Bintang Kejora
Di bawah desah dingin bintang
aku bertanya pada luka yang menganga.
Dalam derita yang kian membakar
kau bersandiwara, menari di atas duka
Di bawah cahaya bintang
sekelompok gagak menerkam sunyiku
dan derita itu datang
mengoyak jiwa sang Bintang Kejora
Ketika kutanya tentang luka
dinding-dinding kejora runtuh
meleleh seperti timah yang menyala
Di bawah cahayanya
aku tunduk bersajak bersama awan bermata basah
menyaksikan jiwa yang dibiarkan hancur
di lembah gundah gulana
Di bawah Bintang Kejora
kugenggam pena, melawan singa yang buas
yang terus menelan sahabat-sahabat kita
tanpa henti, tanpa ampun
Yogyakarta, 2018
Kepada Siapa
Padamukah aku bertanya?
Ataukah engkau yang harus bertanya padaku?
Atau mungkin kita bersama
menitipkan tanya pada angin
pada awan yang menjelma mimpi
pada rumput yang gemetar di hembus waktu
pada semut kecil yang gigih membawa beban?
Namun, kepada siapa lagi harus kuserahkan dukaku?
Pada siapa kutitipkan luka ini
tentang ikan-ikan kecil
yang hilang dalam perut hiu
sementara laut diam
dan langit tak memberi jawaban?
Sleman, 2018
Bagai Burung Elang
Bagai burung elang, kau nyanyikan lagu merdu
melampaui angin, menembus kabut biru
Namun gagak hitam, mabuk dalam kelam
memutus lidahmu dengan paruh kejam
Suaramu padam
terkubur dalam luka yang tak kunjung reda
Tiada lagi terang di sisa malam
hanya bayang kisah yang terjaga
Nyanyian emasmu
kusimpan dalam relung terdalam
seperti mantra yang tak pernah hilang
Untukmu, kakak Arnold C Ap
suara kebebasan yang tak akan pudar
Yogyakarta, 2018
Bayang di Tengah Kita
Bayang itu, bayang di tengah kita
masih membungkam, lupa pada janjinya
katanya, ia bercinta dengan Tuhan?
Namun nyatanya, ia adalah bayang yang sama
menyelinap di sela tawa kita
berpesta di atas duka yang kita rasa
Bayang itu tak pernah benar-benar jauh
selalu menyamar dalam rupa-rupa
berdusta dengan kata-kata palsu
di setiap langkah dan suara kita
Ia tak lelah menantang kebenaran
menghujam keraguan di hati yang lemah
Demikianlah, bayang di tengah kita adalah bayang jahanam
lupa pada kelu kesah yang kita tanggung
dan terus membungkam harapan yang kita bisikkan
Kapan ia mengalah?
Kapan ia berhenti membisukan suara-suara kita?
Yogyakarta, 2017
Kurator Jiwa Papua
Syairmu membara, terbang tinggi9 bagai raja wali
menembus ruang-ruang pengap
menggores luka sekaligus harapan di hatiku
untuk berkarya di atas tanah mama bumi, Papuaku
Nada-nada sendumu menghentak pantai tempat aku berpijak
syairmu mengalun, membentang bagai gelombang
melintasi gunung-gunung, menyejukkan jiwa yang dahaga
Syairmu menawan
menyentuh sanubari para pengembara
menghidupkan tarian ombak di lautmu
dan kicauan burung emas di puncak gunung
mengajarkan kedamaian pada hati yang gelisah
Namun syairmu juga adalah perlawanan
menentang setan merah yang haus ambisi
yang ingin menelan keindahanmu
Dengan iman dan kasih, syairmu bagaikan doa
memberi nafas kehidupan bagi musafir-musafir Papua
yang kini mengalunkan pesanmu
melagukan kebebasan yang kau titipkan
Syair lagumu berkisah tentang laut, gunung
dan sungai-sungai yang membawa emas
tentang surga yang terlantar di tanah pertiwi
tentang bumi emas yang kau jaga dengan hati
dan pesan abadi:
yang sejati hanyalah kebebasan
Yogyakarta, 2018
Kronologi dari Pangku ke Pangkuan
Dari pangkuan ke pangkuan
suatu kronologi tercipta
anggrek hitam dipertemukan dengan takdir yang kelam
Dari pangkuan ke pangkuan
anggrek hitam dikawinkan dengan sejarah
dari Sriwijaya hingga Majapahit
tercerai-berai, hilang arah
Spanyol, Portugal, juga terpisah
Belanda, Perancis, Inggris, Jerman, semua terpecah
Tidore, Maluku, Indonesia, akhirnya dipaksakan bersatu
Dari pangkuan ke pangkuan
anggrek hitam terlena, terkulai lemah
terbungkam oleh suara mawar putih yang membisu
Dari pangkuan terakhir, anggrek hitam terkekang
terperangkap dalam luka-luka yang mendalam
Di bumi pertiwi yang kita sebut Indonesia
anggrek hitam terpenjara dalam ruang gelap
darahnya mengalir di celah-celah tirani besi
Dari pangkuan yang terakhir ini
dari pangkuan ke pangkuan
sajak pena menjadi saksi bisu
tentang kawin paksa antara mawar putih dan anggrek hitam
tanpa restu, tanpa harapan
Dalam ruang yang berbeda
peristiwa ini terus diperdebatkan
tiada jalan yang ditemukan
hanya kegelapan yang semakin pekat
Dari pangkuan yang terakhir ini
tipu daya memusnahkan surga yang pernah ada
buku-buku sejarah kita dihapus
mata kita dibutakan
Nasionalisme Indonesia Raya menutup jalan kedamaian
dan dari pangkuan terakhir ini
masih ada darah yang menetes
merahkan bumi yang terluka
Sementara republik kita sibuk dengan istana dosa
Holandia, 2018
Pengkhianat Negeri
Dengan sabar hati, kami bersuara
demi tanah emas, kami berjuang
Demi identitas kulit hitam
kami bertahan, meski nyawa harus jadi korban
Dengan rendah hati, kami melawan
sang guru pengkhianat
Guru yang kami sebut pengkhianat
tak memiliki jiwa keTuhanan
tanpa belas kasih
ia melumpuhkan kita
menyebarkan cinta palsu yang mengalir sampai denyut nadinya
Yang kami terima darinya:
sejumlah duka, derita, jeritan
dan tubuh yang tersobek darah
Bangkitlah, para senja yang terdiam
ragamu milik rakyat ini
Nyalakan pelita di jalan-jalan gelap
berbaju sirakalah dalam jiwa yang teguh
bangkitlah, hai para senja yang terkubur
oleh laknat para pengkhianat negeri ini
Lumpuhkan kaki tangan sang guru pengkhianat
Pantaskah pengkhianat itu merampas hak kita?
Haruskah alam kita musnah
oleh tangan guru palsu itu?
Tak pantas ia merampas sendi-sendi kehidupan bangsa kita!
Bangkitlah!
Bangkitlah!
Dia tak pantas menjadi tuan atas negeri tercinta ini.
Berdirilah!
Berdirilah dan hancurkan ideologi sang pengkhianat!
Lebih baik kita hancurkan,
daripada kita hidup dalam penjajahan!
Okpol, 2018
Aku yang Dipanggil Monyet
Dia bilang aku monyet
tapi di balik kata itu, dia mencintai monyet
Dia bilang aku monyet
dan dilemparinya aku dengan pisang
Ketika aku bermain sepak bola
lagi-lagi pisang dilempar ke arahku
Walaupun aku kerap dipanggil monyet
aku merasa bangga dengan diriku
Aku teringat di Afrika
di sana, mereka pun memanggilnya monyet
Dan kini, aku pun disebut demikian
Apakah karena kulitku hitam?
Dan dia bukan hitam?
Tanahku hitam, tanah Afrika juga hitam
Karena hitam, dia sebut aku monyet?
Dia bilang aku monyet
tapi dia bisa bernapas karena monyet ada
Kalau enggan menyebut aku monyet
dia tetap berteman dengan monyet
Hai, kawan, izinkan aku berkata padamu:
“Wajah yang mirip monyet bukanlah kutukan.”
Aku berusaha hadir di hidupmu seperti indahnya pelangi
agar merah api tak terus menghantui perjalananmu
Walaupun itu semua, kau masih memanggilku:
“Monyet Papua.”
Yogyakarta, 2017
Surat untuk Kekasihku
Kekasihku
dengan segenap hati, aku datang padamu
dalam jiwa yang masih pedih, sujud memanggilmu
Di atas tanganmu, aku bermesra
meskipun aku jatuh, bahkan dalam pelukanmu
Sayangku
dengan hati yang pilu, aku menatapmu
terlena dalam lubang singa yang tak akan pernah puas
karena ia merasa berkuasa
Kekasihku
di bawah telapak kakimu
mengalir darah yang sama
seperti darah yang mengalir dari pintu-pintumu
Di sini, sahabat sejatiku, disembelih dengan pisau
Sayangku
dari kedalaman hati yang paling dalam
aku sampaikan padamu
melalui sepucuk surat ini
bahwa hingga kini
aku masih merasa dihina oleh saudara-saudara kita
Sayangku, aku kekasihmu
dengan surat ini, aku sampaikan padamu
beperkaralah padaku, peluklah aku
beri aku air kedamaian
akhiri sudah penderitaan dan korban-korbanku
Kekasihku
demikian suratku, kutulis dengan penuh rasa
Aku berharap, kau mampu membaca dan merasakannya
Ku ucapkan terima kasih, sayangku
Salam sayang dariku, untukmu
Yogyakarta, 2017
Surat Sakitku untuk Tuhan Yesus
Tuhan Yesus, setiap hari aku merasakan sakit
Dulu, kau mengirimkan aku ke dunia sebagai bayi
Tak ada luka, tak ada penyakit
Namun kini, tubuhku dipenuhi luka
dan rasa sakit yang tak kunjung reda
Kalaupun Engkau telah melihatku
mendengarkan suaraku
kenapa sakitku tak juga sembuh, Tuhan Yesus?
Tuhan Yesus, tolong sembuhkan hamba-Mu
dari segala duka dan derita ini
Demikianlah surat sakitku
dari bumi yang penuh penderitaan ini
Yogyakarta, 21 Maret 2016
Yuventus Opki lahir di Kampung Yamok, 25 Juni 1988. Masuk SD YPPK Santa Maria Kukding dan tamat di SD YPPK Santo Vinsensius Mabilabol. Lulus SMP YPPK Bintang Timur Mabilabol.
Pada 2011 mengikuti matrikulasi dan kuliah di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Namun, masuk di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 2013 hingga meraih sarjana Sastra Indonesia tahun 2017.
Menulis antologi puisi berjudul Aku Melawan Lupa dan diterbitkan Galang Press Yogyakarta tahun 2016. Saat ini mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri Bulangkop dan SMP Negeri 2 Okpol. Penulis dapat dihubungi melalui nomor kontak +675 7970 3503 atau email: aplimapom3@gamil.com