Oleh Alex Runggeary
Alumnus AIM Manila 1990 dan ZOPP, Berlin, Jerman 1991
HARI ini, Kamis, 17 Agustus 2023 kita merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia. Kita bebas, tak dikekang siapapun. “Merdeka……!”. Kita salut atas keberhasilan pembangunan di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kita patut bersyukur telah mencapai hasil-hasil itu. Walaupun ukuran keberhasilan itu umumnya disampaikan secara kualitatif.
Berbicara kualitatif, pembangunan di Papua khususnya masih menyisakan berbagai pesimisme bagi mereka yang menuntut —ukuran kuantitatif— seperti saya. Khususnya program pembangunan dengan dana otonomi khusus. Secara kualitatif berbagai pihak dapat saja menglaim bahwa pembangunan di Papua berhasil tanpa dapat menunjukkan, apa, berapa, di mana, kapan, dari mana sampai ke mana keberhasilan itu telah dicapai.
Pelbagai upaya telah dilakukan pemerintah. Namun, hasil yang diharapkan belum juga terwujud. Padahal, sudah 20 tahun lebih kita melakukan pembangunan dengan dana otsus dengan jumlah triliunan itu. Lalu apa yang salah?
Pak Jokowi punya concern yang sama dengan mereka seperti pertanyaan yang terus bergelaytu: “apa yang salah?” Pemerintah menerbitkan beberapa Peraturan Presiden (Perpres) dengan harapan dapat memperbaiki keadaan.
Perpres Nomor 121 Tahun 2022, 21 Oktober 2022 tentang Pembentukan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang dipimpin ketuanya Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin diharapkan dapat menjawab pertanyaan serupa, apa yang salah?
Secara organisasi ini menjawab salah satu aspek penting dalam hal otoritas mengendalikan pembangunan yang dinilai tak becus. Wakil Presiden sebagai Ketua bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Ini juga menunjukan kesungguhan pak Jokowi ingin ada perbaikan kerja dari cara lama yang dinilai tak berhasil. Dengan upaya meningkatkan fungsi, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi program pembangunan, masalah yang kita hadapi mendapatkan solusinya
Namun, diakui atau tidak, kita terjerat dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-Undang ini mengamanatkan kewenangan program pembangunan diserahkan dan dikelola di daerah.
Kalau sekarang ada BP3OKP yang jelas jelas ‘menarik kembali kewenangan Daerah kembali ke Pusat’ dalam satu dan lain bentuk. Timbul pertanyaan berikut, mengapa? Jawabannya seperti telah disinggung di atas adalah bentuk mencari jawaban terhadap pertanyaan “apa yang salah”
Maka terjadilah dualisme (i) ‘power’ kembali ke tingkat organisasi teratas dan (ii) komando lapangan dalam hal ‘operasional pembangunan dan anggaran’ tetap dalam ‘genggaman’ daerah. Namanya juga otonomi khusus.
Itu tugas yang rumit bagi Presiden baru tahun 2024. Saya percaya selalu ada jalan keluar selama tidak ditumpangi pikiran sempit. Pak Jokowi telah membuktikan itu.
Anyway, ‘kekacauan’ yang terjadi sekarang itu akibat dari latar belakang otonomi khusus yang menitikan beratkan faktor politik, bagaimana Papua tidak terlepas dari Indonesia. Ingat 100 utusan Papua yang menghadap Presiden BJ Habibie kala itu? Mereka minta Papua Merdeka tetapi akhirnya diberikan otonomi khusus.
Di sisi lain kita diperhadapkan dengan nilai kemanusiaan bagaimana membangun rakyat Papua agar sejahtera. Sampai di sini seharusnya tidak ada masalah. Mengapa? Justru membangun rakyat Papua yang sejahtera juga sekaligus membantu dalam urusan ketahanan nasional.
Rakyat yang sejahtera akan berpikir dua kali untuk merdeka. Dan ingat! Dalam sejarah dunia pemberontakan rakyat dimulai dari bibit kemiskinan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-78! Terima kasih, Pak Jokowi.