasi kehidupan atau kolonisasi lifeworld.
Kolonisasi lifeworld ala Habermas dipahami sebagai berikut. Pertama, proses migrasi yang dilakukan untuk menambah kekayaan. Kedua, proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan baru, yang bagi orang Papua akan mengalam gegap budaya di tanah Papua.
Ketiga, program memindahkan penduduk untuk menetap di daerah tujuan tanpa keinginan untuk kembali ke daerah asal. Keempat, sekumpulan bakteri atau mikroorganisme yang akan ditemukan pada tubuh manusia, tumbuhan, hewan, atau benda yang ada di sekitar manusia.
Kelima, penyebaran penyakit seperti HIV/AIDs, dan berbagai macam virus yang akan menyerang manusia Papua. Persoalan ini menjadi ancaman punahnya etnis Melanesia Papua. Apakah pemerintah tidak memikirkan dampak buruk ini? Fokus utama Habermas tetap mengenai tindakan komunikatif.
Komunikasi yang bebas dan terbuka tetap merupakan garis dasar teoritis Habermas maupun tujuan politisnya. Komunikasi tersebut juga mempunyai fungsi metodologis, banyak miripnya dengan tipe-tipe ideal Weber, yang memungkinkan dia menganalisis variasi-variasi dari model itu: penyusunan wacana yang tidak terbatas dan tidak terdistorsi dapat membantu paling baik sebagai sebuah kertas perak yang berguna untuk mempercantik secara lebih mencolok tendensi-tendensi perkembangan di dalam masyarakat modern yang agak ambigu.
Sebenarnya, perhatian utama Habermas di dalam kolonisasi dunia-kehidupan adalah pada cara-cara proses itu mempengaruhi dengan kurang baik komunikasi yang bebas. Habermas juga tetap menaruh perhatian pada proses rasionalisasi Weberian, khususnya isu mengenai rasionalisasi diferensial dunia-kehidupan dan sistem, dan dampak perbedaan itu pada kolonisasi dunia-kehidupan oleh sistem.
Di dalam istilah Weberian, sistem adalah ranah rasionalitas formal, sementara dunia-kehidupan adalah tempat rasionalitas-substantif. Oleh karena itu, kolonisasi dunia-kehidupan meliputi suatu pernyataan kembali tesis Weberian bahwa di dalam dunia modern, rasionalitas formal sedang berjaya atas rasionalitas substantif dan akhirnya mendominasi wilayah-wilayah yang sebelumnya didefinisikan oleh rasionalitas substantif.
Dengan demikian, meskipun teori Habermas telah mengambil gerak kembali yang baru yang menarik, ia mempertahankan akar-akar teoritisnya, khususnya di dalam orientasi Marxian dan Weberian.
Konsep ini secara umum berasal dari sosiologi fenomenologis, khususnya teori-teori Alfred Schutz (Bowring:1996). Tetapi Habermas menafsirkan ide-ide George Herbert Mead yang juga turut menyumbang untuk wawasan dunia-kehidupan. Bagi Habermas, dunia-kehidupan menggambarkan suatu perspektif internal: masyarakat dipahami dari perspektif subjek yang bertindak (1987a:117). Oleh karena itu, hanya ada satu masyarakat; dunia-kehidupan dan sistem hanyalah cara-cara yang berbeda untuk melihatnya.
Habermas memandang dunia-kehidupan dan tindakan komunikatif sebagai konsep-konsep komplementer. Secara lebih spesifik, tindakan komunikatif dapat dilihat sebagai hal yang terjadi di dalam dunia-kehidupan. Dunia-kehidupan adalah suatu latar belakang yang membentuk konteks proses-proses pencapaian pengertian melalui tindakan komunikatif (Habermas, 1987a:204). Ia melibatkan sederetan luas dugaan-dugaan yang tidak diucapkan tentang pengertian bersama yang harus ada dan dimengerti secara bersama agar terjadi komunikasi.
Habermas memperhatikan rasionalisasi dunia kehidupan yang melibatkan komunikasi yang semakin rasional di dalam dunia kehidupan. Dia percaya bahwa semakin rasional dunia kehidupan, interaksi semakin mungkin untuk dikendalikan oleh pengertian bersama yang dimotivasi secara rasional.
Metode rasional yang digunakan untuk mencapai konsensus pada akhirnya didasarkan pada otoritas argumen yang lebih baik. Rasionalisasi dunia-kehidupan melibatkan diferensiasi progresif berbagai unsurnya. Dunia-kehidupan terdiri dari kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Di mana ketiga unsur tersebut merupakan satu pola yang saling mempengaruhi.
Keterlibatan di dalam tindakan komunikatif dalam rangka mencapai pengertian bersama mendorong ke arah reproduksi dunia kehidupan melalui penguatan kembali kebudayaan, pemaduan masyarakat, dan pembentukan kepribadian. Komponen-komponen tersebut terkait erat di dalam masyarakat-masyarakat kuno, rasionalisasi dunia-kehidupan mengandung pembedaan yang tumbuh di antara kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian.
Sangat penting untuk pemahaman ide kolonisasi transmigran di Papua adalah fakta bahwa masyarakat terdiri baik dunia-kehidupan maupun sistem. Sementara kedua konsep tersebut terjalin erat dalam sejarah yang lebih awal dari manusia lainnya di Indonesia, sekarang ada perbedaan yang semakin bertambah di antara orang Papua: mereka menjadi terpisah dari alamnya kehidupannya.
Meskipun keduanya telah mengalami proses rasionalisasi namun proses tersebut telah mengambil bentuk-bentuk yang berbeda di dalam kedua latar itu. Latar itu ialah bumi tempat mereka hidup, hutan tempat mereka berdialog dengan sang transenden. Relasi antar manusia sebagai relasi imanen yang sungguh sangat kuat.
Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah menghentikan program transmigrasi ke Papua. Apalagi, tujuan itu untuk menumbuhkan kolonisasi baru di tanah Papua. Kolonisasi akan berdampak buruk terhadap manusia Papua. Dan lebih jahat lagi akan memusnahkan peradaban manusia Papua. Semoga!