Selama Jalan Musa Papua, Bapa Thomas Beanal
OPINI  

Selama Jalan Musa Papua, Bapa Thomas Beanal

Direktur Eksekutif United Libertion Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk. Sumber foto: antaranews.com, 8 Maret 2015

Loading

Oleh Markus Haluk

Direktur Eksekutif United Libertion Movement for West Papua

KUMPULKANLAH pasir di lautan menjadi gunung besar. Berteriaklah dari puncak Gunung itu tentang penderitaan dan penyelamatan nasib bangsamu supaya keluargamu, rakyat, dan  pemimpin melanesia, pasifik, dan dunia mendengarkannya dan membantu menyelamatkanmu

Syukur bagi-Mu, Tuhan!

Hari ini, Sabtu, 3 Juni 2023, kita sedang berkumpul di sini, di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, Mimika, Papua untuk mendoakan dan mengantar jenazah, Bapa Bangsa Papua, Thomas (Tom) Beanal ke tempat peristerahatannya yang terakhir.

Hari ini juga dari tanah Amungsa, kami harus menyampaikan bahwa salah satu tiang utama Bangsa Papua telah patah, setelah hampir 13 tahun terakhir (2010-2023) jatuh bangun melawan sakit penyakit yang dideritanya di tengah keluarga dan rakyat bangsa Papua.

Sakit penyakit yang diderita oleh Bapa Tom Beanal sesungguhnya dimulai dari awal 2004-2008 melalui proses pembunuhan sistematis, melalui racun yang dicampuri dengan air putih yang dikonsumsinya di salah satu hotel di Jakarta dengan target melumpuhkan saraf, daya ingat hingga stroke.

Tom Beanal terlahir sebagai salah satu anak Papua yang jujur, pintar, dan bijaksana. Ia memiliki integritas yang tinggi. Dalam pilihan politik hidup, berdiri, dan berpihak kepada yang lemah dan tidak berdaya.

Sebagai seorang pastor awam (pastor berkeluarga), pada masanya, ia tidak hanya berkotbah tentang Kristus dari atas mimbar. Ia berjalan kaki dari rumah ke rumah, dari stasi ke stasi, dari paroki ke paroki yang lain mencari umat Kristus.

Membela martabat umat Tuhan

Pada 2006, Tom Beanal bekisah kepada saya (Markus). Katanya, “Waktu saya menjadi Pastor Paroki di Hepuba, Wamena tahun 1977-1979, umat saya di stasi Welesi dipaksa dan diancam oleh militer untuk menyerahkan tanah mereka supaya membangun Masjid. Juga beberapa dari mereka bibujuk dan diancam untuk masuk Islam.”

Tom Beanal melanjutkan, “Saya tidak menerima perlakuan semena-mena. Saya hadir di tengah umat membela mereka. Akibatnya, saya ditangkap dan didekam di tahanan Kodim 1701 Wamena. Pada saat yang sama, anak perempuan saya meninggal dunia di Paroki Hepuba. Kemudian keluarga memakamkannya di Wamena.”

Apa yang kita dengarkan ini merupakan salah satu kisah nyata yang dialami oleh Almarhum sebagai seorang pastor awam Katolik. Setelah 20 tahun lebih mengabdi sebagai pastor awam, pada 1991 Tom pulang kampung halaman di tanah Amungsa, Papua.

Perjuangannya

Menyaksikan situasi penderitaan umat Tuhan di tanah Amungsa yang dilakukan oleh PT Freeport melalui militer, Tom Beanal bersama sejumlah tokoh Amungme dan Papua bekerja keras membelah martabat umat Tuhan dengan mendirikan Lembaga Musyawarah Adat Amungme (Lemasa). Melalui Lemasa ia ditunjuk sebagai Toeri Negel, melakukan protes perlawanan dengan damai.

Pada April 1996, Tom Beanal mewakili Suku Amungme melakukan gugatan class action (gugatan perwakilan) kepada Freeport Indonesia di Pengadilan Federal Amerika Serikat. Ada tiga alasan yang menjadi tuduhan utama yang dijadikan dasar gugatan terhadap Freeport McMoran Copper and Gold Inc (FMCG).

Pertama, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kedua, perusakan lingkungan hidup (environmental tort). Ketiga, pembasmian budaya (cultural genosida).

Dari Timika menjadi Musa Papua

Dengan kharisma yang dimiliki, Tom Beanal yang didukung  penuh sejumlah tokoh Amungme dan Papua menjadikan masalah Freeport bukan sekadar masalah milik suku Amungme  dan Mimika Wee (Kamoro), tetapi milik bersama rakyat Bangsa Papua.

Melalui peran dan dukungan para tokoh Papua seperti Dr Benny Giay, Dr Noak Nawipa, John Rumbiak, Octovianus Mote, Agus Alua, Willi Mandowen, Theys H Eluai, Mohammad Thaha al Hamid, Herman Awom, dan Mama Yosepa Alomang.

Para tokoh di atas ditopang pula Pastor Nato Gobay, Pastor Neles Tebay, Piet Maturbong (sahabat Almarhum Tom Beanal semasa hidup) berkat reformasi di Indonesia pada 1998, rakyat Papua dengan para pemimpinnya membentuk Tim Foreri sebagai cikal dan bakal proses rekonsiliasi dan perjuangan damai.

Pada Februari 1999, Tom Beanal memimpin Tim 100 bertemu Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie di Istana Negara, Jakarta menuntut hak politik Bangsa Papua. Pada akhir 1999, Tom Beanal memimpin pelaksanaan Musyawarah Besar Papua bersama Theys H Eluay, duet pemimpin Papua.

Pada Juni 2000 Tom Beanal terpilih sebagai Wakil Ketua Presidium Dewan Papua kemudian setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan Theys Eluay oleh pasukan elit TNI pada 10 November 2001, pada 2002, Tom Beanal ditunjuk sebagai Ketua Presidium Dewan Papua. Pada waktu yang sama juga Tom Beanal ditunjuk sebagai Ketua Dewan Adat Papua (DAP) pertama.

Seperti Musa dalam kisah pembebasan Bangsa Israel dari tirani rasisme, pembunuhan sewenang-wenang, mempratikkan proyek genosida, etnosida terhadap bangsa Yahudi oleh Raja Firaun di Mesir, Tom Beanal hadir di tengah situasi yang sama yang dihadapi rakyat Papua.

Dengan seluruh keyakinan kokoh yang ia miliki untuk bangsanya, ia membawa perjuangan damai Papua yang terpendam, terbungkam dengan timah panas di tengah hutan rimba dan belantara Papua. Di pulau-pulau dan pesisir, gunung-gunung, dan lereng, di lembah dan di rawa-rawa Papua hingga di luar negeri lalu masuk di tengah kota.

Tom Beanal jujur, berterus-terang menggemahkan dan menuntut diakuinya hak politik bangsa Papua sebagaimana tertera dalam Mukadimah UUD 1945 yang menyatakan, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”

Selama perjuangannya, Tom Beanal menuntut supaya praktik pelaksanaan Mukadimah UUD 1945 kepada rakyat dan pemimpin Indonesia: Presiden BJ Habibie pada Februari 1999, Presiden Abdurahman Wahid di Gedung Negara Dok 5 Jayapura pada 31 Desember 1999 kemudian di Jakarta pada tahun 2000, kepada Presiden Megawati pada 2003 di Kwala Kencana Timika.

Di bawah sorotan tema Mari Bicara, Meluruskan Sejarah Papua dengan Damai, Menuntut Hak Politik Secara Bermartabat, Tom Beanal tampil di panggung politik pembebasan Papua. Politik kasih dan damai menjadi roh dalam seluruh perjuangan hidup Tom Beanal. Dilandasi oleh visi yang sama, ia menyampaikan kabar perjuangan bangsa Papua kepada berbagai kalangan dan pemimpin di Melanesia, Pasifik, Amerika Serikat, Eropa hingga Afrika.

Tom Beanal telah menghantar Bangsa Papua di tengah kita, di atas bahu kita semua tanpa kecuali. Perjuangan non kekerasan, non violent, perjuangan damai, ahimza, yang dipratikkan, dihayati, dan dijakini Tom Beanal akan ada dan selamanya akan hidup. Kita mempunyai tugas dan tanggungjawab patriotik untuk melanjutkan dan menyelesaikannya.

Masa depan Papua

Di hadapan jasad yang sedang terbaring kaku, saya mengajak dan menyampaikan pesan kepada kita sekalian. Pertama, mari kita mewarisi, melanjutkan visi, misi dan perjuangan Tom Beanal secara bermartabat dan penuh tanggungjawab.

Ingatlah bahwa kami, orang Papua, tidak pernah pergi mencuri, merampas, menguasai, dan menduduki hak milik suku bangsa lain di Indonesia, Asia, Eropa, Amerika, Pacifik. Tetapi kami sedang berjuang membela, mempertahankan, dan merebut apa yang menjadi hak kesulungan bangsa Papua, yang Tuhan telah titipkan kepada moyang leluhur Papua.

Kedua, mari kita saling memandang satu dengan yang lain saling mengingatkan, membantu sesama orang Papua, sesama manusia yang sedang menderita, tersisi, termajinalkan hingga sedang menuju pada proses genosida, etnosida, dan ekosida.

Sekali-kali jangan pernah berharap orang atau bangsa lain akan datang menjadi dewa bagimu untuk menghapus air matamu. Orang Papua yang sisa dua juta orang kembali ke Itongo, Yamewa, Honai, Nduni, Kunume, Pilamo, para-para adat membangun perseketuan, saling jaga membela harga dirimu.

Ketiga, jangan sekali-kali putuskan harapan dengan perjuangan dan masa depan keluarga, suku, dan bangsa Papua. Hari ini kita menyaksikan seakan matahari terbenam. Tom Beanal telah pergi tetapi kita katakan, “matahari akan tetap terbit esok, dari timur Bangsa Papua”.

Pada 2015, ketika saya bertemu Bapa Tom dan menyampaikan bahwa kami telah bersatu dan telah membentuk ULMWP, Bapa Tom menyampaikan pesan: “Kumpulkanlah pasir di lautan menjadi gunung dan teriaklah dari atasnya supaya orang lain, keluarga Melanesia, Pasifik dan dunia melihat dan mendengar penderitaan dan perjuanganmu.”

Maka sekali lagi saya mengajak saudara dan saudari. Lihatlah dan melangkah bersama untuk kembali ke rumah Melanesia, setelah 60 tahun tali pusar Melanesia diputuskan sejak Mei 1963.

Untuk itu, kita ambil doa dan puasa untuk pejuangan dan kerja keras United Libertion Movement for West Papua (ULMWP) kembali ke rumah Melanesia. Melanesian Spearhead Group (MSG) sejalan dengan jalan yang telah dirintis oleh Almarhum Tom Beanal, Otto Ondowame, dan para tokoh Papua lainnya. Dari rumah Melanesia, kita akan terus bergerak maju untuk ke rumah besar dan kemudian kembali ke rumah sendiri, West Papua.

Akhirnya, dengan kepala tegap kita ucapkan, “Selamat jalan Tom Beanal, Musa Bangsa Papua. Selamat beristerahat dalam rumah Bapa di Surga. Selamat jalan Bapa, Nerege, Amole. Waaaa.. waaaa.. waaa… Amungsa, Mimika, Papua, Sabtu, 3 Juni 2023

Tinggalkan Komentar Anda :