SOCRATEZ dan buku ibarat dua sisi dari satu mata uang logam. Socratez, lengkapnya Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, MA. Di lingkup masyarakat tanah Papua, Socratez bukan nama asing. Dalam lingkup gereja, khususnya berbagai denominasi gereja Protestan maupun Katolik, apalagi.
Socratez adalah Ketua Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBP), sebuah denominasi gereja besar di tanah Papua. Selain tentu ada Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) atau Gereja-gereja lainnya di bumi Cendrawasih. Para tokoh gereja, sudah lama pula akrab. Paling kurang melalui buku karya mereka, termasuk berbagai artikel dan wawancara yang terendus di media massa.
Beberapa tahun silam, sebuah perjumpaan berahmat dengan gembala Socratez, terjadi dalam sebuah diskusi tentang Papua di Universitas Kristen Indonesia (UKI), kawasan Cawang, Jakarta Timur. Diskusi diselenggarakan Pusat Studi Papua, sebuah pusat studi yang juga memfokuskan perhatiannya pada isu-isu tanah Papua. Tak hanya dalam wacana, namun juga aksi. Diskusi dan berbagi ilmu bersama para mahasiswa asal Papua menjadi salah satu pusat perhatian UKI.
Dr Antie Soelaeman, pimpinan Pusat Studi Papua mengajak penulis menghadiri diskusi tersebut. “Ada dua pembicara penting. Pak Pendeta Dr Benny Giyai dan Pendeta Dr Socratez. Ada juga Markus Haluk, pembicara dan penulis buku-buku yang meneropong Papua. Markus jebolan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Waena,” kata Antie. Benny, Socratez, dan Markus adalah nama yang sangat familiar di telinga, selain tentu juga Dr Neles Kebadabi Tebai, Pr, imam diosesan Keuskupan Jayapura.
Diskusi ke buku
Diskusi Cawang menarik. Moderator, seorang mahasiswa asal Papua memandu acara dengan apik setelah sebelumnya, Aku Papua, tembang khas Papua meluncur indah dari pita suara para mahasiwa dan mahasiswi asal Papua membasuh suasana ruangan diskusi yang terbilang seru. Usai Benny Giyai, Socratez Yoman, Markus Haluk, dan dua anggota DPR (kala itu): Paskalis Kossay dan Diaz Gwijangge menyodorkan sejumlah kebijakan politik negara yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan demi pembangunan manusia Papua.
Sebagai peserta yang juga datang dari kawasan timur Indonesia, penulis (saya) tak sudi kehilangan momentum diskusi berharga ini dalam sesi tanya-jawab. Momen itu saya gunakan bertanya. Kata saya, kawasan timur Indonesia sangat kaya. Banyak pemimpin formal hingga rohani sangat lahir dari tempat ini. Mereka, para pemimpin kita itu, temasuk dari tanah Papua, ada di depan kita (Papua). Papua punya pemimpin hebat di bidangnya yang tengah dan akan terus mengabdi di bidangnya demi masyarakat luas.
Bermula dari perjumpaan Cawang, Socratez menjadi orangtua dan kawan diskusi yang baik. Tak sekadar urusan rohani tetapi melebar ke urusan literasi. Tak berlebihan sang gembala buka suara ihwal keseriusannya menulis buku-buku terkat perjuangannya sebagai seorang gembala umat melawan diskriminasi rasial, persoalan hak-hak asasi manusia hingga suara-suara profetis terhadap penindasan yang dialami warga (umat) sejak integrasi Irian Jaya ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dinilai inkonstitusional dan sarat rekayasa.
Socratez mengemukakan, sejak integrasi Papua tidak hanya identik dengan kekerasan berupa penembakan secara sporadis, tapi juga menyimpan sejumlah potret buram lain. Salah satunya, sejak integrasi, masyarakat tanah Papua merasa terpinggirkan dalam berbagai aspek.
Socratez akhirnya menyerahkan buku karyanya, Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat yang terbit tahun 2012. Dalam buku yang segera penulis (saya) koleksi, Socratez dengan gamblang menelisik (membongkar) secara detail potret kelam yang dialami penduduk asli Papua. Dia melihat kejahatan kemanusiaan didemonstrasikan atas nama keamanan dan kepentingan nasional dengan berbagai bentuk wajah.
Dalam buku itu, ia menyebut penduduk asli Papua tinggal 2,37 juta jiwa atau sekitar 15,2 persen dibanding pendatang 13,2 juta jiwa atau sekitar 84,80 persen. Di tanah Papua terjadi proses pelemahan etnis (genosida) secara sistematis karena kepentingan di Papua Barat terkait masalah politik, keamanan, dan ekonomi. Banyak UU tidak prorakyat asli Papua. “Ini semua bagian dari penghancuran masa depan, identitas, dan mengakhiri eksistensi orang asli Papua dari tanah dan negeri mereka,” kata Socratez (hal. 245).
Jauh sebelumnya, ujar Socratez, dalam Voice of America, 27 Januari 2006 dan The Indonesia Human Rights Campaign Bulletin No 182/April 2006 (hal. 3), penasihat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa bidang Pencegahan Pemusnahan Penduduk Pribumi, Mr Juan Mendez, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi warga asli di wilayah Papua Barat.
Mendez, demikian Socratez, merasa frustrasi karena Indonesia mencegah ahli-ahli atau peneliti dari pekerja HAM untuk memonitor berbagai pelanggaran HAM di Papua Barat. Padahal, PBB berkeinginan menjembatani untuk mencari penyelesaian.
Benny Giay dalam pengantar buku ini juga buka suara. Dalam sejarah gereja, demikian Benny, Doktor Antropologi Sosial di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, pemikiran-pemikiran kritis tokoh gereja atau agama kerap disikapi negatif pemerintah dan masyarakat. Tokoh atau petugas gereja yang kritis sering dicap sebagai pembawa bendera politik tertentu.
Sedangkan George Junus Aditjondro (Alm) mengungkapkan buku karya Socratez kaya informasi pergumulan antara rakyat Papua Barat dan Pemerintah Indonesia sejak sebelum Pepera tahun 1969 hingga keluarnya Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2001. “Penderitaan rakyat Papua Barat merupakan tantangan kemanusiaan bagi bangsa, rakyat, pemerintah, dan gereja-gereja di Indonesia,” kata George, dosen dan peneliti yang pernah menghebohkan jagat politik nasional dengan buku karyanya, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century.
Sepintas, buku itu tak sekadar mengulas sejarah integrasi yang oleh orang Papua dianggap belum tuntas, tapi juga dinamika sosial politik mutakhir yang menyertai tanah Melanesia itu. Di sini juga diungkap pula aneka kekerasan yang terus terjadi, kebuntuan politik Jakarta-Papua, keputusasaan, dan keprihatinan berbagai kalangan atas kondisi Papua.
Buku ini sungguh menelusuri “lorong-lorong gelap” kehidupan sosial politik di tengah upaya positif Pemerintah Indonesia mulai dari Repelita di masa Orde Baru, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, termasuk Papua, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Karena itu, perlu segera direalisasikan dialog Jakarta-Papua dengan dimediasi pihak ketiga yang netral agar muncul secercah cahaya yang dapat menerangi “lorong-lorong gelap” tanah Papua.
Rasisme
Pada 2020 lalu, Socratez menerbitkan buku karyanya yang hemat penulis tak kalah heboh. Ia menulis buku Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua: Kumpulan Catatan Seorang Gembala yang terbit di tanah Dewata, Bali. Buku diberi kata pengantar Dr Cahyo Pamungkas, anggota tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Buku tersebut berisi empat bagian besar yaitu Sejarah, Kolonialisme, dan Rasisme, Fenomena Politik Papua, Gereja dan Kemanusiaan, dan Menulis dan Kebudayaan. Bahasan Persoalan Rasisme Papua menjadi menarik bila dibaca dan dipahami. Socratez memulai dengan pertanyaan menarik. Apakah benar bahwa rasisme menjadi persoalan West Papua? Rasisme, katanya, ialah musuh semua umat manusia apapun latar belakang dan status sosialnya.
Perbuatan rasisme yang merendahkan martabat manusia adalah melawan (hukum) Tuhan. Ujaran rasisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan membangkitkan kemarahan seluruh umat manusia di planet ini. Mengapa? Semua umat manusia yang beragama dan beriman adalah gambar dan rupa Allah (hal. 16).
Buku ini, kata Cahyo, memberikan informasi mengenai persoalan yang dihadapi orang Papua dalam kehidupan sehari-hari. Dari buku ini, pembaca dapat mengetahui bahwa kebanyakan orang Papua masih merasa belum aman dan terancam di atas tanahnya sendiri sebagai imbas dari konflik kekerasan yang berkepanjangan. “Buku ini dapat membantu orang-orang non Papua untuk memahami, memberikan simpati dan empati pada apa yang sedang terjadi di tanah Papua pada masa kini,” kata Cahyo (hal. xvii).
Mengapa hal itu perlu? Sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki pandangan yang konservatif terhadap persoalan Papua. Bahkan sebagian lainnya masih berpandangan rasis terhadap orang Papua, yakni menganggap orang Papua masih hidup dalam ‘zaman batu’.
Nah, hemat penulis (saya), buku Socratez ini layak dimiliki dan dibaca agar sikap dan sifat rasis terhadap siapapun, termasuk saudara dan saudari kita di tanah Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi segera ditanggalkan. Sikap dan sifat rasis adalah musuh bersama. Itulah yang tentu juga menjadi suara kenabian gembala Socratez. Suara seorang hamba Tuhan, yang dari olah pikirnya yang bening lalu mewujud belasan buku karyanya selama ini.
Judul Buku: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua: Kumpulan Catatan Seorang Gembala
Penulis: Dr Socratez Sofyan Yoman, MA
Editor: Basilius
Desain Grafis: Lintang
Penerbit: Pustaka Larasati, Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B, Denpsar – Bali 80116
Cetakan: Pertama (I), Januari, 2020
Tebal: xxii + 240 halaman
ISBN: 987-602-5401-62-6
Ansel Deri
Pemimpin Redaksi Odiyaiwuu.com