Oleh Oksianus K Bukega
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura
MASYARAKAT adat Papua adalah penduduk pribumi Papua yang terdiri dari suku-suku dan marga-marga yang mendiami wilayah adat Papua. Penduduk Papua terdiri dari warga masyarakat adat Papua dan warga non masyarakat adat Papua yang berdiam dan hidup di atas tanah Papua. Hak dan kewajiban penduduk Papua di dalam kehidupan adat sesuai dengan norma-norma adat setiap suku bangsa secara beradab dan bermartabat.
Pada tatanan hidup masyarakat adat Papua muncul fenomena ‘baru’ yakni pengangkatan dan penobatan seorang individu yang bukan dari komunitas suku bangsa menjadi kepala suku besar, anak adat, putri Papua, dan pemberian marga. Hal tersebut sebagainya seperti terdapat di beberapa wilayah adat di Papua, dan dipraktekkan pada momen tertentu tanpa melihat kriteria yang berlaku dalam norma adat. Tulisan ini hendak memuat kriteria yang menjadi jaminan penggunaan atribut kultural di Papua.
Ada beberapa kriteria yang perlu dimiliki oleh seorang individu dalam komunitas suku bangsa di Papua sehingga diangkat dan diakui sebagai kepala suku besar, anak adat, putri Papua atau pemberian marga agar menjadi indikator (solusi) jelas.
Pertama, mengetahu sistem dan struktur dari setiap suku bangsa di Papua. Sistem dan struktur suku bangsa yang dimaksud adalah berkaitan dengan sistem sejarah asal usul (mitologi), sistem bahasa, sistem organisasi sosial, sistem kepemimpinan, sistem kekerabatan, sistem religi, sistem kesenian, dan sistem lain yang berlaku dalam komunitas suku bangsa di Papua.
Seorang individu yang dinobatkan atau diangkat sebagai kepala suku, anak adat, putri Papua, dan pemberian marga, dapat diandaikan bahwa ia sudah mengetahui sistem dan struktur sosial dari suku bangsa yang dikemukakan tersebut.
Kedua, mengetahui sejarah asal usul penciptaan dunia dan manusia (mitologi) yang diyakini oleh setiap suku bangsa di Papua. Seorang (individu) yang diangkat dan diakui dalam komunitas suku bangsa sebagai kepala suku, anak adat, putri Papua, dan mengantongi marga berhak mengetahui sejarah asal usul penciptaan dunia dan manusia (mitologi) yang diyakini dan dihidupi oleh setiap komunitas suku bangsa di Papua.
Ketiga, mengetahui sejarah leluhur dari setiap suku bangsa di Papua. Kepercayaan dan penyembahan terhadap leluhur sebenarnya terdapat di mana-mana, hampir di seluruh dunia. Kepercayaan serupa dihayati juga oleh masyarakat Papua dalam komunitas suku bangsanya.
Oleh karena itu, seorang individual yang diakui atau diangkat menjadi kepala suku, anak adat, putri Papua, dan marga serta atribut lain dalam setiap suku bangsa di Papua mesti mengetahui sejarah asal usuk dan kepercayaan terhadap leluhur dari suku bangsanya.
Keempat, memiliki garis keturunan (ayat dan ibu) yang jelas. Seorang individu yang diterima dan dinobatkan dalam setiap komunitas suku bansa di Papua mesti memiliki garis keturunan (ayah dan ibu) yang jelas. Dalam kaitannya dengan garis keturunan, maka seorang/individu perlu mengetahui sistem kekerabatan. Sebab sistem kekerbatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat adat di Papua.
Sistem kekerabatan berhubungan dengan unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan yang terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Seorang individu akan diakui sebagai anak adat dalam komunitas suku bangsanya bila seorang individu tersebut mengetahui dan memiliki garis keturunan keluarga yang jelas.
Kelima, memiliki nama adat (nama tanah) dan marga. Di Papua keberadaan seorang individu dalam komunitas suku bangsanya memiliki nama adat. Nama adat ini sering juga disebut “nama tanah” disamping nama lain yang dikenakan padanya. Hampir sebagian besar suku bangsa di Papua menganut sistem patrilineal.
Orang Papua menarik garis keturunan melalui keturunan laki-laki, di mana setiap individu dapat digunakan nama keturunan berdasarkan marga ayah sebagai identitas dalam masyarakat adat. Sebagian kecil suku bangsa saja yang memilki garis keturunan lain (matrilineal/keturunan ibu dan asimilasi marga karena mengadopsi budaya suku bangsa lain yang masuk mempengaruhi kebudayaan Papua.
Keenam, mengetahui bahasa daerah. Seorang individu tahu bahasa daerah dari suku bangsanya dan tidak hanya tahu tetapi tentunya memiliki pengetahuan yang memadai tentanng bahasa daerahnya itu. Sebab bahasa adalah satu realitas utama dan sangat netral dalam hidup manusia sehari-hari. Bahasa membantu manusia untuk menjadi lebih manusiawi. Bahasa memberi prespektif baru kepada manusia untuk menjadi insan yang lebih kreatif.
Ketujuh, memiliki epistemologi tentang kosmos/alam semesta (tanah/dusun, batasan wilayah adat). Seorang individu dalam suku bangsanya sejatinya memiliki epistemologi (pengetahuan) tentang kosmos (lingkungan alam ataualam semesta yang berhubungan langsunng dengan tanah adat, air, gunung, dusun, batasan wilayah adat, dan sebagainya).
Hal tersebut penting mengingat kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari tatanan kosmos (lingkungan alam). Begitu pula kehidupan masyarakat Papua tidak bisa terlepas dari tatanan kosmos (alam semesta atau lingkungan alam) yang ditempatinya.
Kedelapan, mendapatkan pendidikan adat (inisiasi adat). Seorang individu dalam beberapa suku bangsa di Papua diakui sebagai kepala suku, anak adat, putri Papua, punya marga karena ia mengikuti dan melewati pendidikan adat (inisiasi adat). Sebab pendidikan adat merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan masyarakat adat di Papua.
Kesembilan, bertanggungjawab terhadap atribut kultural. Sejumlah syarat yang telah diidentifikasi dan disebutkan di atas yang dikenakan pada seorang individu dalam setiap komunitas suku bangsa di Papua mesti menjadi kewajiban bagi seorang agar bertanggungjawab menjaga dan melestarikannya.
Atribut kultural yang dikenakan adalah suatu kekayaan yang mengandung unsur nilai dan falsafah hidup dari komunitas suku bangsanya. Individu dalam pengaplikasiannya memiliki otoritas untuk berbicara tentang semua yang berkaitan dan berhubungan dengan nilai dan falsafah dari kebudayaannya.
Oleh karena itu, pertimbangannya adalah siapa pun individu yang bukan dari suatu suku bangsa yang dikenakan atrbut kultural berarti makna ‘pelecehan’ atau ‘penistaan’ terhadap adat kebudayaan dari suku bangsa setempat.
Seorang individu yang bukan berasal dari komunitas suku bangsa tidak punya otoritas untuk berbicara tentang nilai dan falsafah dari komunitas suku bangsa yang menghendaki dia sebagai anak adat.