Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Politik Lokal Papua
TANGGAL 20 April 2024, peringatan 70 tahun (1954) Injil masuk di Lembah Baliem Wamena, Provinsi Papua Pegunungan. Bersamaan dengan peringatan itu dilaksanakan pertemuan para Gubernur seluruh tanah Papua yang dikoordinir Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Dr Velix Vernando Wanggai yang didaulat sebagai koordinator. Penjabat gubernur yang rencana hadir dari Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Di Kampung Minimo, Distrik Maima landasan pertama misionaris Dr Myron Bromley dan keluarganya mendarat untuk pertama kali (20 April 1954). “Orang tua saya kesini bawa Injil, bukan agama,” ujar Elisabeth Bromley, pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-69 Pekabaran Injil di Baliem.
Selanjutnya dalam pesannya Elisabeth menegaskan agar masyarakat tidak menjual tanah karena tanah adalah mama. Bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.
Pernyataan ini mengandung beberapa makna profetik. Pertama, mesti ada kejujuran, niat, satunya kata dan perbuatan. Kedua, mengandung amanah terefleksikan dalam perkataan maupun perbuatan, dalam setiap keputusan yang diambil, seperti amanah rakyat.
Ketiga, komunikatif dalam artian selalu menyampaikan kebenaran tak pernah menyembunyikan apa yang seharusnya disampaikan. Keempat, kecerdasan bukan saja dari aspek intelektual tapi juga cerdas dalam mengendalikan emosi, spiritualitas, kinestetik, dan magnetik, memberikan keteladanan.
Keempat, pesan profetik itu menjadi tema sentral dari PI yang bila dirangkum hanya mengandung dua nilai hakiki yaitu cinta kasih. Cinta kasih kepada sang pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa yang meletakan seluruh peradaban di bumi (tanah, laut, udara) dan segala makhluk termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Cinta kasih kepada sesama manusia saling menghormati dan menghargai dalam kesetaraan dengan keberadaannya tanpa memandang adanya perbedaan baik warna kulit, asal usul, maupun dikotomi status sosial kaya atau miskin.
Implikasi profetik
Pesan profetik bermuara pada pemimpin yang populis piawai memainkan fungsi dan peran kebijakan yang pro rakyat. Seperti realitas kekinian kekuasaan jangan sampai menelikung prinsip pembangunan yang demokratis. Artinya pembangunan yang demokratis basisnya pada kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan sebaliknya.
Oleh sebab itu pesan profetik PI ke 70 di Wamena dan pertemuan para Gubernur seluruh tanah Papua hendaknya bersepakat agar pembangunan Papua berorientasi pada populisme seperti meminjam artikel Francis Fukuyama (2017) What is Populism. Fukuyama mengidentifikasi menjadi tiga ciri utama.
Pertama, populisme menerapkan kebijakan jangka pendek pro rakyat, biasanya kebijakan sosial, seperti subsidi, dan memberikan fasilitas gratis. Termasuk mengeksplorasi kebutuhan rakyat seperti mencari pasar untuk memasarkan produk hasil buminya, sayur mayur, buah-buahan, rakyat tahunya terdistribusi sehingga mereka berpendapatan dan ada kekuatan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keperluan sehari-hari.
Kedua, pemimpin yang populis memiliki “konsep rakyat” dalam kasus Papua menjadikan Otsus (UU Nomor 21/2001 junto UU No 2/2021) dengan seperangkat peraturan pelaksanaanya seperti Rencana Induk dan keberadaan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OKP) atau Badan Pengarah Pembangunan Papua (BPPP) menjadi landasan kebijakan untuk melaksanakan perubahan yang gradual, terencana yang didukung dengan program dan anggaran yang berbasis kinerja, terukur dan dapat dievaluasi serta nyata di masyarakat. Program yang berbasis pada paket kebijakan dan dana yang bersumber pada APBN/APBD tapi juga hibah dari pihak ketiga. Sehingga mengindahkan stabilitas ekonomi dan kepentingan jangka panjang.
Ketiga, pemimpin yang populis terkait gaya kepimpinan, membangun kultus personal, memiliki otoritas sehingga independen dalam memutuskan kebijakan yang memihak pada rakyat. Mengajak rakyat untuk tertib, dan mematuhi hukum demi keberlangsungan hak dan kewajibannya. Di Indonesia pasca reformasi memiliki beberapa pemimpin yang populis.
Dalam konteks mikro, Papua juga memiliki pemimpin yang populis dan potensi itu ada diantara para pemimpin yang hadir di Wamena saat ini. Sehingga ciri yang ketiga ini adalah pemimpin yang populis membangun kebersamaan atau koalisi sesama gubernur di tanah Papua. Sehingga terjadi sinergitas program yang tentunya saling mendukung dan menguatkan sebagai satu keluarga besar Papua.
Solidaritas dan soliditas meletakan kerangka yang sama untuk saling menunjang dan menyokong satu sama lainnya. Mengingat masing masing wilayah memiliki keunggulan komparasi yang variatif, ada provinsi yang memiliki SDA yang melimpah, ada pula yang minus, ada juga yang memiliki SDM yang mumpuni. Jadi sinergitas, komunikasi dan saling sharing informasi mengenai kekuatan dan kelemahan masing-masing wilayah menjadi “kekuatan populis” berkaca pada pemikiran Fukuyama.
Seperti apa Papua?
Masyarakat kini bertanya akan seperti apa Papua pasca perubahan UU Otsus. Upaya untuk mengawal pembangunan Papua telah dilakukan masyarakat sipil, akademisi, dan terutama kaum muda millennialnya.
Masyarakat jangan lagi berjuang sendiri dalam mempertahankan hidupnya. Apalagi menghadapi arus migrasi penduduk pasca DOB, mereka menuntut haknya tapi disisi lain pemimpin yang populis pun perlu menyadarkan pentingnya kewajiban masyarakat sekaligus kewajiban pemimpinnya untuk berdiri dan memihak pada aspirasi dan kepentingan rakyatnya.
Belajar dari pengalaman empiris 20 tahun yang lalu maka pesan profetik PI ke 70 di Lembah Baliem menginspirasi sekaligus mengkonsolidasikan kita agar Papua butuh pemimpin yang tidak saja cerdas, profesional, berintegritas tetapi juga yang populis, teguh dalam membela kepentingan rakyat melalui pembangunan yang demokratis dan bermartabat.