Resensi: Doben-Antara Patriotisme vs Kolonialisme - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Resensi: Doben-Antara Patriotisme vs Kolonialisme

Buku ‘Doben – Sebuah Novel’ karya Maria Matildis Banda. Foto: Istimewa

Loading

KOLONIALISME di tanah Timor Timur (sekarang Timor Lorosae) memantik api patriotisme dan perlawanan Ana Maria sekeluarga terhadap penjajan Portugis. Gerakan perlawanan tanpa kekerasan (non violence movement) yang dilancarkan oleh Ana Maria sekeluarga mampu membungkam dan mematahkan intimidasi dan teror fisik dan psikhis dari para penjajah. Ituah kekuatan utama novel karya Maria Matildis Banda ini.

Dengan setting waktu dan tempat di Timor Leste pada era awal pendudukan Portugis di tanah Timor paling ujung itu, novel ini dibuka dengan sebuah alinea yang menggetarkan dan menghentak. “Itulah hari pertama Ana Maria menyadari arti kehadiran penjajahan Portugis di tanah leluhurnya. Martinyo tak pernah kembali. Tidak ada yang dapat memberi penjelasan tentang apa yang telah terjadi.”

Dari alinea pertama inilah, pembaca dapat memasuki relung-relung pergulatan para tokoh utamanya. Para tokohnya adalah sebuah keluarga batih. Mereka adalah sang Inan (ibu) Ana Maria; anak-anak: Antonio dan Arnaldo, sang pembantu setia, Matheus; dan sang Aman (Bapak) Martinyo. Juga seekor kuda (hewan piaraan keluarga) bernama Doben.

Kata “doben” dalam bahasa Tetun (bahasa asli Timor Leste dan Timor Barat), artinya kekasih atau yang terkasih. Kata itu juga menjadi judul novel. Kata itu menyimbolkan kekuatan kasih sayang dalam diri para tokoh dan mendidihkan patriotisme dalam diri para tokoh cerita dan memantik perlawanan mereka terhadap penjajah.

Patriotisme adalah semangat cinta tanah air. Dalam berbagai literatur ilmu pengetahuan, kerap kali patriotisme didefinisikan dalam bingkai politik. Artinya, cinta tanah air sebagai sebuah sikap politik warga negara terhadap tanah airnya. Cinta tanah air sebagai politik kesetiaan terhadap tanah air. Sikap politik yang demikian mensyaratkan keberadaan sebuah negara. Negara harus ada lebih dahulu. Selanjutnya, warga negara dituntut kesetiaanya pada negara, dengan cara menjaga teritori atau wilayah negara.

Tetapi dalam novel ini, patriotisme bukan sebagai sikap politik melainkan sebagai sikap budaya. Wujud konkrit sikap budaya itu adalah cinta terhadap tanah leluhur sebagai ibu dan rumah kehidupan. Ana Maria menunjukkan sikap budaya itu dengan cara membangun kesadaran dalam dirinya bahwa tanah leluhurnya diduduki oleh penjajah Portugis (hal 1). Penjajahan Portugis di tanah Timor, bagi Ana Maria, adalah penaklukkan terhadap tanah air (land) dan penaklukkan terhadap budaya Timor. Penjajahan di belahan dunia manapun, merupakan pendudukan atas lahan dan penaklukkan budaya.

Kesadaran Ana Maria atas penjajahan Portugis itu, dieksplisitkan oleh sang Aman, Martinyo dengan cara menunjukkan sikap budaya sebagai petani.  Menjadi petani sebagai sikap budaya tergambar jelas dalam narasi tentang kebun kopi milik Martinyo sekeluarga. Di kebun itulah mereka menjalani kehidupan sebagai manusia yang memperlakukan tanah air sebagai ibu dan sebagai rumah kehidupan (hal 13). Sebuah narasi yang menggetarkan tentang kesahajaan hidup petani di negeri, yang apabila tidak diduduki oleh penjajah, maka kesahajaan itu tetap menjadi suatu penanda akan kosmologi hidup para petani.

Kesahajaan hidup Martinyo sekeluarga sebagai keluarga petani harus berakhir. Keberakhiran ditandai dengan penangkapan dan pemenjaraan Martinyo oleh penjajah Portugis, yang diwakilkan oleh tokoh cerita Kepala Penjara Aipelo Lauhata Bazartete, Letnan Rudolf. Bagi Letnan Rudolf, Martinyo sudah membangkang terhadap pemerintah Portugis menduduki tanah Timor. Sudah bertahun-tahun Martinyo menyeberangi daerah perbatasan dan menyiapkan rencana besar untuk memberontak dan mengusir Portugis dari tanah Timor, otak pemberontakan Bobonaro yang ingin bergabung dengan Indonesia (hal 14). Oleh karenanya, Martinyo ditangkap dan dipenjara.

Pemenjaraan Martinyo adalah juga teror terhadap keluarga Martinyo. Teror itu memantik perselisihan dua saudara kandung: Antonio dan Arnaldo. Arnaldo –yang bekerja sebagai pegawai di Penjara tempat Martinyo dibui– dituduh oleh Antonio turut serta menjebloskan Martinyo ke dalam penjara. Pertengkaran mulut sampai perkelahian fisik berlangsung antara Antonio dan Arnaldo. Demi tidak menambah penderitaan bagi Inan dan menghindari pertengkaran dengan Antonio, Arnaldo tidak pulang ke rumah. Ia menetap di penjara. Supaya bisa tetap komunikasi dengan Inan, Arnaldo meminta bantuan tukang kebun penjara untuk mengantar pisang dan sayuran ke rumah Ana Maria secara sembunyi-bunyi. Tetapi itu tidak bertahan lama karena Kepala Penjara mengusir Arnaldo supaya tidak menggunakan penjara sebagai rumahnya (hal 15-16).

Teror kolonial yang menyusup masuk sampai ke dalam keluarga itu dilawan dengan sikap patriotisme Antonio. Ia bermaksud mengeluarkan Martinyo dari dalam penjara dengan cara menculik dan melarikan Aman dari penjara. Terhadap keputusan Antonio, Ana Maria memberi restu. Restu Inan laksana api patriotisme bagi Antonio (hal 25). Bersamaan dengan itu, Arnaldo pun bermaksud menunjukkan sikap patriotismenya dengan cara menggantikan posisi Martinyo di penjara (hal 35-35). Martinyo, bagi Antonio dan Arnaldo, tidak sekedar ayah, tetapi sekaligus simbol keteguhan sikap membela tanah air. Atas dasar itulah Antonio dan Arnaldo menempuh caranya masing-masing untuk mewujudkan patriotisme.

Meskipun Arnaldo dan Antonio gagal menyelematkan Martinyo; meskipun Martinyo mati di ujung senjata penjajah dan dijatuhkan ke dalam gua laut di belakang penjara, tetapi apa yang dilakukan oleh mereka bertiga adalah wujud semangat patriotisme. Dengan semangat itu, mereka melawan kolonialisme, melawan pendudukan tanah air dan melawan penaklukan budaya.

Judul                                 : Doben – Sebuah Novel

Pengarang                        : Maria Matildis Banda

Penerbit                            : Lamalera, 2016

Halaman dan Ukuran   : v + 64; 120 x 190 mm

Alexander Aur

Pengajar filsafat pada Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan, Banten

Sumber: Koran Sindo, 16 Juli 2017

Tinggalkan Komentar Anda :