JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia H. Sulaeman L Hamzah tampil sebagai pembicara dalam diskusi buku berjudul Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya karya sejarahwan Jakarta Thomas B Ataladjar di Hotel Marcopollo, Jakarta, Minggu (16/1). Demikian keterangan tertulis yang diperoleh Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (17/1).
Sulaeman Hamzah, anggota Fraksi NasDem DPR RI Daerah Pemilihan Papua dua periode adalah salah seorang tokoh Lembata di balik sukses Lembata menjadi daerah otonom tahun 1999. Saat persiapan awal pengesahan Lembata menjadi daerah otonomi baru tahun 1999, ia duduk sebagai anggota MPR RI Utusan Daerah Papua periode 1999-2004.
”Di hotel ini, 21 tahun lalu sejumlah sesepuh dan tokoh Lembata di Jakarta kita pernah berkumpul bersama para delegasi dari kampung halaman. Hari ini kita napak tilas proses perjuangan Lembata menjadi daerah otonom sesuai cita-cita para pejuang sejak tahun 1954,” ujar Sulaeman Hamzah, yang juga Ketua Masyarakat Flobamora Provinsi Papua.
Tokoh masyarakat Lembata kelahiran Lewotolok, Ile Ape ini mengaku saat menjadi anggota MPR Utusan Daerah Papua periode 1999-2004, ia melakukan komunikasi intens dengan Drs Stanis Atawolo, Pembantu Bupati Flores Timur Wilayah Lembata agar mempersiapkan semua persyaratan.
“Alhamdulilah. Melalui Pak Stanis Atawolo, semua persyaratan kita penuhi. Saat Bapak Jendral Pol Anton Tifaona bersama delegasi hendak bertemu Menteri Dalam Negeri melalui Dirjen Otonomi Daerah Pak Profesor Ryass Rasyid, Pak Ryass menyampaikan tak ada masalah karena Lembata sudah pasti menjadi kabupaten baru Oktober 1999,” ujar Sulaeman Hamzah.
Thomas mengakui buku itu berisi jejak tapak sejarah Lembata dari sejumlah tonggak dan serpihan sejarah, yang pernah menghiasi titian perjalanan kabupaten itu sejak zaman nirleka (pra-aksara) yang sekaligus melatarbelakangi ikwal sejarah panjang perjuangan rakyat daerah itu sukses mencapai otonomi lepas dari Flores Timur, kabupaten induk.
Satu hal yang tidak mungkin dibantah, ujar Thomas, adalah bahwa Lembata menjadi kabupaten, itu merupakan salah satu poin dari rentang perjalanan sejarah Lembata. Artinya, tidak bisa lepas dari periodisasi sejarahnya sebelum menjadi kabupaten.
Ia menambahkan, buku ini dipartisi hanya dalam dua bagian, yang masing-masing bagian disusun berdasarkan bab-bab yang berbeda. Bagian pertama menyajikan tentang Lomblen era prasejarah termasuk kisah migrasi leluhur serta asal usul manusia penghuni berdasarkan kisah tutur yang bisa diperoleh, sekaligus mitos dan legenda yang melekat dan menghiasinya. Bagian ini termasuk memuat penelitian hasil usaha para arkeolog yang telah menemukan benda-benda purbakala serta sejumlah situs prasejarah Lomblen (kini Lembata) yang memberikan petunjuk bahwa Lembata itu telah berpenduduk dan mempunyai peradaban sejak zaman nirleka.
“Entitas masyarakat Lomblen secara geografis dan kultural serta kajian arkeologis berdasarkan penemuan situs-situs purbakala yang ditemukan, telah ada sejak lebih dari 1.000-4.000 tahun sebelum Masehi. Masa inilah yang disebut masa prasejarah, termasuk fase migrasi suku-suku masuk ke Lomblen. Juga dibahas tentang Sina Jawa-Malaka, Seran Goran Abo Muar, Lepan Batan-Kroko Puken serta bencana Kroko Puken dan Awololo; juga tentang agama asli leluhur Lera Wulan Tana Ekan (Tuhan Penguasa Langit dan Bumi) serta aneka ritus budaya lainnya,” ujar Thomas, penulis buku-buku sejarah DKI Jakarta, Kepulauan Seribu, Banten, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sumatera Barat.
Sedangkan bagian kedua menyajikan Lomblen memasuki era sejarah ditandai dengan masuknya dua agama wahyu Islam dan Katolik di Lomblen. Pada bagian kedua ini, diulas sejumlah topik seperti Kedang dan Labala: gerbang masuknya agama Islam; mengupas khusus tentang masuknya agama Islam ke Lomblen lewat dua pintu gerbangnya Labala dan Kalikur dibawa penyebar agama Islam dari Palembang, Jawa, Ternate, Tidore, Makasar dan Sumatera Barat. Yang kemudian memunculkan koalisi atau komunitas kerajaan Islam Solor Watan Lema, yang dibentuk kerajaan Islam Lamahala, Terong, Lohayong, Lamakera dan Labala, untuk membendung pengaruh dan mengusir bangsa Portugis di abad 16-17 di Kepulauan Solor.
Sedangkan Sulaeman mengatakan, isi buku ini dapat dijadikan materi muatan lokal di sekolah-sekolah di Lembata. Buku itu juga bisa jadi sumber referensi mahasiswa asal Lembata yang sedang menimba ilmu di perguruan baik di NTT maupun di luar daerah menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya sejarah. Thomas dikenal sebagai penulis Ensiklopedia Nasional Indonesia dan buku-buku sejarah Jakarta, Banten, dan Sumatera Barat.
Menurut Thomas buku karyanya itu diharapkan menjadi salah satu sumbangsih penulis selaku putra asli Lembata menyikapi situasi perjalanan pembangunan tanah kelahirannya selama kurun waktu 20 tahun terakhir. Buku tersebut ditulis untuk menjernihkan sejarah Lembata selama ini.
Buku itu sekaligus juga bertujuan memastikan tidak terjadi penyimpangan sejarah, arah serta tujuan pembangunan Lembata di masa mendatang. Lembata dikenal luas sebagai salah satu pulau kecil di NTT penghasil misionaris yang mengabdi di hampir lima benua, gudang penulis, wartawan, guru, dan aneka profesi lainnya yang mengabdi tak hanya di Indonesia tapi juga mancanegara.
“Saya sepakat isi buku ini dijadikan silabus lalu dicetak kemudian jadi muatan lokal di sekolah-sekolah di Lembata. Saya akan membantu agar kita semua bertanggungjawab terhadap masa depan sumber daya manusia di Lembata yang berdaya saing menghadapi persaingan global,” ujar Sulaeman Hamzah, yang juga memberi sambutan dalam buku itu.
Buku setebal 552 halaman tersebut diberi kata pengantar Prof Dr Alo Liliweri MS, Guru Besar Ilmu Komunikasi Budaya Universitas Nusa Cendana Kupang dan epilog ditulis Dr Yoseph Yapi Taum, M. Hum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta serta editor buku Anzis Kleden, penulis dan wartawan senior kelahiran Waibalun, Flores Timur. Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Direktur Jendral Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Drs Akmal Malik.
Diskusi terbatas dengan prokes Covid-19 dihadiri sejumlah akademisi seperti Dr Josef Laba Sinuor, Dr Gorys Lewoleba, Petrus Bala Pattyona, SH, MH, Matias J Ladopurab, SH, MH, dr Maxi Ladopurab, Maria Namang, dan Alexander Aur Apelaby serta Letkol TNI-AL Fidelis Betekeneng, putra pejuang dan pencetus Statemen 7 Maret 1954 Alm Petrus Gute Betekeneng (guru Gute) dan tokoh otonomi Paulus Doni Ruing dan Jerry Sabaleku.
Diskusi dipandu Robert Bala, guru yang juga seorang penulis buku dan dihadiri sejumlah wartawan seperti Ansel Deri, Benjamin Tukan, Paskalis Bataona, John Laba Wujon, Pius Klobor serta sejumlah aktivis muda seperti Heri Tanatawa Purab, Willy Keraf, Antonius Ledun, dan Eric Langobelen. Buku karya Thomas menurut rencana akan diluncurkan dalam sebuah seminar di Hadakewa, Lembata. (Riky Tukan/Odiyaiwuu.com)