Papua dan Asa Baru di Tangan Uskup Bernardus - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Papua dan Asa Baru di Tangan Uskup Bernardus

Eugene Mahendra Duan, guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah 

KONFLIK berkepanjangan di Papua terus menjadi tantangan serius bagi Pemerintah Indonesia, Pemerintah daerah di tanah Papua, dan masyarakat setempat. Sejak integrasi Papua ke dalam Indonesia, berbagai kebijakan telah diterapkan untuk meredam ketegangan. Mulai dari pendekatan militeristik hingga pemberian otonomi khusus (otsus). Namun, alih-alih menciptakan perdamaian, berbagai kebijakan ini kerap memicu resistensi, memperdalam ketidakpercayaan, dan memperburuk situasi sosial-politik.

Dalam konteks ini, solusi berbasis dialog menjadi satu-satunya jalan keluar yang berkelanjutan. Salah satu figur yang aktif mendorong dialog adalah Uskup terpilih Dioses Timika Bernardus Bofitwos Baru. Sebagai pemimpin Gereja Katolik di Papua, Uskup Baru bukan hanya berperan dalam pelayanan rohani, tetapi juga dalam upaya menciptakan ruang dialog antara masyarakat Papua dari wilayah Meepago, pemerintah, dan berbagai pihak terkait. Keberadaannya menjadi strategis dalam membangun komunikasi yang lebih humanis dan inklusif di tengah konflik yang semakin kompleks.

Dominasi vs dialog

Sejak era Orde Baru, pendekatan terhadap tanah Papua lebih sering berbasis dominasi daripada dialog. Pemerintah pusat cenderung menerapkan kebijakan yang menitikberatkan pada aspek keamanan (security approach) dengan mengerahkan aparat keamanan untuk meredam gejolak. Padahal, pendekatan ini justru memperparah krisis sosial dan menciptakan luka kolektif bagi masyarakat Papua.

Meskipun otonomi khusus diberikan sebagai bentuk kompromi politik, banyak masyarakat tanah Papua menilai, kebijakan ini belum menyentuh akar permasalahan. Ketimpangan ekonomi, diskriminasi, eksploitasi sumber daya alam, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, membangun dialog yang jujur, setara, dan inklusif menjadi kebutuhan mendesak.

Dalam situasi ini, Uskup Baru memainkan peran penting sebagai mediator yang mengedepankan pendekatan dialogis dan rekonsiliatif. Ia mewakili suara moral yang menegaskan bahwa penyelesaian konflik Papua tidak bisa dilakukan dengan senjata, tetapi dengan komunikasi yang tulus dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua. 

Hak-hak dasar itu dapat ditempuh dalam beberapa aspek. Pertama, membangun ruang dialog yang Inklusif. Sebagai seorang pemimpin spiritual, Uskup Baru memahami bahwa konflik Papua bukan hanya soal politik dan ekonomi, tetapi juga soal kepercayaan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, ia aktif dalam menciptakan ruang pertemuan yang memungkinkan berbagai pihak untuk berdialog secara setara. Gereja, sebagai institusi netral, menjadi platform yang dapat mempertemukan masyarakat adat, pemerintah, akademisi, dan kelompok pro-kemerdekaan dalam upaya mencari solusi damai.

Kedua, menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat Papua. Salah satu tantangan utama dalam penyelesaian konflik Papua adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Sejarah panjang marginalisasi dan pelanggaran HAM membuat banyak orang Papua enggan untuk berpartisipasi dalam inisiatif yang berasal dari Jakarta.

Dalam kondisi ini, Uskup Baru mengambil peran sebagai mediator yang dapat menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak. Dengan pendekatan pastoralnya yang humanis, ia mampu membangun kepercayaan di tingkat akar rumput, sekaligus menyampaikan aspirasi masyarakat Papua kepada pemerintah dengan cara yang lebih diplomatis dan persuasif.

Ketiga, mengadvokasi hak-hak orang papua. Selain mendorong dialog, Uskup Baru juga secara aktif menyuarakan isu-isu yang sering diabaikan oleh negara, seperti keadilan sosial, hak atas tanah adat, pendidikan, dan kesehatan bagi masyarakat Papua. Ia menegaskan bahwa Papua tidak hanya membutuhkan pembangunan infrastruktur, tetapi juga kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan dan martabat masyarakat lokal.

Di berbagai kesempatan, Uskup Baru menyoroti bagaimana eksploitasi sumber daya alam sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan tambang dan industri perkebunan besar sering kali beroperasi tanpa persetujuan komunitas setempat, menyebabkan degradasi lingkungan dan hilangnya ruang hidup bagi masyarakat Papua.

Keempat, melawan stigma dan diskriminasi. Salah satu akar masalah konflik Papua adalah stigma negatif terhadap orang Papua. Selama bertahun-tahun, masyarakat Papua sering dilabeli sebagai kelompok yang tertinggal, tidak mampu mengelola sumber daya mereka sendiri, atau bahkan dicap sebagai kelompok separatis hanya karena menyuarakan ketidakadilan.

Uskup Baru menentang stigma ini dengan menekankan bahwa orang Papua berhak atas pengakuan yang setara sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Ia berjuang untuk menciptakan narasi yang lebih adil dan humanis tentang Papua, di mana masyarakatnya tidak hanya dipandang sebagai objek pembangunan, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak atas masa depan mereka sendiri.

Tantangan dan harapan

Meski upaya dialog terus digalakkan, masih ada berbagai tantangan yang menghambat proses perdamaian di Papua, seperti dominasi pendekatan militeristik, yang masih sering digunakan dalam merespons gejolak di Papua, minimnya komitmen politik dari pemerintah pusat untuk benar-benar mendengar suara masyarakat Papua, adanya kepentingan ekonomi dan politik dari berbagai aktor, termasuk korporasi besar, yang membuat penyelesaian konflik semakin rumit.

Namun, di tengah berbagai tantangan ini, peran tokoh-tokoh seperti Uskup Baru memberikan harapan bahwa dialog masih mungkin dilakukan. Jika pemerintah mau membuka ruang komunikasi yang lebih luas dan menghentikan pendekatan represif, ada peluang bagi Papua untuk menemukan jalan damai yang lebih bermartabat.

Papua tidak bisa terus diperlakukan sebagai wilayah yang harus dikendalikan dengan pendekatan kekuatan. Cara ini hanya akan memperpanjang konflik dan memperdalam luka sosial. Sebaliknya, dialog yang inklusif dan setara harus menjadi prioritas utama dalam penyelesaian masalah Papua.

Uskup Baru telah menunjukkan bahwa dialog bukan hanya sekadar wacana, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk mencapai perdamaian sejati. Dengan perannya sebagai mediator, advokat keadilan, dan jembatan komunikasi, ia telah membuktikan bahwa Papua membutuhkan pemimpin yang mengedepankan kemanusiaan, bukan kekerasan.

Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia bersedia mengikuti jejaknya dan memilih jalur dialog daripada dominasi? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan Papua dan relasinya dengan Indonesia dalam jangka panjang. Apapun sulitnya aneka persoalan yang membelit tanah Papua, selalu ada asa meraih keamanan dan perdamaian bumi Cenderawasih. Keamanan dan perdamaian adalah asa baru yang dirindukan Uskup Bernardus, umat, pemerintah, dan masyarakat tanah Papua. 

Tinggalkan Komentar Anda :