NABIRE, ODIYAIWUU.com — Gubernur Provinsi Papua Tengah Meki Fritz Nawipa beserta jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua diingatkan agar Program Koperasi Merah Putih yang baru saja diluncurkan (launching) di Pasar Pagi Nabire, Senin (21/7) lebih menyentuh kultur kepapuaan agar diterima masyarakat.
Ketua Kelompok Fraksi Otonomi Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Tengah Donatus Mote, SIP, MM mengingatkan, kehadiran Koperasi Merah Putih di Papua Tengah sangat penting dan strategis sebagai alat perjuangan masyarakat agar semakin memiliki kemandirian secara ekonomi.
Kehadiran koperasi tersebut juga penting sebagai wadah penguatan gerakan ekonomi masyarakat secara kolektif tetapi harus mempertimbangkan konteks kultur masyarakat kecil terutama yang bermukim di perkampungan.
Dengan demikian, tidak menimbulkan gejolak penolakan di tengah masyarakat karena jauh dari konteks kepapuaan. Dugaan penolakan Koperasi Merah Putih di Kabupaten Deiyai yang diduga buntut penolakan kehadiran koperasi yang tak memperhatikan konteks lokal menjadi pelajaran berharga bagi Pemprov Papua Tengah.
“Koperasi Merah Putih adalah gerakan ekonomi rakyat berbasis desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga melalui prinsip gotong royong, kemandirian, dan kepemilikan bersama. Koperasi bertujuan mulia yaitu memajukan perekonomian masyarakat tetapi perlu memperhatikan aspek budaya lokal masyarakat Papua Tengah,” ujar Donatus Mote dari Nabire, Papua Tengah, Senin (21/7).
Menurut Donatus, kehadiran Koperasi Merah Putih bagi masyarakat di Papua Tengah sangat penting. Peluncuran sebanyak 80.081 koperasi juga dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia sehingga diharapkan agar koperasi tersebut benar-benar hadir sebagai alat perjuangan ekonomi masyarakat menuju kedaulatan ekonomi dengan tetapi bertumpu pada konteks masyarakat lokal.
“Koperasi Merah Putih bukan sekadar tempat simpan pinjam atau jual beli, tapi wadah pembangunan ekonomi yang dikelola langsung dari, oleh, dan untuk masyarakat desa atau kampung dalam semangat gotong-royong kebersamaan, Koperasi Merah Putih diharapkan solusi ekonomi nyata bagi warga desa sehingga pengelolaannya diharapkan menyentuh kultur kepapuaan masyarakat Meepago,” ujar Donatus, mantan jurnalis di Papua Tengah.
Donatus menambahkan, Koperasi Merah Putih di Papua Tengah juga diharapkan menjadi solusi nyata bagi warga kampung. Misalnya, mengakses layanan keuangan tanpa bunga yang membebani, menjual hasil tani, ternak atau usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan harga yang adil, mendapatkan kebutuhan pokok dan usaha dengan harga terjangkau serta ,engembangkan potensi lokal desa atau kampung melalui pendidikan dan pelatihan secara digital.
“Program nasional ini sangat bagus dalam rangka membangun desa dan mengembangkan kemandirian ekonomi masyarakat di desa. Pemerintah provinsi maupun kabupaten harus menerima dengan baik agar melalui koperasi ini bisa mendobrak kelesuan ekonomi masyarakat agar lebih produktif,” ujar Donatus.
Donatus juga mengusulkan agar nama Koperasi Merah Putih diubah dengan konteks Papua Tengah. Perubahan nama itu tidak mengubah mekanisme kerja koperasi tetapi semata untuk menjadikan koperasi lebih familiar dan membuat masyarakat selaku anggota lebih merasa memiliki karena menggunakan nama lokal.
“Saya tentu tidak bermaksud menolak Program Koperasi Perah Putih, tetapi saya usulkan agar nama Merah Putih diubah. Sebab, sejak adanya informasi nama Koperasi Merah Putih hingga saat ini banyak masyarakat di kampung-kampung menolak,” ujar Donatus.
Donatus mencontohkan, kantor Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai dibakar orang tak dikenal awal Juli ini. Aksi itu diduga salah satu bentuk penolakan Koperasi Desa Merah Putih. Mencermati kasus tersebut, keberadaan Koperasi Merah Putih tentu berpotensi tersendat-sendat. Apalagi saat koperasi dijalankan. Ada kekhawatiran berpotensi terjadi persoalan di tingkat desa atau kampung.
“Itu sebabnya, jauh sebelumnya saya sudah minta agar Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan seluruh pemerintah kabupaten mengubah nama Koperasi Desa Merah Putih dengan nama lebih familiar dalam konteks Papua sekaligus mengandung nilai dan makna kearifan lokal,” kata Donatus. (*)